5. Tidak Bisa Menebak

1104 Kata
Mata Nayma membesar, seperti tidak percaya dengan ucapan ayahnya. Bagaimana mungkin ayahnya yang keras itu membiarkannya pergi bersama orang asing. "Ayah serius?" tanyanya bingung. Liong terkekeh menertawakan putrinya. "Apanya yang serius?" Liong balas bertanya. "Apa aku benar-benar boleh turun dari kapal?" ulang Nayma. "Tentu saja," jawab Liong singkat. Nayma berguman tidak jelas, akal sehatnya tidak dapat menerima kenyataan ini. Ayahnya yang keras kepala itu bisa berubah sedratis ini. "Ta...tapi ini akan memakan waktu beberapa hari, Ayah," ucapnya. "Kalian bisa menginap di penginapan," sahut Liong dan kontan membuat kening Nayma semakin berkerut. "Ayah benar-benar mengijinkanku pergi dengan Arash?" tanya Nayma akhirnya. "Tentu saja. Arash sudah Ayah anggap seperti anak sendiri. Ayah percaya dia bisa menjagamu," sahut ayahnya. Nayma terdiam, semua yang diucapkan ayahnya masih tidak bisa diterima akal sehatnya. Ayahnya yang keras dan selalu mengatur hidupnya itu kali ini terlihat sangat berbeda. Seperti ada sesuatu yang merasuk ke dalam pikiran ayahnya dan membuatnya terlihat berbeda. Bagaimana mungkin ayahnya yang selalu melarangnya berinteraksi dengan orang asing, kali ini membiarkannya pergi bersama Arash, lelaki yang baru beberapa hari ini hadir di kapal mereka. Bagaimana mungkin ayahnya yang tidak pernah membiarkanya turun dari kapal tanpa pengawasannya, kali ini malam membiarkannya pergi bersama sosok asing yang baru diakuinya seperti anak sendiri. Ah! Sungguh semua ini benar-benar membingungkan. "Kenapa kau malah terlihat tidak senang?" tanya Arash saat Liong telah pergi meninggalkan mereka. "Aku masih tidak percaya jika tadi adalah ayahku," bisik Nayma pelan. Arash tertawa pelan, seperti ada yang lucu dari ucapannya. "Ayahku tidak mungkin sebaik ini," ucap Nayma hampir tak terdengar. "Mungkin Paman Liong benar-benar ingin kau ke luar dari kapal agar menghilangkan rasa bosanmu," timpal Arash. Nayma terdiam dan menatap tajam mata Arash dan saat itu dia menemukan jika bola mata Arash yang berwarna hitam pekat terlihat sangat misterius, seolah bisa menyihir siapa saja yang menatapnya. "Tetap saja aku masih tidak percaya," keluh Nayma sambil memalingkan wajahnya. Dia sadar terlalu lama menatal lelaki itu bisa membuatnya kehilangan akal. "Jendela kamarmu sudah selesai kuperbaiki. Jangan lupa menutupnya jika sudah malam," kata Arash sambil membereskan peralatannya. "Pertimbangkan malam ini. Aku akan menunggumu di pinggir sungai ini saat matahari baru terbit jika kau mau ikut denganku besok," lanjutnya sambil beranjak pergi. "Terima kasih, akan aku pertimbangkan," ucap Nayma. Perlahan sosok Arash hampir tidak terlihat pandangan matanya. Tubuhnya semakin mengecil dan kemudian menghilang dari pandangannya. Nayma membuang napasnya sambil menatap langit yang berwarna kemerahan. Jika saat ini ayahnya memberi kesempatan, kenapa tidak dimanfaatkannya? *** Matahari belum terbit benar saat Nayma turun dari kapal. Dia takut terlamat dan Arash akan meninggalkannya. Pengalaman pergi ke kota seperti ini merupakan hal langka yang mungkin di lain waktu tidak akan didapatkannya lagi. Kebingungan Nayma bertambah saat pamit akan berangkat tadi. Tidak ada petuah panjang lebar seperti yang biasa dilakukan ayahnya atau pun kalimat peringata ini dan itu. Hanya ucapan hati-hati. Itu saja, sampai Nayma mesti menunggu beberapa detik lagi, siapa tahu ayahnya akan menyambung ucapannya. Sia Ling, ibunya tak kalah anehnya. Pagi-pagi buta dia telah menyiapkan bekal untuk putrinya selama di perjalanan nanti. Dua buah bungkusan bekal, satu untuk dirinya dan satu untuk Arash. Oh dunia seperti sedang berpihak pada Arash! Nayma juga membawa sebuah bungkusan berisi kue dari tepung beras yang dibuatnya dengan tergesa semalam. Dia ingin memberikannya pada adik Arash "Aku pikir kau tidak akan datang," ucap Arash menyambut kedatangan Nayma. Nayma tersenyum kaku karena menghalau udara dingin yang masuk ke pernapasannya. "Tidakkah ini terlalu pagi?" tanya Nayma sambil menggosok kedua telapak tangannya. "Tidak juga. Kita harus sampai ke kota sebelum matahari terbenam," sahut Arash. "Bukankah kemarin kau menawarkan untuk singgah di desamu dulu?" tanya Nayma sambil mengikuti langkah kaki Arash. Langkah kaki lelaki itu terlalu besar sehingga menyulitkannya. "Kita singgah setelah dari pulang kota saja. Kalau kita tidak cepat, mungkin kedua kakakmu sudah keburu pulang," sahut Arash. Dia menoleh ke belakang dan menemukan Nayma terlihat kesusahan mengikuti langkahnya. "Apa langkahku terlalu cepat?" tanyanya sambil memelankan langkah kakinya. Nayma mengangguk sambil terengah. Nama berguman dalam hati, baru saja memulai perjalanan, tapi dia sudah merasa sangat lelah. "Gapai lenganku kalau aku terlalu cepat," ujar Arash dan dijawab dengan anggukannya. Sepanjang perjalanan, Nayma baru menyadari jika begitu banyak hal yang dilewatkannya. Dia tidak pernah tahu jika air sungai bermuara dari gunung kecil yang mereka lewati. Juga berbagai tumbuhan yang begitu indah dan tidak pernah ditemuinya. "Lain kali aku akan membawamu ke sini lagi," ucap Arash saat melihat mata Nayma yang bersinar penuh kekaguman. "Kakiku terasa lelah, tapi semuanya terbayar dengan pemandangan indah ini." Nayma berdecak kagum sambil matanya mengedar ke segala arah. "Jalan tercepat menuju kota memang hanya melewati hutan ini. Sedangkan jalan lainnya kita harus melalui beberapa desa dan itu akan memperlama perjalanan kita," jelas Arash. Nayma tidak menanggapi ucapan Arash karena matanya sedang berkeliaran ke segala arah. Dari pohon satu ke pohon lain, dari bunga satu bunga lainnya sambil bibirnya berdecak kagum. "Kau benar-benar mirip anak kecil," ucap Arash saat melihat tingkah Nayma. Nayma tertawa kecil sambil tangannya menarik lengan Arash. "Boleh kita beristirahat sebentar, hari sudah siang, aku ada membawa bekal makan siang untuk kita," ucapnya dan dituruti oleh Arash. Nayma mengambil tempat di bawah sebuah pohon besar dan menata bekal makan siang mereka. Sedangkan Arash sedang mencuci wajahnya di kali kecil yang dangkal dengan aliran airnya yang begitu jernih. "Apa biasanya kau sendirian jika ke kota?" tanya Nayma membuka percakapan. Arash mengangguk sambil tangannya membuka bekal yang diserahkan Nayma padanya "Bukannya sangat mengerikan pada malam hari?" "Memang benar, tapi aku sudah terbiasa," sahut Arash. "Tidak ada yang perlu ditakutkan, paling hanya perampok, sisanya binatang liar yang bisa ditangani," sahut Arash enteng. Nayma bergidik ngeri membayangkannya. Ternyata dibalik indahnya hutan ini, banyak hal menyeramkan yang mungkin terjadi. "Tenang saja, kali ini kau akan aman bersamaku," lanjutnya dengan nada sombong. Nayma bukannya tidak ingin membalas ucapan Arash, tapi entah kenapa Arash dan ucapannya barusan membuatnya berdebar. Dentuman jantungnya sangat terasa dan memuatnya salah tingkah. Mereka makan dalam diam, terlalu hening sampai untuk mengunyah makan saja terasa malu dilakukannya. Nayma terus mengutuk betapa bodohnya dia saat tiba-tiba saja lengan besar Arash merangkul tubuhnya dan membawanya menuju semak. Nayma membelalak dan hampir meneriakkan kalimat penolakan. "Ssttt...tenanglah, ada rombongan orang yang akan lewat," bisiknya. Nayma bertambah bingung, buat apa mereka bersembunyi hanya karena ada rombongan orang yang akan lewat. Bukankah malah bagus, mereka jadi memiliki teman selama perjalanan nanti. "Suku Oro...." Nayma bisa mendengar dengan jelas desisan suara Arash. "Siapa ...?" Arash membungkam mulut Nayma sebelum dia bertanya lagi. Tidak lama terdengar jelas langkah-langkah berat dan suara orang-orang yang semakin mendekat. Nayma merasa tubuhnya bergetar pelan. Kali ini dia tidak bisa menebak, apa karena Arash yang memeluk tubuhnya dari belakang atau karena kedatangan rombongan asing itu. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN