Trias, kepala suku Zath adalah sosok yang diseganinya. Beberapa minggu terakhir ini kesehatan Trias tidak begitu baik karena sakit yang dideritanya. Trias tidak memiliki keturunan seorang pun karena istrinya terbunuh oleh suku Oro. Itu juga yang menjadikan sakit yang dideritanya sukar sembuh karena tidak ada energi baik yang diserapnya.
Keanehan hanya terjadi pada Dax ayahnya. Setelah ibunya meninggal, energi Dax seolah tidak pernah habis. Hal yang jarang sekali terjadi pada lelaki suku Zath.
"Kenapa dia ingin bertemu denganku, Ayah?" tanyanya.
"Ayah tidak tahu. Mungkin ada hubungannya dengan ramalan Genore," sahut Dax. Arash menggeleng, semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya. Hanya ramalan, kenapa semua percaya?
Genore meramalkan akan ada pemimpin baru suku mereka. Seorang pemuda kuat yang memiliki banyak keistimewaan. Hanya itu yang disebutkan Genore, dia bahkan tidak ada menyebutkan nama Arash sebagai orangnya. Bukankah mereka terlalu percaya diri?
Arash menarik napas, ingin berdebat dengan ayahnya tapi entah kenapa energinya tidak cukup untuk itu. Dia akhirnya memilih menyerah dan menuruti perinta ayahnya untuk menemui Trias.
"Baiklah, Ayah. Aku akan segera ke sana," sahut Arash akhirnya. Berdebat dengan ayahnya hanya akan memicu pertengkaran.
Arash berpapasan dengan Genore saat dia akan menuju kediaman Trias. Genore yang seperti tahu apa yang dipikirkan Arash menepuk pundaknya perlahan.
"Semua hal yang baik akan terjadi padamu," ujar Genore.
"Aku tidak merasa ada hal baik akan terjadi," sahut Arash ketus. Genore terkekeh, tampak tidak peduli dengan wajah Arash yang terlihat kesal.
"Aku akan bertemu dengan Yang Mulia. Tolong minta para baysia menyiapkan makan malam untuk Nayma, sepertinya dia sudah kelaparan," ujar Arash. Baysia adalah sebutan kepada para wanita suku Zath yang telah kehilangan suami mereka dan mengabdikan hidupnya untuk kepentingan suku. Mereka adalah wanita-wanita kuat yang sangat tegar.
"Tenang saja, aku sendiri yang akan mengantarkan makan malamnya," sahut Genore sambil berlalu.
Arash memasuki kediaman Trias dengan tegang. Beberapa penjaga menganggukan kepala saat melihat kedatangannya. Tampaknya Trias telah memberitahu para penjaga tentang kedatangannya.
Kediaman Trias penuh dengan nuasa warna tanah yang membuatnya terlihat sangat menyeramkan, gelap dan dingin. Setelah berkali-kali diserang oleh suku Oro, suku Zath akhirnya menemukan persembunyian yang sulit untuk diketahui oleh suku Oro. Di bawah tanah ini menjadi tempat tinggal sekaligus pesembunyian yang bagus. Untuk mencapai kediaman suku Zath ini, harus melewati hutan belantara dan sebuah gua dengan lorong yang begitu dalam.
Suku Zath mengubah bawah tanah yang gelap menjadi tempat yang layak untuk ditinggal, bahkan sudah menyerupai pemukiman di atas tanah. Ada rumah penduduk, peternakan, kebun dan sawah yang mengadalkan cahaya dari matahari buatan mereka. Matahari suku Zath dibuat dari batu antium dan sedikit campuran kristal jaiye. Dengan seperti itu, suku Zath tidak merasa kekurangan apa pun selain ketakutan mereka akan suku Oro yang terus-menerus ingin memusnahkan mereka.
Sebagai suku tertua di pulau Zare, suku Oro ingin memusnahkan suku-suku lain yang mengancam mereka, suku Zath salah satunya. Suku Oro ingin menguasai Pulai Zare dan segala kekayaan alam di dalamnya. Mereka terus mendesak suku-suku lainnya agar perlahan musnah dan meninggalkan pulau Zare.
"Masuklah, Arash. Aku sudah menunggumu." Suara dari balik pintu membuat Arash menahan tangannya yang sudah hampir mengetuknya.
"Baik, Yang Mulia," sahut Arash sambil menundukkan kepalanya.
"Salam kebaikan dan kedamaian, Yang Mulia," ujar Arash saat memasuki kamar Trias. Trias yang sedang dalam posisi bersandar di sudut tempat tidur mengangguk menyambut kedatangannya.
"Duduklah di sebelahku, Arash," pintanya kemudian. Arash menurut dan mendekat ke arahnya.
"Bagaimana keadaan Yang Mulia?" tanyanya setelah duduk.
"Jauh lebih baik, Arash. Sepertinya usia renta ini membuatku semakin kesulitan," sahutnya sambil terkekeh. Arash tersenyum sambil memperhatikan wajah Trias yang memang sudah terlihat menua. Helai-helai rambut putih mulai memenuhi rambutnya, orot-otot tangannya juga sudah terlihat mengecil dan keriput. Arash ingat betul, Trias dan ayahnya adalah dua orang sahabat yang memiliki kekuatan hebat. Trias dengan kemampuan mengendalikan elemen bumi dan ayahnya dengan kekuatan yang sama dengannya yaitu mengendalikan pikiran dan kemampuan meringankan tubuh. Setiap orang suku Zath memang memiliki kemampuan istimewa yang berbeda, tapi ada kalanya juga tidak memiliki kemampuan apa pun. Mereka yang tidak memiliki kemampuan istimewa itu disebut sebagai apara, atau artinya orang-orang yang harus dilindungi. Apara biasanya berasal dari penduduk kelas bawah.
"Beristirahatlah lebih banyak lagi, Yang Mulia. Untuk sementara tidak perlu khawatirkan keadaan suku. Sampai saat ini belum ada informasi tentang penyerangan suku Oro," kata Arash.
"Tentu saja aku tidak ada khawatir, ada kau dan ayahmu," sahutnya sambil tersenyum. Saat Trias menyelesaikan kalimatnya, perasaan Arash mendadak merasa tidak nyaman. Pasti ada maksud lain dibalik ucapannya itu.
"Kau bisa lihat, aku yang tidak seperti dulu lagi. Bahkan ayahmu jauh lebih sehat dibanding aku." Trias seperti sedang menerawang saat menyelesaikan kalimatnya.
"Suku Zath membutuhkan sosok baru untuk menjadi pemimpin mereka," lanjutnya. Arash diam, tidak memiliki keberanian untuk menyahuti ucapan Trias karena dia tahu belum waktu untuknya berbicara.
"Tidak semua orang bisa melakukannya. Ada sebuah takdir yang tidak bisa dihindari." Arash masih diam, dia sedang memikirkan ucapan Genore dan ayahnya tentang ramalan jika dialah sosok pengganti Trias.
"Aku percaya pada takdir itu, Arash," katanya sambil menatap mata Arash. Arash menegang membalas tatapan mata Trias, tatapan mata itu seolah sedang mengorek isi kepalanya. Arash menarik napas panjang dan memberanikan diri membalas perkataan Trias.
"Takdir seperti apa Yang Mulia?" tanyanya.
"Takdir untuk membawa suku Zath menuju kebahagiaan dan kedamaian," sahutnya.
"Kau tahu kemampuan Genore untuk melihat masa depan sangat bagus. Dia bisa mengetahui hal baik dan buruk yang akan terjadi," lanjut Trias memulai ceritanya kembali.
"Genore meramalkan ada seorang pemuda suku Zath dengan kemampuan istimewa yang bisa membawa suku Zath pada kebahagiaan itu. Dan aku menjadi semakin yakin saat melihat kondisi tubuhku yang sudah seperti ini. Maksud dari ramalan Genore itu adalah ada seorang pemuda suku Zath yang telah dipilih oleh takdir untuk menggantikanku," jelasnya panjang lebar.
"Berhari-hari aku memikirkan perkataan Genore," lanjutnya.
"Banyak pemuda suku Zath yang memiliki kemampuan istimewa, Yang Mulia." Arash menimpali.
"Memang banyak, tapi hanya satu yang telah ditakdirkan. Semua kehidupan kita ini sudah ditakdirkan, entah itu baik atau pun buruk." Wajah Trias terlihat sedih saat mengucapkannya.
"Arash, kau adalah pemuda istimewa. Anak seorang panglima perang suku Zath dan aku tahu otakmu sangat cerdas. Ayahmu sering memujimu di depanku," kata Trias dengan wajah serius. Arash menahan napasnya, dia tahu arah pembicaraan Trias.
"Aku berani bersaksi di depan Dewa Kedamaian, jika pemuda yang ditakdirkan untuk mengubah hidup suku Zath itu adalah kau, Arash!" ujarnya dengan suara lantang. (*)