Pagi-pagi sekali Sergio sudah berada di Sekolah, berdiri bersandar di dinding pembatas lantai tiga di mana area kelas dua belas berada. Pandangan lelaki itu tertuju pada koridor utama satu-satunya akses masuk ke dalam sekolah jika dari pagar depan dan Sergio cukup yakin bahwa perempuan yang ditunggunya akan melewati koridor utama. Saat itu Sergio akan membuktikan bahwa dugaannya tidak salah.
"Weits!" Suara yang akrab di telinga Sergio tidak membuat lelaki itu repot untuk menoleh memastikan Abi yang menggoyang-goyangkan bahunya. "Ngapain lo pagi-pagi gini?"
"Sekolah."
"Belagak sekolah lu," kata Abi sambil terkekeh kali ini Sergio menyempatkan diri untuk melirik tajam. Abi merangkul Sergio sembari mengikuti arah pandangan temannya. "Lo liat apaan dah?"
"Cewek."
Kening Abi berkerut. "Cewek mana?" tanya Abi lagi karena sejauh mata memandang hanya ada dua adik kelas mereka yang baru saja berbelok ke gedung area kelas sepuluh.
"Ya ini gue nungguin orangnya dateng." Sergio menampis pelan tangan Abi yang bertengger di bahunya. Abi sendiri masih bingung dengan perempuan yang dimaksud oleh Sergio memilih tetap berada di samping laki-laki itu ikut memperhatikan koridor utama.
Tepat sepuluh menit sebelum bel berbunyi, senyum Sergio merekah sempurna sebelum laki-laki itu berdecak keras ketika kesenangannya melihat perempuan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang tapi tidak bersama dengan barang yang ia inginkan. "Bangsatlah!"
Abi yang tidak tahu-menahu hanya bisa mengernyit bingung mengikuti Sergio dari belakang yang melangkah cepat menuju tangga dan menuruninya. Sampai di lantai dasar, Sergio mempercepat langkah kakinya. Menyusuri koridor gedung area kelas dua belas melewati beberapa teman satu angkatannya yang mengangguk segan atau sekedar menyapa meski diabaikan oleh Sergio.
Langkah kaki Sergio melambat dan berhenti di depan perempuan yang tengah mengikat rambut juga terpaksa berhenti karena jalannya tiba-tiba dihalangi begitu saja. Sasha mendongak menatap Sergio dengan kening berkerut, tangannya menyelesaikan putaran terakhir ikatan rambutnya kemudian bersedekap seraya berkata, "kenapa?"
"Kok lo pake tas itu?" tanya Sergio sambil menunjuk ransel berwarna abu-abu yang tersampir hanya di bahu kanan Sasha.
"Ya... terserah gue." Sasha akan melangkah melewati Sergio tapi perempuan itu kembali dihalangi badan jangkung lelaki yang baru ia kenal semalam. "Apalagi?"
"Gue gak mungkin salah inget." Sergio menghapus dua langkah membuat dirinya semakin dekat bahkan ujung sepatu keduanya nyaris bertemu jika bukan karena Sasha refleks mundur ke belakang. "Lo punya tas warna hijau army kan?"
Sasha diam menatap lurus Sergio. "Gak punya."
Sergio menyurai rambutnya ke belakang sambil mengembuskan napas panjang. "Gini ya Sa—" Bel masuk sekolah berbunyi dan Sasha memanfaatkan hal tersebut untuk melangkah pergi. "Sa! Sasha!"
Abi yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka sama sekali mulai menemukan titik terang, mengapa Sergio sampai datang pagi-pagi untuk menemui Sasha. Lelaki itu segera mencekal lengan Sergio ketika temannya akan mengejar Sasha. "Lo taruh di tasnya Sasha?!"
"Iye!" Sergio menampis tangan Abi dan langsung mengejar Sasha. Dalam hitungan detik laki-laki itu berhasil menyamai langkah kaki Sasha. "Lo pulang lewat mana?"
Sasha terkekeh pelan. "Kenapa? Mau lo begal?"
"Gue gak bercanda. Rumah lo di mana?"
Sasha berpikir cepat dalam diamnya, tapi perempuan itu kalah dari keegoisan laki-laki yang berjalan di sampingnya sekarang. "Ntar gue anter pulang."
***
Sasha membereskan bukunya setelah mengikuti kelas intensif untuk persiapan olimpiade. Perempuan itu berjalan keluar untuk kembali ke kelas sebenarnya seperti biasa di jam istirahat kedua.
Sasha memilih mampir ke Koperasi dibanding pergi ke Kantin dan berdesakan dengan murid-murid lain. Perempuan itu memilih dua plastik keripik kentang dan satu botol air mineral untuk mencegah rasa lapar hingga jam ishoma.
Setelah menyelesaikan pembayaran Sasha kembali menuju kelas dan di antara murid-murid yang berlalu-lalang hanya Sasha yang mengenakan ransel karena selama menjelang olimpiade, setiap hari perempuan itu selalu bolak-balik antara kelas XII IPA 1 dan kelas intensif.
Di jam istirahat seperti ini terkadang murid-murid mengadakan pertandingan dadakan di Lapangan Utama entah itu basket atau futsal. Hari ini mereka mengadakan pertandingan dadakan futsal antara kelas dua belas dan XI IPS 3 yang terpaksa meladeni kakak kelas mereka— juga karena jadwal pelajaran olahraga mereka yang kebetulan diadakan dua jam sebelum istirahat.
Sasha sempat berhenti karena rombongan para murid perempuan tiba-tiba saja berhenti dan teriak histeris sambil menatap ke arah Lapangan. Refleks Sasha ikut memperhatikan, matanya segera tertuju pada dua laki-laki terlihat begitu sengit berusaha mempertahankan dan satu lagi berusaha merebut bola.
Sergio dan Sandi.
Alis Sasha terangkat ketika Sandi akhirnya berhasil mengecoh Sergio dan menggiring bola menuju gawang lawan.
"Jadi... lo sebenernya lagi deket sama Sergio ceritanya."
Sasha menoleh ke samping menatap Kiara berdiri tepat di sampingnya sambil menahan senyum begitu melihat wajah terkejut teman satu bangkunya. "Gue gak deket sama Sergio," kata Sasha jujur tanpa melebihkan apapun.
"Masa sih?" Nada Kiara masih menggoda sambil mengarahkan pandangan kepada laki-laki yang tengah mereka bicarakan. "Anak-anak pada ngomongin lo tuh. Katanya banyak yang liat kalau tadi pagi lo ngobrol di koridor sama Sergio."
"Sekarang gue juga lagi ngobrol sama lo. Sama-sama di koridor juga." Sasha menaikan seblah alisnya. "Bukan berarti gue deket sama lo dong?"
Jika bukan Sasha mungkin Kiara akan sakit hati karena dianggap bukan teman dekat meski sebenarnya memang tidak dekat— tapi paling tidak sebagai sesama makhluk dengan perasaan lebih dominan dibanding logika, seharusnya Sasha bisa mempertimbangkan kalimatnya barusan. "Beda konteks dong, pinter," balas Kiara tidak kalah sarkas. "Sergio gak pernah keliatan sama cewek. Apalagi sampai dateng pagi-pagi buat nungguin cewek. Apalagi... ini tuh, elo. Sasha Amalia, murid paling pinter di sekolah gue tercinta."
Dan benar saja, ketika Kiara selesai menjelaskan Sasha langsung bisa merasakan beberapa pasang mata yang secara terang-terangan menatap ke arahnya. Perempuan itu mendengus kemudian menggelengkan kepala. "Kalau ada perlu ya ngobrol. Kalau ngobrol bukan berarti bisa disimpulin deket."
Kiara mengikuti Sasha, keduanya berjalan beriringan dengan Kiara yang masih belum memuaskan rasa penasarannya. "Terus kenapa kemarin lo nanyain Sergio? Gak mungkin kan, tiba-tiba lo tertarik sama itu anak kalau bukan karena ada sesuatu."
Sambil terus berjalan sebenarnya Sasha berpikir jika ia tidak perlu meladeni Kiara, tapi entah mengapa perempuan itu justru mempertimbangkan apabila dia mengelak Kiara akan terus merecokinya.
"Pengin tau aja, bukan tertarik." Sasha menatap Kiara lekat. "Kata lo dia lancang bongkar isi tasnya anak-anak kan?"
Kembali ke kelas, memulai kehidupan Sasha yang monoton layaknya remaja seumurannya. Belajar, sedikit bercanda karena Sasha bukan tipe orang yang mudah bergaul, mengeluh karena tugas yang tidak berhenti diberikan hingga di penghujung jam pelajaran Sasha masih mengira hidupnya masih normal sampai mata perempuan itu menangkap sosok jangkung berdiri di depan kelasnya sambil bersandar di dinding.
Mata mereka bertemu untuk sepersekian detik, saat itu juga Sasha tahu kehidupan di Sekolahnya tidak akan sama lagi ketika beberapa pasang kepala jelas-jelas menoleh ke arahnya menunjukan ketertarikan lebih dari seorang perempuan pintar dan anak olimpiade fisika.
***