Posesif

1395 Kata
Sasha membuka pintu Kamar dan langsung menatap Bi Ina yang terlihat akan mengetuk pintu. Bi Ina tersenyum hangat, seperti biasa menautkan tangan menjadi satu di depan seraya berkata, "Ada Bapak sama Ibu, Mbak. Diajak sarapan bareng, Mas Sandi juga baru aja turun." Sasha tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengus kesal. Terakhir kali mereka berempat makan bersama sekitar tiga bulan lalu, hanya satu hari sebelum Pramana dan Jihan kembali pergi ke Kalimantan mengurus kebun dan pabrik mereka. Sementara untuk makan bersama secara utuh— satu keluarga bersama dengan Dara anak pertama dari Pramana dan Jihan terjadi dua tahun lalu sebelum akhirnya Dara pergi untuk melanjutkan pendidikan di Australia. Sasha menarik kursi di samping Sandi, duduk di sana berhadapan langsung dengan Pramana sementara Sandi berhadapan dengan Jihan. Sasha menatap berbagai lauk juga nasi yang tersedia di atas meja makan. Ada banyak jenis tetapi tidak satu pun yang bisa menggugah selera Sasha. Sehingga perempuan yang membiarkan rambutnya terurai, menjatuhkan pilihan pada nasi goreng itupun hanya satu centong juga telur mata sapi. Jihan menuang air mineral ke gelas Pramana yang baru saja kosong. "Gimana Sha..." kata Jihan membuat gerakan sendok yang dipegang anak keduanya terhenti. "Kamu udah ketemu Sergio di Sekolah?" Sandi langsung menatap Jihan kemudian beralih menatap Sasha penuh tanya. Sasha mengedikan bahu, menyuapkan nasi gorengnya yang sempat terhenti lalu berkata, "ghak thau." "Jangan ngomong kalau masih ada makanan di mulut," tegur Pramana. Pramana berasal dari Jawa Tengah dengan keturunan ningrat yang masih mengalir di darah lelaki itu. Membuat Pramana akhirnya menerapkan semua ajaran dari masa kecil lelaki berusia empat puluh lima tahun itu di keluarganya sekarang. Dulu alasan Pramana adalah agar ibunya atau yang biasa Sasha dan Sandi panggil Mbah Putri bisa menilai kesuksesan Pramana dalam mendidik anak tanpa meninggalkan adat dan adab keluarga mereka meski tinggal di Jakarta. Tapi keinginan Pramana untuk diakui keluarga pupus sudah karena beberapa alasan. Suasana Ruang Makan kembali sunyi setelah teguran Pramana, bahkan suara sendok dan garpu saling beradu nyaris tidak terdengar. Sasha adalah orang pertama yang menyelesaikan sarapan, perempuan itu membalik sendok dan garpu yang telah ia gunakan. Kursi yang perempuan itu tempati bergerak sedikit ke belakang ketika Sasha berdiri. "Aku berangkat dulu Yah, Bu." "Sasha, duduk. Ibu kan udah bilang berap—" Mulut Jihan kembali tertutup rapat melihat Sasha beranjak pergi begitu saja mengabaikan ucapannya. Jihan menarik napas dalam-dalam, melirik ke arah Pramana yang menggelengkan kepala seraya berkata, "ajari sopan santun anak kamu itu!" Sandi ikut berdiri, namun berbeda dengan Sasha lelaki itu menyempatkan untuk pamit dan salim kepada kedua orang tuanya. Sandi berjalan cepat menuju Ruang Tengah, menyambar ranselnya yang ia tinggalkan di salah satu sofa kemudian sedikit berlari menuju Halaman Rumah. Pak Adi yang baru saja menutup pintu mobil untuk Sasha sedikit terlonjak kaget melihat kehadiran anak majikannya yang terakhir berdiri tepat di belakangnya. "Kaget aku, Mas!" pekik Pak Adi dengan nada bicara medok khas orang Jawa Tengah. Sandi membuka pintu mobil, pandangannya segera bertemu dengan Sasha yang refleks bergeser ke sisi lain sambil mengalihkan pandangan. "Saya naik mobil aja, Pak." "Lho kok gak naik motor, Mas? Bukannya udah dikasih izin Bapak?" "Enggak Pak. Besok aja," jawab Sandi singkat dan menutup pintu mobil. Sementara Pak Adi seperi biasa kembali masuk ke dalam untuk pamit kepada Pramana dan Jihan, Sandi memakai kesempatan itu untuk berbicara soal Sergio kepada Sasha. "Kenapa Ibu bisa tau Sergio?" "Kenapa sih?!" Sasha langsung sewot. Jelas sekali perempuan itu jengah dengan sikap Sandi. "Kalau lo punya masalah sama dia, ya selesaiin! Gak usah ngeribetin gue!" "Gue tanya..." Sandi menelan ludahnya bulat-bulat bersama dengan semua emosinya yang harus ia kendali untuk berbicara dengan Sasha. "Kenapa Ibu sama Ayah tau soal Sergio." Sasha tidak langsung menjawab. Di antara tiga bersaudara, memang Sandi yang memiliki tingkat kepintaran biasa-biasa saja. Adiknya itu sama sekali tidak pernah mencetak sebuah prestasi seperti Dara atau Sasha yang membanggakan nama keluarga, tidak juga berada di peringkat terakhir hingga membuat malu Pramana dan Jihan. Sandi benar-benar jauh dari kata istimewa versi Pramana. Tapi karena Sandi adalah anak laki-laki satu-satunya, kedudukan Sandi dalam keluarga jelas tidak mungkin digantikan oleh Dara ataupun Sasha. "Menurut lo kenapa? Menurut lo sejak kapan gue berinteraksi sama Sergio? " Sasha menaikan sebelah alisnya. "Sejak kapan lo ribet soal Sergio ke gue?" Mendengar kalimat Sasha yang terakhir Sandi langsung paham, laki-laki itu bersandar seraya menghela napas panjang membuat Sasha tersenyum kecut melihat reaksi adiknya— yang entah mengapa terlihat begitu palsu di mata Sasha. "Jangan kaget kalau lo punya ponakan sebelum lulus sekolah." "Kak!" Sasha mengedikan bahu. "Kenapa enggak? Semua bisa kejadian, kan?" *** Sergio turun dari motor yang ia parkir di Warung Kuning a.k.a Warning, tempat biasa laki-laki itu nongkrong bersama teman-temannya baik dari sekolah maupun luar sekolah. Bu Darmi keluar dari Warung, wajahnya terlihat panik sambil menunjuk-nunjuk ke arah dalam. Sergio melepas helmnya. "Kenapa Bu?" "Ada Mas-Mas yang serem itu loh!" katanya setengah berbisik. "Siapa?" Sergio melirik ke arah Warung yang bagian dalamnya tertutup oleh banner bekas partai dengan lambang dasar warna kuning sesuai dengan cat dinding yang didominasi warna yang sama. Tidak perlu menunggu jawaban Bu Darmi orang yang dimaksud keluar dari Warung. Kaos polos hitam dengan celana jeans buluk ditambah rambut disisir asal dengan jari membuat penampilannya persis seperti preman padahal status lelaki itu adalah mahasiswa salah satu universitas bergengsi. "Panjang umur lo Ser," laki-laki yang terkenal dengan nama Cliff itu tersenyum miring. Membuang sisa rokok asal ke ujung bangunan Warung tanpa repot mematikan bara api. "Baru gue tanyain ke Bu Darmi." Sergio menghela napas panjang, ia menyampirkan helm yang dipegang ke kaca spion sambil mengisyaratkan pada Bu Darmi untuk memberikan keduanya ruang. Sergio duduk di atas jok motornya, menatap Cliff yang mengeluarkan kotak rokok dari waist bag laki-laki yang memiliki mata cekung itu. "Ke mana barang Rizal kemarin." Cliff melemparkan kotak rokok itu pada Sergio dan berhasil ditangkap dengan mudah. "Lo pake?" Sergio segera memasukan kotak rokok itu ke dalam ranselnya. Ia berdiri sambil memasukan dua tangan ke dalam saku celana. "Inget kan, syarat dari gue?" "Buat gak ikut campur hidup lo?" Sergio mengangguk kecil membuat Cliff terkekeh geli. Cliff berjalan ke arah Sergio kemudian mengacak rambut laki-laki itu dan tentu saja langsung ditepis oleh pemiliknya. "Sekolah yang bener lo. Gak usah coba-coba." "Halah! Ngomong sama t*i!" Cliff langsung terbahak kemudian menepuk bahu Sergio beberapa kali dan beranjak pergi. Sementara Sergio berjalan ke arah Sekolah, meskipun dia sudah terlambat lima jam laki-laki itu tetap berangkat ke Sekolah melalui dinding samping yang sebenarnya terhubung dengan Kantin. Sergio dengan mudah memajat pohon mangga yang tumbuh di dekat dinding dengan mudah, kakinya mengingat benar dahan mana yang harus ia injak untuk sampai ke ujung dinding. Sergio melompat turun membuat beberapa murid yang lewat di sana memekik kaget. Sergio mengernyit melihat tiga perempuan yang menatapnya seolah melihat hantu. "Apa liat-liat?!" kata Sergio galak membuat ketiganya refleks menggeleng kemudian minta maaf dan langsung buru-buru beranjak pergi. "Ser!" Sergio menoleh ke sumber suara melihat Lando yang duduk di salah satu bangku yang ada di Kantin tengah melambaikan tangan kepadanya. Sergio menghampiri Abi dan Lando, duduk di sana kemudian menegak setengah es jeruk yang entah milik siapa. "Kesiangan?" tanya Lando. Sergio mencomot gorengan yang ada di tengah meja. "Kepagian." Abi mengernyit. "Ngomongin apasih lo berdua?" "Tau," jawab Sergio dan Lando bersamaan. Abi menatap Sergio yang duduk di samping Lando masih fokus dengan gorengan keduanya. "Gimana Sasha?" Tanpa mengalihkan pandangan dari gorengan mana yang akan dipilih menjadi makana ketiganya hari ini. "Paling nanti gue ke kelasnya." "Dia udah ngaku?" "Kalau gak ngaku juga... dia yang rug—" Sergio berhenti berucap ketika lelaki itu sadar akan satu hal. Sergio menatap Abi sambil mengernyitkan kening. "Kalau gak salah lo bilang dia anak olimpiade kan?" "Hm... kenapa?" Sergio menggelengkan kepala, matanya menerawang jauh memastikan ingatannya. Sergio tahu, kotak rokok lain yang berada di dalam ransel Sasha meskipun berbeda dengan miliknya tapi entah mengapa Sergio merasa isi kotak rokok itu sama. Dia sempat melihat stiker berwarna biru berbentuk bunga tulip, tanda barang yang disalurkan dari Cliff. Sergio menghela napas panjang, ia bermaksud menatap Abi yang mengajak bicaranya lagi tapi pandangannya terhenti ketika matanya tidak sengaja menatap seorang laki-laki yang duduk berjarak dua bangku di belakang mereka. Sebelah alis Sergio terangkat naik melihat bagaimana tajamnya laki-laki itu memandanginya. "Itu siapa?" "Hm? Siapa?" Lando mengikuti arah pandangan Sergio sementara Abi menoleh ke belakang, namun laki-laki tadi sudah menunduk kembali menikmati makanannya. Sergio menggerakan dagu seraya berkata, "tuh... yang duduk berdua." "Oh... Sandi?" "Adiknya Sasha." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN