2. Tournament

2535 Kata
Hari yang paling ingin dimusnahkan oleh Bianca, Elise, Luna, dan Rebecca pun tiba. Hari dimana mereka harus datang menonton pertandingan basket karena paksaan Brian. Bahkan, mereka berpikir bahwa Brian sudah gila karena tiba-tiba menjadi sok akrab dengan mereka. Rebecca membenamkan kepala di meja. “Hei, what day is today?” Elise mendesah lemas. “Friday. Dan sepulang sekolah, kita tidak bisa ke café. Thanks to Brian.” “Persetan, ayo kabur saja,” usul Rebecca asal-asalan meski memang ada niat serius untuk kabur. Elise menjetikkan jari. “That’s right! Ayo kabur! Itu jalan terbaik bagi kita dari pada datang menonton turnamen lelaki s****n itu.” “Tapi nanti kita bisa mendapat masalah besar jika ka—HUAA!” ucapan Bianca terpotong karena tiba-tiba berteriak kaget. Melihat itu membuat Elise, Luna dan Rebecca menaikkan alis sebelah. Bianca bersembunyi di bawah meja Elise, jari telunjuknya menunjuk ke belakang ketiga sahabatnya. Wajah mereka bertiga spontan datar setelah menoleh ke belakang. Mood langsung hancur dan kehilangan selera makan. Wajah-wajah para rupawan berada di hadapan mereka sekarang. Elise berbalik badan, membelakangi para cowok itu. “Hah! Coba tebak siapa ini? Tim basket kebanggaan Poly Prep. Aku tidak merasa kenal mereka, jadi mereka tidak mungkin mau berurusan denganku, kan?” Rebecca mengikuti Elise. “Me too.” Luna sudah ancang-ancang untuk kembali ke bangkunya, namun tangan kanannya dicekal oleh Brian. “Listen, kalian tak akan pergi kemanapun kecuali ke arena turnamen.” “I got it. Lepaskan tanganku,” Luna hanya mengangguk sekenanya. Aura dinginnya membuat Brian dan yang lain sedikit merinding. Steven duduk di depan Rebecca, nyengir. “Hai, bayi Chihuahua. Kau tampak lebih berseri dari biasanya, ya.” Rebecca mengerutkan kening. "Get lost, Sorensen. Aku sedang tidak mau berdebat denganmu." "Huaa lihatlah si bayi Chihuahua judes ini. Aku semakin tertarik denganmu." Goda Steven, tak takut dengan aura Rebecca yang sudah sangat menyeramkan. "Lebih baik kau dengarkan dia, Steven. She's like already to kill you right now." Kekeh Jeff. Keberadaan mereka semua di kelas Luna dan Brian membuat seluruh siswa terdiam. Terpaku pada satu objek yang seolah sungguh langka terjadi di depan mereka. Apalagi ketujuh cowok itu sedang berurusan dengan geng Luna yang terkenal agak nerd. "Cut it off. Sebaiknya kalian pergi dari sini sekarang juga." Usir Luna terang-terangan tanpa ada rasa takut. "Asal kami mendapat jaminan bahwa kalian berempat akan benar-benar datang menonton pertandingan, kami akan pergi." Sahut Brandon. Elise melempar ponselnya ke Brandon dengan asal. "Itu jaminannya. Kalau kami tidak datang, kalian bisa melakukan apapun pada ponsel itu. Sekarang pergilah." Rebecca dan Bianca melotot melihatnya. Elise menyerahkan ponselnya begitu saja dan menjadikannya sebagai jaminan. Entah hal gila apa lagi yang bisa dilakukan oleh cewek imut itu. "Apa yang kau lakukan, bodoh ?! Itu ponselmu, Elise ! Kau menyerahkannya begitu saja sampai menjadikannya sebagai jaminan ?! Otakmu dimana !" Seru Rebecca shock sekaligus panik sendiri. Elise hanya mengedikkan bahu, acuh. "Agar mereka tidak mengganggu kita terus-menerus." *** Jam istirahat pertama. Kantin adalah tujuan utama keempat sahabat itu seperti biasa. Mereka selalu dapat tempat paling pojok. Bukan tanpa sengaja, mereka memang suka tempat paling sudut. Jauh dari keramaian dan terhindar dari pusat perhatian. Sayangnya hal itu tak akan terjadi. Dewi Fortuna tidak memihak mereka kali ini. Karena Brian dkk duduk tepat di sebelah tempat favorit mereka, mau tak mau seluruh pandangan mengarah ke mereka. Sialan, batin Rebecca dan Elise. Menyeramkan, batin Bianca. Just s**t, umpat Luna. "Hey, ladies. Kita bertemu lagi, ya." Sapa Thomas seolah tak berdosa. Keenam sahabatnya hanya nyengir. Karena tempat favorit -amat- Luna dan yang lain terpaksa tetap mendudukinya. Berusaha tak mempedulikan para cowok s****n yang duduk di sebelah mereka. Merelakan diri sendiri menjadi pusat perhatian. "J-Jadi kita mau makan apa ? Biar aku yang beli, hari ini giliranku, 'kan ?" Tanya Bianca canggung. Rebecca bertopang dagu, memejamkan kedua matanya, menahan amarah yang siap meledak. "Seperti kemarin saja. Kami malas berpikir untuk mengubah selera." "Oke, ka-kalau begitu aku pergi dulu." Pamit Bianca lalu segera langkah seribu meninggalkan ketiga sahabatnya. Hening. Baik Luna, Elise maupun Rebecca. Tak ada yang berniat memulai pembicaraan. Terlalu kesal melihat kejahilan Brian dkk yang sok kenal sok akrab dengan mereka. Melihat hal itu, terlintas ide jahil di otak Steven. Dengan kerlingan mata, keenam sahabatnya mengerti maksud Steven. Steven berdehem. "Hey, bukankah yang barusan itu anak menteri ya ? Siapa namanya ? Bianca Portebeast ?" "Begitulah. Why ?" Sahut Jeff sedikit menahan tawa. "Nope. Aku hanya berpikir jika perempuan itu imut sekali. Tipeku." Steven menyeringai. Telinga Rebecca dan Elise langsung menajam. Alarm berbunyi keras di benak mereka. Seluruh murid pun tahu jika geng anak-anak tim basket itu berisi para player kelas kakap. Samuel tertawa pelan. "Next target, dude ?" Menyeringai dengan alis terangkat sebelah. "Mungkin ? Tapi setelah dipikir-pikir bayi Chihuaha di sebelah lebih menarik dari pada si Portebeast itu." Rebecca menggebrak meja sambil berdiri, kepalanya menoleh ke Steven dengan raut emosi. "Diam atau kubunuh kau sekarang juga !" Steven tergelak sejenak. "Huaa dia maraaah.." Rebecca mengambil garpu yang ada di atas meja, menarik kerah kemeja Steven kuat-kuat kemudian menodong garpu itu ke atas seperti akan membunuh lelaki usil itu. Kantin langsung heboh melihatnya. Bersiul, bersorak, mencibir, dan menghujat Rebecca secara terang-terangan. "Stop that, stubborn girl. Jika kau ingin ponsel sahabatmu selamat, hentikan aksimu." Tegur Brandon, menyeringai lebar. Rebecca melotot, mengalihkan pandangannya ke Elise. "Lanjutkan saja. Aku punya dua ponsel." Ujar Elise cuek. Satu geng melongo mendengarnya. Pantas saja Elise tidak peduli menjadikan ponselnya sebagai jaminan. Ternyata dia punya dua ponsel. Rebecca meletakkan garpu yang ia todong. Kemudian menarik-narik kerah kemeja Steven dengan membabi buta. "Dasar kau cowok s****n ! Go to the hell you f*cking boy !!" "Reb- Rebecca ! Argh lepas !!" Jerit Steven. Bianca yang baru datang dengan membawa banyak sekali makanan pun terkejut. Seharusnya ia sudah biasa melihat aksi Rebecca ketika sedang marah. Tapi entah kenapa, kali ini lebih menyeramkan. Bianca duduk di sebelah Luna. "Gara-gara Steven lagi ?" Luna mengangguk sekenanya. Sekilas tentang dua anak manusia itu. Steven dan Rebecca bisa dibilang sepasang rival yang bawaannya selalu bertengkar. Sehari tanpa adanya pertengkaran mereka, itu berarti tanda-tanda kiamat. Ketika memasuki high school, mereka berdua bertemu dengan cara yang tidak mengenakkan. Steven jatuh menabrak Rebecca, menindihnya dengan tangan kanan tak sengaja menyentuh d**a Rebecca. Sejak itulah Rebecca memusuhi Steven. "Kenapa kau selalu muncul di hidupku, hah ?! Dasar cowok m***m s****n !!" Seru Rebecca berapi-api. "Iya iya maaf, Rebecca ! Lepas dulu !!" Tak ada yang bisa menghentikan mereka berdua jika sudah bertengkar. Jadi, para sahabat masing-masing hanya bisa menghela napas dan sibuk mengobrol. *** Brian celingak-celinguk kesana kemari. Mengawasi sekitarnya. Aman, ia berjalan mengendap-endap mengikuti Luna dari belakang. Cewek jenius itu membolos jam pelajaran olahraga, entah kenapa. Jadi, saat Brian sudah selesai mempraktikkan gaya meroda, ia langsung kabur. Untung baginya karena langsung menemukan Luna sedang berjalan sendirian di koridor kelas XI. Mau kemana dia ? pikir Brian. Luna berbelok kanan di tikungan ujung koridor. Brian mengerutkan dahi. Jalan yang baru akan dilewati Luna merupakan arah menuju atap sekolah. Benar saja, saat Brian mengintip dari balik tembok tikungan koridor, Luna membuka pintu masuk menuju atap sekolah. Setelah Luna berjalan masuk, Brian segera mengikutinya dan berdiri di balik ambang pintu. Luna berdiri di tepian dinding kawat pembatas, ia menunduk ke bawah, menatap sesuatu. "Ternyata si murid paling jenius berniat bunuh diri di atap sekolah, huh ? Alasannya membolos pelajaran Mr Ronald." Celetuk Brian, tanpa sadar kedua kakinya sudah melangkah menuju Luna. Luna bergeming. Tetap fokus pada objek yang ia lihat dibawah sana. "Apa yang kau lakukan disini, Luna ? Berhenti bersikap seperti patung. Itu membuatku merasa seperti orang gila yang ngomong sendirian." Tanya Brian setelah berhenti di sebelah Luna. "Janji jangan tertawa." Jawab Luna belum jelas. Brian mengangguk. "Aku, benci pelajaran olahraga." "Oh. Kau benci pelajarannya atau Mr Ronald ? Dia pria yang sok independen." "Mungkin keduanya." Pandangan Brian mengarah ke bawah juga. Angin berhembus kencang, menjelang musim hujan. Terlihat dibawah sana guru olahraga mereka yang terlihat stres mencari-cari kemana Brian dan Luna berada. Teman-teman sekelas mereka yang menjadi korbannya. "Kau," ujar Luna menggantung, "Kenapa kesini ?" Brian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Kabur dari pria tua itu mungkin ?" "Jangan menjawabnya dengan pertanyaan." Cibir Luna pelan. "Yeah, bisa dibilang aku mencarimu sejak selesai pelajaran meroda s****n itu. Ternyata benar disini." Jawab Brian sedikit berbohong. Beberapa menit yang lalu aku menjadi stalker i***t yang mengikutimu, batinnya. "Kau dan para sahabatmu memang miring otaknya ?" Luna menoleh ke Brian. Brian menaikkan sebelah alis. "Maksudmu ?" "Kalian sok kenal sok akrab dengan kami. Hentikan itu." Jawab Luna kemudian berlalu meninggalkan Brian begitu saja. Kedua mata Brian membelalak kaget. Tanpa pikir panjang, ia berlari menyusul Luna. "Hey Luna ! Jangan begitu, ah ! Hey..!!" Luna bergeming, tetap fokus ke depan meninggalkan Brian. Brian terus menempel padanya, bahkan menarik-narik tangan kanannya ke belakang. Entah kekuatan darimana, ia bisa menahan tarikan dari Brian. "Apa salahnya kalau kami dekat dengan kalian ? Ayolah, jangan begitu." Rayu Brian dengan wajah merengek najis. Rebecca yang melihat kejadian konyol tersebut sontak berhenti mendadak, membuat Elise yang berjalan di belakangnya langsung menabrak kepalanya dengan keras. "Hey apa yang kau lakukan berhenti mendadak di tengah jalan ?!" Marah Elise seraya mengusap hidungnya yang memerah akibat membentur kepala Rebecca. "Kau nggak lihat yang barusan ? Si baby face itu sedang merajuk pada Luna !" Sahut Rebecca, kedua matanya melotot. Bianca menengok kanan-kiri. "Mana ? Aku nggak lihat apapun." "Mereka belok di tikungan. Astaga, semoga aku salah lihat." Tandas Rebecca dengan hembusan napas kasar. "Ya sudah, lanjut jalan ! Awas saja jika hidungku langsung mancung ke dalam gara-gara membentur kepalamu, Rebecca." Sungut Elise, masih mengusap hidungnya. Luna berbalik badan, menatap Brian dengan raut amat sangat datar. Brian sendiri tak sadar sekarang kedua kakinya sedang berdiri dimana. "Kau berniat buang air di toilet wanita ?" Tanya Luna, menaikkan sebelah alis. Tersadar, Brian menoleh kanan-kiri dengan cepat. "H-Hey kau bercanda, 'kan ?! Bagaimana bisa aku berakhir disini ?!" "That is your fault. Mengikutiku hanya karena ucapan sepele." Tandas Luna cuek kemudian memasuki salah satu bilik toilet. Mengabaikan nasib Brian yang bisa mendapat detensi akibat memasuki toilet perempuan. *** "So, akhirnya kau dapat detensi juga, dude ?" Celetuk Jack menaikkan sebelah alis. "Jangan membully-nya. Ini pembalasan Tuhan karena perbuatan sesatnya selama hidup." Timpal Thomas. Steven terbahak. "But, this is so funny ! Merawat seluruh tanaman yang berada di Poly Prep selama seminggu ?! Katakan padaku, hal apa yang lebih menggelikan daripada itu ?!" "Brian akan mencekikmu hidup-hidup jika kau tak berhenti menertawainya." Samuel. "Lagipula itu memang sudah kebodohannya. Mengikuti Luna sampai toilet perempuan dan baru menyadarinya setelah memasukinya." Jeff. "Ingatkan aku untuk memukul kepalanya dengan tongkat baseball. Dia lebih i***t dari seorang nerd." Brandon. Setelah kepergok seorang OSIS, Brian mendapat detensi dari kepala sekolah untuk menjadi tukang kebun selama seminggu. Poly Prep itu sangat luas, jangan tanya berapa tanaman yang tumbuh di kawasan sekolah elit itu. "Sekarang aku bertanya-tanya apakah kalian memang sahabatku atau bukan." Gerutu Brian dengan geraman pelan. Jack terkekeh. "Of course, dude ! Oh, apakah kau merajuk karena 'ledekan' kami ? Oh-oh-oh, sedang sensitif, guys." "I didn't yo-" "Mungkin itu karena dia ditolak terang-terangan oleh Luna." Timpal Samuel. "Hey-" "Jangan khawatir, kawan. Kita akan berpesta agar hatimu yang retak itu tidak berimbas sikap sensitif." Thomas menaik-naikkan kedua alisnya dengan lucu. "Aku bilang-" "Yeah yeah, we know that. Kau menyukai Luna, makanya kau berusaha mendekatinya dengan alasan hanya menjahilinya." Jeff memotong. "I SAID I DIDN'T SENSITIVE RIGHT NOW AND, I DON'T LIKE HER YOU LITTLE s**t GUY !!" *** Pulang sekolah. Waktunya bagi Luna dkk pergi menonton turnamen basket antara tim Poly Prep Country Day School dengan tim Regis High School. Dengan langkah gontai, mereka berempat berjalan menuju parkiran sekolah. "Just s**t for them. Aku bahkan tidak tahu apa maksud mereka memaksa kita untuk menonton turnamen itu." Gerutu Rebecca. Bianca menghela napas. "Seharusnya sepulang sekolah, aku tidur di kamar sambil memutar lagu One Direction." "Setuju. Apalagi lagu dari album Made in the A.M. mereka yang baru." Timpal Elise, setuju dengan Bianca. Luna hanya diam. Pikirannya terlalu lelah untuk memikirkan segala keanehan dari ketujuh cowok itu. Mereka menuju gedung gym menaiki mobil milik Elise. Hari ini pun Luna tidak menaiki sepeda menuju sekolah, menumpang di mobil Elise sama seperti kedua sahabatnya. Dengan hati dongkol mereka memenuhi permintaan Brian dan kawan-kawannya. "Bagaimana jika kita hanya menonton sepuluh menit saja setelah itu kabur ? Itu lebih baik daripada tidak datang sama sekali, 'kan ?" Usul Elise sambil mulai mengunyah permen karet. Rebecca menghembuskan napas panjang. "Forget that, Elise. Mereka kaya, rupawan, reputasi baik dimana-dimana, dan pemaksa." "Kakiku saja sudah tidak betah menginjak pedal gas." Sungut Elise. Bianca manggut-manggut. "Aku juga malas melihat mereka. Disana pasti ramai, berisik, sesak, dan panas." Mau mereka mengoceh sampai seribu kali, hal itu tak akan mengubah fakta bahwa sebentar lagi akan sampai di gedung gym. Seperti ucapan Bianca, gedung gym sudah ramai oleh antrian penonton yang ingin melihat turnamen. Secara bersamaan, mereka mengerang kesal. Rebecca balik badan, bersiap membuka pintu mobil. "Seperti ucapan Bianca, lebih baik kita pul-" "Berhenti disana, bayi Chihuahua. Siapa suruh kalian bisa pulang ?" Mereka berempat memutar kedua bola, berusaha sabar. "Jalan masukya disana, Princess." Ujar Brian sok kalem. Elise mencibir pelan. "Kau menyuruh kami berdesakan masuk lewat sana ? Bunuh saja kami sekarang." "Siapa bilang ? Masuk dengan kami lewat pintu sana," Brandon menunjuk pintu yang cukup lebar di bagian belakang gedung gym, "Sebelum para penonton mengetahui keberadaan kami, kalian cepat ikut dengan kami masuk lewat pintu itu." Setengah hati mereka mengikuti ketujuh cowok itu dengan wajah seratus persen sebal. Ini bukan tanggal satu april tapi mereka merasa dipermainkan. Setelah memasuki gedung. Brian berbalik badan, berjalan mendekati Luna, senyumannya tercetak jelas. "Good luck untukku mana ?" Luna menaikkan sebelah alis. "Good luck for you..?" "Canggung, but, it's okay. Thank's." Luna memalingkan wajah ketika Brian tersenyum -sangat- manis padanya. Sahabat-sahabat Brian hanya cengengesan sambil memasang sepatu basket masing-masing. Membiarkan sang ketua tim menjahili si jenius di Poly Prep. Ketika pembawa acara mengumumkan pertandingan akan segera dimulai, Luna dan yang lain berjalan menuju podium penonton, duduk disana sambil menenangkan hati. Sebenarnya agak kesal juga, dipaksa menonton pertandingan yang sebenarnya bukan kesukaan mereka. Di antara banyaknya penonton, bisa mereka lihat ada murid-murid dari Poly Prep yang juga ikut menonton. Di pinggir lapangan, ada tim cheerleader dari masing-masing tim high school, Poly Prep dan Regis. "Itu dia, ketua tim cheerleader yang katanya kekasih dari ketua tim basket. Hah, cocok sudah." Celetuk Rebecca sinis, pandangannya ke arah anak-anak cheerleader Poly Prep. Elise mengikuti arah pandangan Rebecca. "Oh, itu. Isabelle Lockhart, putri yang katanya paling dipuja, sayangnya tidak punya otak." "Masa' Brian berpacaran dengannya ? Meragukan sekali." Bianca memandang sedikit geli bercampur jijik ke arah Isabelle yang sedang memakai sepatu. "It's not my business, so you guys can stop talking about them ?" Tegur Luna, bertopang dagu dengan wajah amat datar. Ketiga sahabatnya pun tutup mulut ketika pertandingan dimulai. Seperti dihipnotis, seluruh penonton terdiam, seluruh pandangan menuju lapangan basket di tengah gedung gym. Elise merapatkan diri ke Luna. "Hey, I got a big idea. Besok hari minggu, 'kan ? Ayo jogging di taman kota." "Ide bagus. Aku ikut." Jawab Luna menyetujui. "Me too." "Same here." Jadi, mereka memutuskan akan jogging pada minggu pagi. Membenahi mood mereka yang telah dihancurkan oleh ketujuh cowok charming yang sekarang sedang bertanding basket dengan tim Regis disana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN