Bab 3. Bagaimana Kabarmu?

1129 Kata
“Apanya yang kenapa, Rin?” Rehan memutar bola matanya ke arah lain, cukup kesal dengan sikap istrinya itu. Karin menarik kasar kursi di depan Rehan, setelah memastikan Indra ke luar. “Aku nggak suka mereka terus tanya soal anak ke aku, Re. Jadi, kayak malesin aja. Kenapa harus anak dan anak sih, hah?” Sebuah masalah yang sama sekali belum mereka temukan solusinya, kalaupun ada program seperti bayi tabung, Karin menolak hal itu dan merasa kalau metode itu hanya merendahkannya sebagai wanita. Sedangkan, menurut pemeriksaan dokter yang terus mereka lakukan kendalanya ada pada Karin sendiri. Sel telur wanita itu kecil-kecil, sudah banyak saran dan vitamin yang diresepkan, tetapi Karin dengan keteguhannya menolak dan merasa bisa menemukan cara lain. Rehan meraup wajahnya, lama-lama kesabarannya habis juga kalau Karin tidak mau berubah. Bahkan, perasaan cintanya pada Karin yang bertahan cukup lama di hatinya semakin hari semakin terasa berkurang, apalagi Karin yang kerap seenaknya tanpa peduli bagaimana perasaan Rehan seakan dirinya yang berjuang sendirian. “Pulang saja kalau begitu!” cetus Rehan yang sialnya justru membuat Karin marah. Wajah wanita itu memerah murka. “Kamu ngusir aku gitu?” tanyanya. “Aku cuman kasih kamu solusi supaya nggak makin sakit hati di sini, Rin. Salah?” balas Rehan, belum apa-apa dihari pertamanya kerja sudah ada perang dunia bersama sang istri. Karin mendengus. “Tau gini, aku nggak mau ikut ke kantor barumu, Re. Baiknya, aku liburan aja!” katanya kemudian mengambil tas dan pergi. Seperti itu, entah kenapa semuanya berubah setelah mereka menikah. Rehan mengira hidup berumah tangga dengan wanita pilihannya sendiri akan lebih indah, tetapi semua itu salah karena kenyataannya lebih buruk dari yang Rehan bayangkan. Tidak pernah ada lagi ketenangan setiap kakinya menginjak lantai rumah dan setiap hari selalu ada saja perdebatan dari mereka. Dalam sepinya, Rehan teringat kembali masa-masa dulu saat bersama Kania. Walaupun selalu diperlakukan tidak adil dan tanpa cinta, Kania tetap menjalankan kewajibannya, bahkan terus berusaha memberikan yang terbaik. Sayangnya, semua itu sudah berlalu karena kebodohannya sendiri. Dan sekarang, Rehan menyesali itu. Bahkan, dimalam terakhir mereka tidak ada kecurigaan yang Kania tuduhkan padanya dan melayaninya dengan sangat baik hingga memperoleh kepuasan. Bagaimana Kania? Apa setelah malam itu, Kania mengandung anaknya? Sial! “Cukup, aku nggak boleh memikirkan Kania lagi!” kata Rehan, lalu kembali memanggil Indra untuk segera melanjutkan agenda kerjanya. Hari itu masih hari pertama Rehan bekerja di sana, jadi agenda resmi dan serius lainnya masih belum ada. Hal yang harus Rehan lakukan sekarang adalah berkeliling dari satu lantai ke lantai lain untuk mengenal lebih dekat para karyawan di setiap divisi sekaligus mendengar keluhan dan saran dari mereka demi kemajuan perusahaan. “Ini divisi pemasaran, Pak,” kata Indra sembari membuka pintu, semua karyawan yang ada di sana spontan berdiri menyambut kedatangan Rehan. “Pak Rehan memberi kesempatan pada kalian semua untuk sepuluh menit lebih dekat, silakan!” Rehan mengangguk mengikuti arahan Indra, mulai dari menerima pengenalan masing-masing karyawan sampai pada keluhan mereka. Tetapi, ada satu karyawan yang sejak tadi menarik perhatian Rehan. Siapa lagi kalau bukan Kania, wanita itu hanya melakukan sesi perkenalan tanpa maju memberikan saran atau menyampaikan keluhan, selain itu Kania lebih banyak menunduk seperti tengah menghindari tatapan Rehan. Ternyata, dirinya tidak mampu untuk berhenti memikirkan Kania lagi, wanita itu memenuhi pikirannya. Rehan merasa gagal. “Baiklah, waktunya sudah habis. Saya dan Pak Rehan pamit ke divisi lain. Terima kasih atas kerja samanya,” kata Indra mengakhiri sesi itu. Kedua bahu Kania langsung melorot, ia merasa tegang sekali sejak tadi, apalagi Rehan terus saja menatap ke arahnya, sedangkan tidak mungkin Kania meninggalkan ruangan itu. Setelah memastikan dua orang itu pergi, Kania mengambil tisu dan izin ke kamar mandi, ia merasa mual karena terlalu gugup sejak acara penyambutan. Namun, saat kakinya melangkah menuju toilet karyawan di lantai lima itu, tiba-tiba saja seorang pria dengan sepatu hitam mengkilapnya datang menghadang. Kania menunduk dan menggigit bibir bawahnya, dari ujung jas itu sepertinya Kania sudah mengetahui siapa yang ada di depannya. “Bagaimana kabarmu, Kania?” tanya Rehan dengan suara baritonnya. Kania meremat tisu di tangannya, sakit itu mulai menjalar hebat lagi sampai telapak kakinya terasa sangat dingin. Ia diam, tetap menunduk tak peduli. “Apa kamu melupakan saya, Kania?” tanya Rehan lagi, ia masih menunggu dan terus menatap Kania. "Tapi, saya merasa sebaliknya. Kamu tidak melupakan saya, benar?" Kania geram, semakin mengepalkan tangannya. “Bukannya, saya memang harus melupakan anda?” balasnya dengan suara bergetar, ia menahan takut dan sakit yang hebat. Kania ingin diam, tetapi terlalu muak. Rehan diam, hatinya seperti ditusuk ribuan pisau hingga berdarah-darah, baru di awal saja sudah terasa sangat sakit, ia tak membayangkan bagaimana Kania dulu harus menahan sakit sendiri karena keegoisannya. “Saya tidak pernah meminta kamu melupakan saya, Kania. Saya─” “Ya, tapi anda mengusir dan mengancam saya, Pak Rehan!” potong Kania sembari mengangkat wajahnya yang basah, bibir itu bergetar membalasnya. “Apa saya harus mengingat anda dan bersikap biasa saja, Pak? Apa anda tidak khawatir saya berulah hingga semua orang tau bagaimana kita dulu?” Kania tertawa sumbang dan meraup wajahnya. “Saya tau anda tidak akan pernah takut, Pak Rehan. Tapi, saya yang takut! Saya yang ketakutan karena ancaman anda yang membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa demi melindungi keluarga saya, bahkan melindungi diri saya sendiri!” tambahnya penuh penekanan, d**a Kania teramat sesak. Rehan mengulurkan tangannya hendak menghapus air mata di pipi Kania, tetapi dengan cepat tangan wanita itu menepisnya. Ia tak mau terlena lagi. “Empat tahun sudah berlalu, Pak. Anggap saja kita dua orang asing, di sini juga tidak ada yang tau kalau anda adalah mantan suami saya, begitu juga sebaliknya. Permisi,” katanya kemudian melangkah pergi, tetapi tangan Rehan lebih dulu mencekal pergelangan tangannya. Kania memejamkan matanya seraya mendesus. “Anda mau apa?” Rehan menarik lembut tangan hangat yang mampu membuat dirinya merasa tenang itu hingga Kania berdiri tepat di depannya lagi. “Saya hanya ingin tau kabar kamu,” katanya memelankan suara. Kania mengangguk, tetapi menghindari tatapan Rehan. “Saya baik seperti yang anda liat,” jawabnya. Perlahan Rehan melepaskan tangan hangat itu, ada yang mengganjal di hatinya, terutama soal anak yang bisa saja hadir selepas keduanya berpisah karena malam itu ribuan benih telah ia biarkan menyemai di rahim Kania. Akan tetapi, Rehan cukup ragu menanyakannya, apalagi melihat Kania yang ingin sekali pergi. “Apa sudah?” tanya Kania sambil mengusap tangannya, menghilangkan bekas sentuhan mantan suaminya itu. Rehan menggaruk alisnya kemudian menatap lekat Kania. “Kania, apa kamu mungkin hamil setelah kita berpisah?” tanyanya tidak tahan. Air mata Kania menetes kembali. “Tidak,” jawabnya sambil menggigit gerahamnya. "Lagipula, kalau saya hamil, bukannya tidak penting untuk anda?" tambahnya kemudian melangkah pergi. Rehan hanya menatap kepergian Kania, tetapi jawaban Kania membuatnya penasaran, perasaannya mengatakan sebaliknya dan yakin sekali. “Apa aku ikuti saja dia?” cetusnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN