Empat tahun kemudian. Di sebuah gedung tinggi, seorang wanita bernama Levina Kania berlarian sambil menjinjing sepatu kerjanya yang patah. Acara penting akan segera dimulai, tetapi dirinya belum siap sama sekali, padahal ia ditunjuk mendadak untuk menggantikan rekannya menjadi pembawa acaranya di sana.
“Nia, astaga!” Selvi menggelengkan kepalanya, lalu mengambil sepatu di tangan Kania.
Kania memijat pelipisnya. “Aku nggak tau harus gimana sekarang, cuman kamu yang bisa bantu aku, Sel. Tolong!”
“Yaudah, untung ukuran kaki kita itu sama, Nia. Pakai sepatuku aja dulu!” putus Selvi sembari mengambilkan sepatu miliknya yang ada di bawah meja. “Coba dulu!”
“Oke, udah pas. Aku pake ya, makasi!” Kania langsung bergegas kembali ke tempat penyambutan, sebab semua karyawan sudah menunggu.
Hari itu, Direktur baru mereka akan datang dan mulai menjabat. Semuanya serba mendadak, beruntung Kania mempunyai pengalaman menjadi pembaca acara dibeberapa acara kantor sejak awal bekerja, jadi wanita itu cukup percaya diri dengan penampilannya yang semakin memukau sekarang. Kania bukan lagi sosok polos yang tampil lemah seperti dulu, ia menjelma menjadi sosok wanita cantik yang tangguh dan penuh percaya diri tanpa bergantung pada siapapun. Apa pun akan Kania hadapi, bahkan kalau harus bertaruh nyawa dirinya akan selalu siap demi keluarga kecilnya yang tak sempurna.
Sebelum memulai acara, Kania memejamkan matanya sejenak mengingat wajah manis jagoan kecilnya yang setia menunggu di rumah dan menerimanya apa adanya. Lalu, acara itu pun dimulai dengan awal yang lancar.
“Nia, ini nama lengkap direktur baru kita. Jangan sampai salah ya!” kata salah seorang rekan kerjanya.
Kania mengangguk, menerima selembar catatan itu tanpa membacanya lebih dulu. Bahkan, Kania belum sempat membaca informasi pergantian direktur yang dibagikan satu bulan lalu.
“Baiklah, berikutnya mari kita sambut dengan segenap hati yang penuh suka cita dan harapan untuk Direktur baru kita. Beliau adalah Bapak Ananta Eka Reh-Rehan Wijaya!” katanya berhenti sebentar, ada yang aneh, tetapi Kania tidak mempunyai waktu untuk berpikir maka ia langsung mengangkat kedua tangannya. “Mari kita berikan tepuk tangan yang meriah dan penghormatan untuk beliau!”
Semua orang berdiri dan bertepuk tangan, awalnya Kania pun sama seperti yang lain meskipun rasanya mengganjal dan tidak asing. Ia percaya banyak nama yang bisa saja sama dari segala penjuru dunia, tetapi Kania tidak mungkin lupa nama pria yang harus dihindarinya itu.
Dan di saat rombongan direktur baru itu memasuki ruangan, tubuh Kania seketika mematung, matanya tak berkedip sama sekali melihat siapa yang datang di sana. Pria tampan berjas navy itu tidak lain mantan suaminya, takdir memang mampu memisahkan mereka, tetapi tidak dengan ingatan yang selalu melekat jelas.
Kak Rehan!
“Nia, ayo lanjutkan!” seru salah seorang rekannya.
Kania terhenyak kemudian mengangguk dan kembali melanjutkan acara itu sambil menahan gemuruh di dadanya yang sangat amat luar biasa, bahkan ia berusaha mati-matian menahan air matanya yang ingin turun deras karena rasa sakit dan kecewa itu kembali muncul juga lebih hebat.
Ananta Eka Rehan Wijaya, sang mantan suami yang statusnya dirahasiakan sejak dulu, lelaki itu datang bersama seorang wanita yang masih sangat Kania ingat betul sebelum perpisahan itu terjadi, tampaknya mereka sudah bersatu dan tak ada lagi tempat untuknya. Kania harus menerima kenyataan kalau sampai kapanpun ia dan anaknya tidak akan pernah bersatu dengan sang mantan atau mendapatkan pengakuan.
“Ak-aku nggak ikut kasih selamat ya, mau ke toilet!” kata Kania terburu-buru menyelesaikan tugasnya.
“Eh, nggak bisa gitu dong!” balas Anggar. “Bentar doang salaman aja, ayo!”
“Tapi, Nggar ... aku udah nggak tahan!” tolak Kania, mana mungkin dirinya tampil dan bersalaman dengan Rehan lagi, Kania masih ingat ancaman Rehan dan jangan sampai karena pertemuan itu nasib anaknya menjadi terancam.
Namun, Anggar tak mendengarkan ocehan Kania, ia membawa wanita itu sampai ke depan kursi direktur baru dan memberikan ucapan selamat bersama.
Kedua alis Rehan spontan menekuk melihat siapa yang berdiri di depannya, wanita itu menunduk berusaha menyembunyikan wajah, tetapi rasanya tak sulit bagi Rehan untuk mengenali wajah Kania. Dan saat Anggar memaksa Kania memperkenalkan diri pada Rehan dan istri, mata lelaki itu sempurna melebar sempurna. Bahkan, Rehan tak melepaskan tangan Kania yang ada dalam genggamannya.
“Maaf, Pak.” Kania menarik paksa tangannya, lalu sedikit membungkuk memberikan hormat seperti yang dilakukan temannya. “Saya ucapkan selamat dan semoga ke depannya perusahaan ini semakin maju. Saya permisi,” katanya kemudian undur diri lebih dulu.
“Oh, y-ya.”
Belum sempat Rehan membalas lebih, Kania sudah berlari ke belakang, air matanya sudah tidak tertahankan lagi, wajah cantiknya berubah basah dalam sekejap. Ia ingin berlari pergi, tetapi mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah, apalagi Kania bukan lulusan sarjana yang kebetulan beruntung bisa bekerja di perusahaan itu. Lagipula, dirinya tidak boleh egois karena ada biaya pengobatan yang tak murah untuk jagoan kecilnya yang menderita penyakit jantung sejak bayi.
Sementara itu, sisa acara penyambutan masih terus berlangsung, semua orang bisa menikmati jamuan mewah siang itu tanpa khawatir membayar mahal. Wajah mereka tampak berseri-seri senang, berbeda dengan Rehan yang sejak tadi banyak diam dan tampak berpikir keras sampai banyak guratan di keningnya. Selera makannya hilang dan tidak ingin menanggapi banyak ucapan, ia langsung meminta sekretarisnya untuk mengantarkan ke lantai atas tempat ruang kerjanya berada.
“Istri anda ada di bawah, Pak Re,” kata Indra mengingatkan kembali.
Rehan berdecak sambil meraup wajahnya. “Biarkan saja, Ndra!”
Indra mengangguk, ia hanya cukup duduk di depan atasannya itu sambil menunggu perintah selanjutnya dan memeriksa email masuk yang perlu dibalas.
“Ndra,” panggil Rehan ragu.
“Ya, Pak. Anda butuh sesuatu?” tanya Indra selalu siap.
Sebenarnya, Rehan segan menanyakan hal itu, tetapi hatinya tidak akan tenang kalau sampai tidak mendapatkan kepastian.
“Ada apa, Pak Re? Apa anda memikirkan sesuatu dan mungkin saya bisa bantu, katakan saja!” kata Indra menyimpan sejenak tabnya.
Rehan menghela nafasnya sejenak kemudian menatap lurus sekretarisnya. “Apa di perusahaan ini ada karyawan yang bernama Levina Kania?”
Indra terkejut, tetapi tidak ada salahnya juga kalau seorang atasan ingin mengetahui tentang karyawannya, apalagi hanya sekadar nama. Indra pun langsung mencari data karyawan itu sesuai dengan nama yang Rehan sebutkan.
“Benar, Pak. Admin pemasaran, Levina Kania. Kalau tidak salah, dia yang menjadi MC di acara tadi,” jawab Indra sambil menggeser tabnya supaya Rehan bisa melihat langsung biodata Kania.
Rehan terdiam membaca data Kania yang tampak jelas di depan matanya, ternyata sampai sekarang Kania masih berstatus janda dengan identitas mantan suami yang dirahasiakan seperti pernikahan mereka dulu, hanya keluarga saja yang mengetahuinya.
“Sayang, kamu di dalam?” Karin tiba-tiba datang.
Mendengar suara istrinya, Rehan langsung mematikan tab Indra dan menggeser kembali ke depan sekretarisnya itu.
"Sembunyikan!" titahnya.