Sasha turun dari mobil setelah Pak Adi seperti biasa membukakan pintu untuknya. Perempuan itu membenarkan tali ranselnya yang turun sembari mengangguk pelan kepada sopir yang bertugas mengantar-jemput dia dan Sandi— adik Sasha yang juga bersekolah di SMA Gharda dan hanya selisih satu tahun dengan umur Sasha.
Sasha berjalan mendahului Sandi, perempuan itu segera disambut dengan Bi Ina yang tersenyum dengan sikap sopan menautkan tangan ke depan. Perempuan yang terpaut sepuluh tahun dari Sasha itu lantas berkata, "Mbak Sasha, ada pesen dari Bapak."
Tanpa menghentikan langkah Sasha membalas, "kenapa?"
Bi Ina mengikuti Sasha tepat di belakang anak tengah majikannya itu. "Bapak mau makan malam di Hotelnya Om Bian."
"Cuma aku aja?" Sahsa menoleh menatap Bi Ina sambil mengerutkan dahi. Dia melirik ke arah Sandi yang baru saja melewati dirinya dan naik ke lantai dua tanpa sedikitpun menatap Sasha. "Sandi enggak?"
"Iya cuma Mbak Sasha aja."
Sasha langsung mendengus kasar. Dia sangat tahu apa maksud dari ayahnya, apalagi ini dengan Om Bian yang statusnya masih saudara dekat namun persaiangan diantara mereka juga ketat.
"Yaudah deh, Bi. Aku ke atas."
Sasha melangkah menaiki tangga sampai di lantai dua dia melewati kamar Sandi. Sasha berhenti ketika adiknya berkata, "gak usah dateng kalau gak mau dateng."
Sasha menaikan sebelah alisnya. "Lo mau gantiin gue?"
Sandi yang duduk di tepi ranjang menatap lurus Sasha kemudian menghela napas pelan. "Kak, gue tau ayah mau ngap—"
"Dulu lo juga tau, tapi lo diem aja." Ujung bibir Sasha sedikit terangkat. "Kenapa sekarang lo sok peduli?"
"Kak." Sandi mengalihkan pandangan ke arah lain, laki-laki itu kemduian berdiri dan berjalan ke arah Sasha kemudian menutup pintu setelah berkata, "terserah lo."
Berpuluh-puluh kilometer dari tempat Sasha berdiri menatap dingin pintu kamar Sandi yang tertutup rapat, seorang laki-laki berdiri di depan pintu pagar yang tertutup rapat sejak satu jam lalu. Dia benar-benar hanya berdiri tanpa niat untuk masuk ke dalam bahkan rintik hujan pun tidak menyulut niat laki-laki itu.
Suara dering ponsel mengalihkan perhatian laki-laki itu, ia merogoh saku hoodienya mengeluarkan benda elektronik tersebut dari sana. "Mana duit gue b*****t!"
"Bentar... lagi gue usahain."
"Lo niat cari duit gak sih, Ser?! Gue masukin lo juga gak gampang!"
Sergio mendengus kesal, ia segera mematikan sambungan telepon itu secara sepihak setelah berkata, "bacot! Gue bakal kasih duitnya!"
***
Ananta atau yang akrab dipanggil Anta membenarkan letak kacamata yang bertengger sempurna di hidung mancung lelaki yang mengenakan setelan jas berwana hitam, senada dengan anak lelaki satu-satunya yang tampak enggan duduk di sampingnya. Sergio tampak menggaruk kepala beberapa kali, mengubah posisi duduk, sampai memperhatikan detail restoran yang berada di sebuah hotel bintang lima itu.
Sejauh yang bisa Sergio bisa simpulkan dengan otaknya adalah pemilik hotel ini keturunan jawa. Dilihat dari bagaimana tokoh pewayangan terukir rapi seolah membentu sebuah tersendiri di salah satu dinding sementara yang lain dibiarkan polos.
"Gimana sekolah?"
Sergio mengalihkan pandangan ke Anta, hanya sedetik sebelum laki-laki itu kembali melengos ke arah lain. "Gitu-gitu aja."
"Kamu tau kan..." Anta meletakan ponsel yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya ke atas meja makan. "Tahun ini Papa mau nyalon lagi?"
Sergio hanya mengangguk tanpa minat. Sama seperti sebelumnya Sergio tidak pernah mau tahu apa yang dilakukan ayah kandungnya itu.
"Jangan banyak masalah. Kemungkinan besar Papa bakal menang," kata Anta yakin membuat Sergio tak kuasa menahan tawa. Anta menoleh ke samping, menaikan sebelah alis menatap wajah anak sulungnya berusaha meredakan tawa. "Sergio!"
"Sorry," kata Sergio masih dengan sisa senyum di sudut bibirnya.
Anta menyurai rambutnya ke belakang. Diam sejenak sebelum akhirnya menggeleng-gelengkan kepala. Tangan lelaki paruh baya itu terulur mengambil gelas berisi air mineral sebelum menegak isinya sedikit. "Emang bener kata orang... buah gak jatuh jauh dari pohonnya."
Sergio menatap tajam Anta, tangannya terkepal tanpa sadar, dan tinjunya sudah bisa dipastikan melayang jika bukan karena suara ketukan diiringi suara pelayan restoran. "Permisi Bapak, Pak Pramana sudah datang."
"Ya, silahkan."
Sergio mendengus frustrasi. Dalam kondisi seperti ini ia tidak bisa berbuat banyak dan fakta ia memerlukan bantuan Anta adalah hal paling mengerikan dalam hidupnya. Anta tersenyum ramah menyambut tamu yang Sergio tahu cukup penting, dilihat dari bagaimana topeng yang dipasang oleh Anta.
"Ini pasti Sergio?"
Mendengar namanya dipanggil Sergio menoleh ke sumber suara, matanya langsung bertemu dengan mata seorang perempuan yang duduk bersebrangan dengan dirinya. Sergio mengalihkan pandangannya ketika Anta berkata sambil merangkul bahunya. "Iya, ini anak saya yang pertama."
"Oh iya-iya Pak, saya diberi tahu Bian kalau anak kita seumuran," ujar Pramana sembari mengamati Sergio yang terlihat tidak peduli.
"Jangan-jangan satu sekolah lagi sama Sasha," kata Jihan istri dari Pramana dan mendadak membuat ingatan Sergio seolah terpanggil begitu saja. "Sasha?"
"Iya, Sasha." Jihan mengusap punggung perempuan yang sedari tadi duduk tegap menatap lurus Sergio. "Sergio kenal ya? Sasha terkenal lho di sekolah!"
Sergio yakin tidak yakin dengan ingatannya tapi laki-laki itu hanya perlu memastikan satu hal. "Sekolah di mana tante?"
"SMA Gharda, Ser. Kamu?"
Gotcha! Sergio tidak bisa untuk tidak menyembunyikan senyumnya.
Anta tertawa renyah lalu dengan semangat membara lelaki paruh baya itu menjawab. "Sergio juga sekolah di SMA Gharda!"
"Oh ya?! Kebetulan banget!"
Masih dengan tawa— yang jika diperbolehkan Sergio akan memberikan komen paling buruk untuk akting Anta menjadikan hal-hal kecil seolah dua keluarga sudah terikat takdir. "Bukan kebetulan aja... kayaknya kita juga harus memastikan masa depan mereka cerah."
Cerah bapak lo!
***
Satu jam berada di dalam Restoran sebuah Hotel tiga orang dewasa semangat dalam membahas keterlibatan Anta dalam dunia politik juga bagaimana perusahaan Pramana yang memang bergerak di bidang perkebunan yang membutuhkan izin ekspor dan Anta menjanjikan kegiatan tersebut akan dipermudah. Sementara remaja yang baru menginjak umur tujuh belas tahun tampak enggan menyelesaikan makanan mereka.
Sergio meletakkan pisau dan garpu ke atas piring kemudian menatap Anta yang masih asik berbincang dengan Pramana. "Boleh Pak, silahkan ikut nanti kalau saya kampanye."
"Baik-baik, nanti kasih kabar saja."
"Aku mau balik Pa," kata Sergio tiba-tiba berdiri membuat tiga orang lainnya mendongak menatap laki-laki jangkung itu kecuali Sasha yang tampak tidak tertarik dengan tindakan Sergio.
Anta menghela napas diam-diam. "Ke mana?"
"Belajar," jawab Sergio asal kemudian melenggang pergi keluar begitu saja. Pramana dan Jihan menunduk setelah saling tatap sejanak, lalu kembali makan.
Anta tersenyum tipis kemudian ikut berdiri dan melenggang keluar ruangan setelah pamit kepada Jihan dan Pramana untuk menyusul anaknya. Setelah memastikan Anta keluar dari ruangan Jihan segera bertanya, "kamu gak kenal sama anaknya Pak Anta, Sa?"
"Enggak."
"Yakin nggak kenal?"
"Iya." Sasha mengelap sudut bibirnya memastikan tidak ada sisa saus atau apapun itu.
Pramana menuangkan air mineral ke dalam gelas milik Jihan yang sudah kosong tanpa menatap anak tengahnya lelaki itu berkata, "kamu awasi Sergio."
Sasha masih diam mendengarkan.
"Kalau emang dia bermasalah Ayah batalin buat jadi sponsor Pak Anta."
"Yang mau jadi DPR kan Pak Anta bukan Sergio. Kenapa aku harus rep—"
"Karena kalau Sergio baik dan semua rencana berjalan lancar..." Ada jeda di kalimat Pramana yang membuat hati Sasha mencelos jauh sebelum ayahnya itu menyelesaikan kalimat selanjutnya. "Kamu nikah sama Sergio."
***
Sasha menatap pantulan diri melalui cermin Toilet Hotel, perempuan itu membenarkan jepit rambut yang menyangga anak rambutnya agar tidak turun. Setelah selesai ia segera keluar bermaksud untuk kembali ke Restoran tapi langkahnya terhenti ketika melihat Anta keluar dari sebuah ruangan berjarak lima meter dari tempat Sasha berdiri.
Anta tidak melihat kehadiran Sasha, tapi perempuan itu bisa melihat dengan jelas Anta tengah tersenyum sebelum sedetik kemudian kembali menampilkan wajah datar. Sasha kembali melangkah namun tidak berlangsung lama ketika pintu ruangan tempat Anta keluar sebelumnya kembali terbuka.
Sergio keluar dari ruangan itu sambil memegangi dahinya. Berbeda dengan Anta, Sergio sadar akan kehadiran Sasha. Laki-laki itu menatap Sasha dengan sebelah alis terangkat, detik itu juga Sasha bisa melihat jelas memar di dahi kanan juga luka robekan di sudut kiri bibir laki-laki itu. "Kenapa? Baru liat bapak mukulin anak sendiri?"
Sasha mendengus kecil tidak menyangka bahwa kalimat itu yang justru keluar dari mulut Sergio. Perempuan itu kembali berjalan, melenggang pergi melewati Sergio begitu saja.
Sementara Sergio merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan mendapati orang yang sama kembali menelepon. "Lo dimana? Gue kasih duitnya sek—" Sergio mendadak merutuki diri sendiri ketika melupakan hal penting. Matanya menatap punggung Sasha yang terus menjauh hingga perempuan itu kembali masuk kembali ke dalam Restoran. "Anjing!"
***