Rehan memijat pangkal hidungnya, memperbaiki hubungannya dengan Kania bukanlah hal mudah. Segala yang terjadi di masa lalu cukup menjadi alasan kuat bagi Kania menjauh darinya, apalagi memang dulu Rehan lah yang mengusir, sedangkan Kania terus merendah memohon padanya.
“Anda mau mengemudi sendiri, Pak?” Indra harus memastikan ulang karena mengantar Rehan pulang juga bagian dari tugasnya.
“Ya, ada urusan yang harus saya selesaikan. Kalau Karin menghubungimu, katakan saja terserah dia mau apa!” jawab Rehan sudah terlalu pusing.
Entah ke mana perginya Karin, seharusnya Rehan membawa kemudinya memastikan sang istri sudah ada di rumah atau belum kemudian membujuk rayu supaya pertengkaran mereka selesai, tetapi rasa lelah menghadapi sikap Karin membuat lelaki itu justru diam-diam mengikuti Kania, menuntaskan rasa penasarannya tentang kabar sang mantan.
Rehan sadar yang dilakukannya tidak benar, bahkan seperti menjilat ludahnya sendiri. Akan tetapi, ia terus memikirkan Kania hingga mobilnya berhenti di depan gang sempit yang mengharuskannya berjalan sampai pada pelataran rumah tempat Kania pulang.
“Dia tinggal sendiri?” gumamnya.
Ia menunggu beberapa menit sampai Kania tampak ke luar lagi sembari membawa ember berisi cucian yang siap dijemur. Rehan tersenyum melihatnya, Kania tetap sama seperti dulu yang suka sekali melakukan pekerjaan rumah sendiri.
Tetapi, tunggu!
“Baju anak-anak? Bukannya, dia masih berstatus janda? Baju anak siapa yang dia jemur?” Rehan merasa detak jantungnya berubah menggila.
Tadi, Kania menjawab dengan jelas kalau tidak pernah ada kehamilan usai perpisahan mereka, tetapi sekarang wanita itu menjemur banyak baju anak kecil, selain itu Rehan baru sadar kalau di teras sempit rumah itu ada mainan dan sepeda kecil.
Pikiran Rehan mulai berlarian mencari-cari pembenaran, Kania mengatakan kalau tak ada kehamilan, lalu data dari Indra cukup jelas kalau Kania itu seorang janda. Tidak mungkin data perusahaan terlambat, tetapi fakta yang ditemukannya seolah membenarkan dugaan kalau Kania menikah lagi kemudian mempunyai anak dan berpisah.
Siapa laki-laki itu, Kania? Apa benar itu anak kalian atau itu anakku?
Suara dering ponsel Rehan menyadarkan lelaki itu harus segera pergi atau Kania mengetahui keberadaannya. Rehan pun berlari ke luar gang sempit itu menuju mobilnya dan pergi.
Kania berjalan ke depan teras. “Telponnya siapa?” gumamnya sambil mengedarkan mata, tetapi tak ada orang.
“Ibuk!” panggil Arkana dengan bedak merata di wajahnya.
Kania berbalik, ember di tangannya spontan terjatuh. “Arka, ya ampun! Sayang, jangan mainin bedak!”
Bocah itu justru tergelak tanpa dosa, lalu berlari masuk sengaja menggoda ibunya yang seharian sibuk bekerja, jadi kalau di rumah harus siap diajak bermain sampai mengantuk.
“Jangan lari, Nak!” Kania secepat mungkin menangkap anaknya itu, lalu membawanya duduk ke pangkuan. “Nanti, Arka sesak lagi kalau lari-lari, apalagi mainan bedak gini loh! Gemes!”
Arkana tertawa dalam pelukan itu, walaupun hidupnya sejak bayi tidak mudah dan kerap bolak-balik rawat inap di rumah sakit, Arkana termasuk anak yang selalu riang. Kania akan terus mengusahakan yang terbaik meskipun dokter mengatakan hidup anaknya tidak akan lama, ia tidak putus asa dan terus berharap suatu hari nanti kondisi Arkana siap untuk menjalani operasi jantung yang terus tertunda.
“Maafin Ibuk, Ka … Ibuk harus rahasiain kamu dari ayah kandungmu. Ibuk takut ngeliat kamu berharap kemudian ditolak, Ibuk takut kekurangan kamu dihina, Ibuk mau sama kamu lama-lama,” bisik Kania pelan saat berhasil menidurkan Arkana kemudian berlanjut membereskan rumah.
Kania memang tinggal sendiri di rumah itu sejak ayahnya meninggal, tetapi di gang yang sama ada rumah adiknya yang setiap hari membantu Kania menjaga Arkana, beruntung iparnya baik sekali dan mau membantunya, pun memasukkan nama Arkana di kartu keluarga mereka.
Sebelum menyapu rumahnya, Kania sempat membuka album lama yang tersimpan di bawah tumpukan bajunya. Ada akta cerai dan foto pernikahannya dengan Rehan dulu yang masih sengaja Kania simpan.
“Buat apa, Kak, kamu tanya kabarku? Apa kalau kamu tau aku pernah hamil dan melahirkan anakmu, kamu mau mengambil Arka dariku?” Kania mengusap foto itu, ia membenci Rehan, tetapi cintanya lebih besar, apalagi wajah Arkana yang sangat mirip dengan Rehan terus membuatnya mengingat mantan suaminya itu. “Dia pernah bertanya di mana ayahnya, tapi maaf kalau aku harus berbohong dan mengatakan kalau kamu sudah meninggal, Kak. Kamu tau … karena itu, dia membayangkan betapa indahnya surga karena ada ayahnya,” tambahnya terisak.
"Tapi, aku nggak tega dia bahas terus. Jadi, aku bilang kamu kerja jauh dan belum bisa pulang. Sekarang, aku takut dia tanya lagi," gumamnya.
Tidak, semua tak lagi sama, Rehan pun sudah menikah.
***
Rehan meremat kedua tangannya cukup kuat, sebenarnya ia tidak tahan lagi. Semalam, Rehan hampir saja kembali untuk menemui Kania di rumah itu, tetapi ia mengurungkan niatnya karena khawatir tindakannya yang gegabah justru akan membuat Kania pergi.
“Kenapa aku merasa kalau Kania pernah hamil anakku, heh?” Rehan menekan sisi kepalanya, ia sungguh tidak tahan meskipun kemarin hanya sebatas melihat jemuran baju anak kecil dan sepeda. “Aku harus menanyakan hal ini, tapi … ah, sial!”
Waktu makan siang tiba, Rehan meminta Indra untuk menikmati makan siang bersama di kantin karyawan. Bukan tanpa alasan Rehan melakukan hal itu, ia mendengar kalau Kania selalu membantu salah seorang pedagang di kantin, dengan cara itu dirinya bisa melihat sekaligus mengawasi Kania.
“Hah, apa?” Kania tampak menutup mulutnya yang nyaris tertawa lebar, sebelah tangannya menepuk lengan pria di depannya itu. “Ngawur!”
“Beneran, Ni. Ayolah, ikut aja!” Jeno mengerlingkan mata, lelaki itu juga suka membantu di kantin. “Aku jemput, oke!”
Melihat itu, wajah Rehan berubah masam. Kania tak pernah tertawa lebar seperti itu saat bersamanya dulu, bahkan cenderung menutup diri dari dunia luar. Tetapi, sekarang Kania sebebas itu dan dirinya tidak suka.
“Pak, anda merasa ada yang salah?” Indra mencoba menarik garis lurus dari sorot mata Rehan, lagi-lagi tertuju pada staf admin pemasaran itu.
Rehan menoleh kemudian menggelengkan kepalanya, tak berlama-lama, Rehan hanya memakan setengah porsi, lalu beranjak pergi kembali ke ruangannya.
Sorenya, sama seperti kemarin Rehan meminta Indra membiarkannya pulang sendiri supaya bisa mengikuti Kania lagi. Pelan mobilnya melaju di belakang ojek yang mengantarkan wanita itu.
Namun, Rehan tidak sadar kalau Kania mulai merasa ada yang aneh karena kemarin pun mobil yang sama terasa mengikutinya, tetapi Kania mencoba mengabaikan, sebab semua orang berhak melewati jalanan umum itu.
“Apa aku tengok aja?” gumam Kania, ia meremat tali tas di pundaknya, langkah kakinya mulai sedikit pelan di gang kecil itu.
Kania terus berjalan pelan, situasi yang sepi membuatnya cukup mudah mendengar langkah lain di belakangnya. Tak tahan dan demi menjaga diri, Kania pun membalikkan tubuhnya cepat kemudian matanya terbelalak.