Sergio bersandar di dinding pembatas sembari menatap ke dalam Kelas XII IPA 1 atau lebih tepatnya kepada seorang perempuan yang duduk di baris ketiga dari depan tengah membalas tatapannya dalam diam sebelum akhirnya memutus kontak mata mereka dan kembali menghadap ke depan memperhatikan Bu Mega yang masih membahas rumus-rumus matematika.
Dua menit kemudian bel pulang berbunyi nyaring bersamaan dengan Lando dan Abi yang baru saja keluar dari Kelas, menyusul Sergio. Abi ikut bersandar di dinding pembatas sembari bertanya, "Lo beneran mau nganter Sasha pulang?"
"Mau gimana lagi?" jawab Sergio kemudian memutar badannya sehingga laki-laki itu menjadikan kedua lengannya menjadi sandaran. Pandangannya otomatis beralih pada Lapangan beserta Koridor Utama yang masih lenggang. "Gue butuh."
"Kalau Sasha ngelaporin ke bokap lo gimana?"
Perihal pertemuannya dengan Sasha semalam sudah diceritkan oleh Sergio kepada Lando dan Abi. Dua temannya sama sekali tidak terkejut jika kemungkinan besar Sergio akan memiliki hubungan khusus dengan Sasha apabila perjanjian orang tua yang terlibat berjalan lancar.
"Gak bakal."
"Bokapnya?" sahut Lando membuat dua laki-laki yang lain menoleh ke arahnya.
Sergio mengernyit. "Bokapnya Sasha?" Sergio memperjelas maksud dari ucapan Lando yang sering kali terlampau singkat hingga tidak jelas maksudnya ke mana. "Makanya gue harus pastiin sendiri."
Abi mengernyitkan kening bingung. "Bentar-bentar, berarti lo mau masuk ke Rumahnya? Cari tas itu gitu?"
Sergio menggeleng. "Tinggal todong aja... kalau masih gak ngaku, toh dia yang bakal rugi."
"Tuh orangnya keluar."
***
Sasha merapikan bukunya, entah sejak kapan perempuan itu sudah menjadi pusat perhatian dibanding Bu Mega yang mengingatkan halaman-halaman berisi soal yang harus dikerjakan dan dikumpulkan lusa. Ketika Sasha memasukan buku ke dalam ransel yang disampirkan di kursi mata perempuan itu bertemu dengan manik mata milik Kiara. "Apa?"
Kiara menggeleng, ia ikut memasukan beberes buku-bukunya. "Jangan main-main sama Sergio."
Berusaha untuk terlihat tidak tertarik Sasha berkata, "apaan sih."
"Gue serius. Itu anak gak normal." Kiara melirik ke luar kelas sejenak lalu mengembukan napas pelan. "Meskipun tampangnya ganteng, tapi serius deh Sa, masa iya lo kepincut sama Sergio, sih?!"
Sontak mata Sasha melebar. "Siapa yang kepincut sih, Ki?!"
"Terus itu apa?" Kiara menunjuk Sergio dengan dagunya yang bergerak ke depan. "Gini deh, lo jauh bermartabat daripada Sergio, maksud gue— ya lo taulah maksud gue apaan. Tapi kalau lo emang bosen belajar dan butuh support system, gue beneran gak merekomendasikan Sergio."
Sasha mengernyit kemudian menggelengkan kepala dan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Sasha langsung berdiri dan beranjak keluar kelas setelah Bu Mega. Melalui ekor mata, Sasha bisa melihat Sergio bergerak dan mengikutinya di belakang.
Berjalan melewati anak tangga yang masih sepi dari belakang suara Sergio terdengar. "Rumah lo di mana Sa?"
Sasha langsung berhenti menoleh ke belakang, menatap Sergio yang berdiri jarak lima anak tangga di atas Sasha. Laki-laki itu memasukan dua tangan ke celana seragamnya menatap Sasha sambil menaikan sebelah alisnya. "Apa?"
"Mau lo apa sih?"
"Ambil rokok gue."
"Rokok apa?"
Sergio melangkah turun satu anak tangga, semakin dekat dengan Sasha. "Lo punya tas lain kan? Selain yang lo pakai sekarang?"
Sasha mengangguk masih mengerutkan kening. "Ada, kenapa?"
"Gue nyembunyiin rokok gue di tas lo."
Sasha tersenyum miring, melipat tangan, masih mendongak menatap Sergio. "Kenapa lo bisa yakin kalau lo nyembunyiin rokok lo di tas gue?"
Laki-laki itu turun satu anak tangga lagi, Sergio sedikit membungkukan badannya kemudian berbisik, "lo juga punya kan?"
Sasha menelan ludahnya susah payah, ia mengalihkan pandangan membuat senyum kemenangan Sergio tercetak sempurna. Laki-laki itu kembali menegapkan badan kemudian menaikan sebelah alisnya. "Gimana? Masih gak mau ngaku?"
Sasha menyurai rambutnya ke belakang kemudian menghela napas berat. "Besok gue kasih."
Sasha langsung berbalik meneruskan langkahnya, tiga anak tangga terakhir perempuan itu menemukan Sandi berdiri di bawah pohon mangga bersama dengan teman-temannya yang lain menatap ke arahnya dengan raut wajah kaku.
Sasha berdecak keras. "Sial!"
***
"Lo ngapain berduaan sama Sergio?"
Sandi mengekori Sasha begitu turun dari mobil. Hari ini mereka tidak pulang satu mobil karena pagi tadi Sandi bangun terlambat sehingga mereka berangkat terpisah, Sandi pergi dengan motornya dan Sasha seperti biasa diantar oleh Pak Adi.
"Kak. Kak Sasha!" Sandi menarik paksa lengan Sasha membuat kakak perempuannya yang nomer dua itu terpaksa berhenti dan menghadap ke arahnya. "Ngapain lo sama Sergio?"
"Urusannya sama lo apa?!" Sasha menepis tangan Sandi kasar. "Gak usah sok peduli deh!"
Sandi menghela napas berat, lelaki yang hanya beda satu tahun dengan Sasha itu terlihat gusar. "Gue bukannya sok peduli atau apa. Tapi ini Sergio, Kak."
Sasha melipat tangan di depan d**a. "Terus kenapa?"
"Gak usah berurusan sama itu orang, kalau masih mau punya masa depan cerah," kata Sandi membuat Sasha terkekeh geli. Perempuan itu hanya menggelengkan kepala kemudian melenggang pergi naik ke lantai dua setelah berkata, "gak usah ngurusin hidup gue... oke? Kita sepakat kan, hidup masing-masing?"
Sasha masuk ke dalam Kamar, menutup dan mengunci pintu rapat-rapat. Sasha juga memastikan dua jendela yang ada di Kamarnya tertutup rapat, setelah itu ia menuju ranjang. Tangannya merogoh ke bawah ranjang mengambil sebuah kunci yang ia selipkan di sana. Perempuan itu kemudian memasukan kunci ke lemari, memutar dua kali lalu membuka pintu lemari dan segera mengambil ransel hijau army yang sudah dua hari menjadi buron oleh Sergio.
Sasha membuka resliting bagian kecil ransel dan mengeluarkan dua kotak rokok dari dalam sana. Tangannya membuka kotak rokok milik Sergio mengeluarkan serbuk putih yang dibungkus plastik bening dari sana.
Sasha menghela napas berat sambil menggenggam erat barang terlarang tersebut. Dalam hati Sasha berkecamuk, harus mengembalikan barang itu kepada Sergio atau tidak.
***