Bab 1. Perjodohan Selesai

1125 Kata
“Hotel?” Kania mengerutkan keningnya merasa tidak percaya dengan ide dadakan suaminya itu. Pria tampan bernama Ananta Eka Rehan Wijaya itu mengangguk, terakhir kali mereka berdua pergi ke hotel mungkin sudah cukup lama, sebab itu ada keraguan di benak Kania bila mendadak Rehan mengajaknya menginap, apalagi hanya berdua saja tanpa ada anggota keluarga lelaki itu yang ikut seperti biasanya dulu. “Bulan depan perayaan hari jadi pernikahan kita, bukan?” Rehan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Ayo, kita merayakannya di hotel berdua saja!” “Em, kalau itu mau kak Rehan ... aku ikut aja. Atur aja semua, Kak!” jawab Kania dengan tutur lembutnya. Dua tahun menjadi istri Rehan memang penuh kejutan, mulai dari rasa kecewa, sedih hingga secerca harapan untuk bahagia seperti sekarang. Kania berusaha sebisa mungkin untuk membuat Rehan mencintainya, sama seperti hatinya yang sejak awal perjodohan itu sudah Kania mantapkan untuk belajar mencintai Rehan sebagai satu-satunya lelaki yang Tuhan pilihkan menjadi suaminya di dunia dan akhirat. Walaupun tidak pernah mulus, tetapi Kania cukup bersyukur karena mereka sudah menempati kamar yang sama dan meneguk manisnya madu pernikahan meskipun hanya sekali saja, setelahnya Rehan kembali menjaga jarak dan menganggap kewajibannya telah usai. Setelah menjalani banyak hari sibuk, tiba saatnya mereka pergi bersama menuju hotel yang sudah Rehan pesankan waktu itu. Kania rela menutup warung risolesnya beberapa hari ke depan untuk mematuhi suaminya, begitu juga dengan Rehan yang sudah menunjukkan persetujuan cuti dan akan dibantu oleh ayahnya. “Aku bawakan makanan buat di jalan, buka aja yang kantong merah!” kata Rehan sambil menurunkan kacamatanya. Kania mengangguk, bibirnya terus menerbitkan senyuman sejak bangun tidur tadi, apalagi sikap Rehan berubah sudah tidak dingin dan menjaga jarak lagi, terhitung beberapa kali tangan lelaki itu mengusap kepala Kania dan memberikan genggaman hangat dari tangan kirinya yang bebas. “Kakak mau?” Kania menawarkan roti coklat yang baru dicobanya, enak sekali. “Mau, tapi mau makan dari bekas kamu aja, hehehe,” jawab Rehan spontan membuat pipi Kania memerah, sikapnya sangat berbeda dan terus menyanjung hati Kania. “Yaudah, buka mulutnya!” Kania menyuapkan sisa roti coklat yang ada di tangannya ke mulut Rehan. Sepanjang perjalanan mereka banyak bercerita dan tertawa, bahkan Kania merasa perlu mencatatnya dalam sejarah pernikahan mereka yang sejak awal dingin sekali, untuk pertama kali dirinya dan suami bisa saling bersikap selayaknya pasangan suami istri yang normal. Bahkan, saat Kania tak bisa menahan diri untuk berkemih, Rehan menunggu tepat di depan toilet SPBU demi memastikan Kania aman. “Sabar ya, bentar lagi sampe kok!” kata Rehan lagi dan lagi mengusap kepala Kania lembut. “Iya, Kak. Aku sabar kok, soalnya ini tuh nyenengin!” balas Kania terlihat paling antusias. Tak ada keraguan lagi untuk suaminya. Sekitar tiga jam perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di hotel bintang lima itu. Awalnya, Kania bingung dengan sambutan yang ada di sana, tetapi setelah mengetahui kalau itu salah satu cabang usaha keluarga besar Rehan, ia menjadi malu karena bisa-bisanya seorang menantu dari keluarga itu tidak mengetahui aneka cabang usaha keluarga besarnya. Rehan meminta Kania menunggu sejenak begitu mereka sudah berada di kamar, lelaki itu merasa tubuhnya kurang nyaman karena keringat, jadi mau mandi lebih dulu sebelum mereka menghabiskan waktu berdua. “Aku nggak lagi mimpi, kan?” gumam Kania menepuk kedua sisi pipinya. Tadi, sebelum meninggalkannya Rehan sempat mengecup kedua pipi Kania dan membisikkan kalimat yang membuat keduanya spontan malu. Rehan ingin di malam perayaan itu mereka kembali menyalakan panasnya api di ranjang mereka yang telah lama padam, bahkan seperti tak ada percikannya lagi. Kania mendekap dadanya yang berdebar-debar, dirinya tidak boleh serakah, tetapi kalau itu adalah jawaban dari semua doa yang terus Kania ulangi setiap harinya maka senangnya luar biasa. Kania menjerit tanpa suara, ia tampak girang dengan hadiah mendadak itu. “Siapa tau kalau setelah ini kak Rehan mau komitmen buat ramein rumah sama suara bayi kami, hem?” Kania melompat girang. “Aku harus usahakan yang terbaik, harus!” Setelah Rehan mandi, Kania pun tidak mau ketinggalan untuk ikut membersihkan diri supaya tidak mengecewakan suaminya nanti saat mereka bermadu kasih di ranjang. Kania menyiapkan pakaian terbaik untuk malam itu, tetapi tak lupa harus menemani suaminya makan lebih dulu, barulah mereka saling memeluk di balik selimut. Rehan menanggalkan semuanya hingga mereka tak memakai sehelai benang pun, tubuh besarnya berada tepat di atas Kania dengan tautan bibir yang enggan terlepas, berhenti sejenak kemudian berlanjut lagi. Segala batas dan sikap dingin itu seolah pergi dari diri Rehan, terasa hangat dan lembut pada Kania yang mendambanya. “Kak!” Kania mendesah panjang saat rahimnya bergetar dan terasa hangat. Rehan memejamkan matanya menikmati sensasi gila saat ribuan benih menyemai di rahim Kania, setelah merasa cukup ia pun melepaskannya perlahan dan berguling ke sisi kiri Kania sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka. Paginya, Kania yang baru saja membuka mata tak menyangka suaminya sudah tampil sangat rapi, padahal rencana mereka menginap masih ada dua malam lagi. “Kak, mau ke mana?” tanyanya dengan suara serak sisa semalam, ia berusaha duduk sambil merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya. Alih-alih langsung menjawab, Rehan justru menunjuk map biru yang ada di nakas. “Apa?” lirih Kania, tangannya mengambil map itu kemudian membukanya. Wajah Kania spontan berubah pias, isi map itu bukan lembaran biasa, melainkan surat gugatan cerai dari Rehan untuknya. Kania menjatuhkannya ke pangkuan, air matanya langsung jatuh sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Kak Re, ini nggak bener, kan?” tanyanya berusaha menepis kenyataan menyakitkan itu. Rehan berdecih. “Aku kira kamu paham, tapi sama aja bodohnya. Kamu nggak curiga sama perubahanku gimana, Kan?” Tidak, Kania sempat curiga, tetapi prasangkanya saja yang terlalu baik pada suaminya itu. “Tapi, semalam kita udah baik sekali,” kata Kania sambil menyeka air matanya, ia bangun dan melilitkan selimut itu ke tubuhnya, lalu berjalan ke depan Rehan. Lelaki itu tertawa. “Itu mimpimu, kan? Tiap hari berharap kita tidur bersama. Aku cuman wujudin aja kok, tapi udah cukup di sini aja, Kania. Aku akan mengurus semua dan nggak perlu kamu pikirkan keluargaku gimana, itu urusanku. Di tasmu itu ada uang buat kamu pulang dan rawat lagi bapakmu yang sakit itu, kembalilah kepadanya!” “Kak Rehan!” Kania menggoyangkan kedua lengan suaminya itu, mencoba untuk menyadarkannya. “Tolong, pikirkan lagi!” Namun, usaha Kania sia-sia karena keputusan Rehan sudah bulat, bahkan lelaki itu mendorong Kania menjauh darinya dan menunjukkan foto wanita idamannya yang akan segera dinikahi apa pun yang terjadi nanti. “Pergi yang jauh dan jangan membuat ulah, Kania! Sekali saja kamu berulah, aku nggak akan segan hancurin mimpi adikmu. Ibumu sudah mati, jadi perjodohan ini selesai. Tunggu saja akta ceraimu!” kata Rehan melangkah pergi. Kania mematung menatap kepergian Rehan yang tak berbelas kasih, perlahan tangannya turun mengusap perut ratanya. "Gimana kalau nanti aku hamil?" gumam Kania merasa hancur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN