Seminggu berlalu sejak Isabelle ‘mengajak’ Elise untuk bergabung ke cheerleader. Elise menolaknya mentah-mentah, tak sudi bergaul dengan sekumpulan perempuan sombong seperti mereka. Terutama Isabelle. Sudah jadi rahasia umum bahwa Isabelle dijuluki b***h oleh para murid nerd.
Bila dipikir kembali, tindakan Isabelle sangat aneh. Semua siswa Poly Prep tahu betapa bencinya Isabelle pada murid nerd, apalagi geng Luna. Sudah benci setengah mati Isabelle pada mereka. Namun anehnya, mereka lihat dengan mata kepala Isabelle mengajak Elise bergabung dalam cheerleader.
Benar-benar aneh.
Seolah tidak cukup, mereka tidak mengerti dengan ancaman Isabelle jika Elise menolak bergabung ke cheerleader. Ancaman yang mengatakan menghancurkan hidup Luna merupakan urusan kecil bagi ketua cheerleader tersebut.
Mengapa justru Luna yang terkena imbasnya?
Nobody knows.
“Serius, ini sudah seminggu dan b***h itu tak ada hentinya mengajakmu bergabung dalam cheers.” gerutu Rebecca.
Bianca bertopang dagu, tatapannya kosong. “Apa yang akan terjadi pada Luna jika Elise terus menolak, ya?”
“Dunno. But, Isabelle nggak pernah main-main. Aku khawatir sejak awal dia mengancam kemarin.” Rebecca pun melamun seperti Bianca.
“Bisakah kalian berdua diam? Melamunkan hal yang sungguh tidak penting sama sekali!” sentak Elise, hidungnya kembang kempis dengan raut kesal.
Rebecca mencibir pelan. “Kami lebih cemas pada kehidupan Luna, asal kau tau saja. Sejauh ini Isabelle masih diam, oke itu bagus. Tapi siapa yang akan tahu kejadian besok, lusa, seminggu kemudian, dua minggu kemudian, dan seterusnya!”
“Whatever, miss baby Chihuahua. Aku capek.” keluh Elise kemudian menelungkupkan kepala di meja.
Luna asyik membaca novel klasik di bangkunya. Saat mengetahui perihal ancaman Isabelle, ia tak peduli sama sekali. Baginya, percuma saja mencemaskan hal-hal yang belum tentu terjadi. Terbukti, seminggu berlalu dan tak terjadi apa pun padanya.
Tetapi, itu belum menjamin sepenuhnya.
“Hei, ini masih pagi dan aku sudah melihat wajah cemberut my baby chihuahua? Oh, what’s up, girl?” tanpa diundang, Steven memasuki kelas Luna dan langsung duduk di depan Rebecca.
Rebecca mendengus kesal. “Ini bukan kelasmu, Sorensen.”
“Memang benar. But, aku tidak bisa mengabaikan wajah cemberutmu,” tukas Steven, “kau boleh curhat padaku.”
Muka Rebecca menekuk. “Shut up, aku sedang tidak mood untuk berdebat denganmu.”
“Aku tidak mengajakmu berdebat, sweety.”
Tepat setelah itu, sebuah buku akan melayang ke wajah Steven namun berhasil dihindari oleh cowok jabrik itu. Keramaian di pagi hari yang membuat para siswa hanya bisa menggelengkan kepala.
***
Luna menatap anggota cheerleader yang sedang latihan di pinggir lapangan. Ia bosan, jam istirahat tidak ada yang menemaninya. Elise kembali berurusan dengan Isabelle, Rebecca dan Steven yang terlibat perkelahian akhirnya harus kembali lagi berada di ruang kepala sekolah, dan Bianca yang sibuk sendiri di kantin.
Tersisalah dirinya sendirian. Duduk diam di podium penonton yang mengelilingi lapangan basket Poly Prep.
IPod, headphone, dan novel di sebelahnya sudah tidak menyenangkan. Luna butuh sesuatu yang lebih mengasyikkan dari tiga benda tersebut.
“Kukira ada arwah perempuan duduk di sini, saking kakunya dan tidak bergerak sedikit pun. Ternyata Luna.”
Luna hanya melirik ke kanan, menangkap figur Brian. Cowok berwajah gagal tua itu ambil duduk di sebelah Luna, menatap lapangan dan sekitarnya dari podium yang tinggi.
Haruskah Luna bersyukur atas kedatangannya atau kesal?
“Ngomong-ngomong, terima kasih atas sandwich yang kamu kasih saat di perpustakaan kota. Aku tersanjung.” ujar Brian, mengucapkan terima kasih dengan sangat amat terlambat.
“Lupakan. Itu sudah seminggu yang lalu.” sahut Luna cuek.
Terlihat di bawah sana, Elise dan Isabelle berargumen tiada henti. Urat emosi Elise sudah menuju puncaknya sedangkan lawannya seperti senang melihat dirinya begitu marah.
“Sampai sekarang aku masih heran, bagaimana bisa aku pernah menyukai perempuan semacam itu? Aneh.” Celetuk Brian diikuti helaan napas. Menatap Isabelle yang bertengkar dengan Elise di lapangan.
“She’s your type. One word for describe her. Bitch.” Luna mencemooh. Saking datarnya suara dan wajahnya, Brian pikir itu perkataan serius.
Brian tertawa hambar. “Itu sudah masa lalu, dan dia bukan tipeku.”
Hening. Perbedaan sifat yang sungguh jauh membuat Brian tak tahu mau ngomong apa lagi. Belum lima menit berlalu, para sahabat Brian datang mengerumuni mereka berdua. Membuat para cheerleader di bawah sana menoleh ke podium penonton.
“Belum apa-apa sudah main start, nih.” Ledek Jeff.
Brandon bersiul. “Sudahlah, langsung strike ke hatinya saja sebelum ada lelaki lain yang mendahuluimu, dude.”
“I won’t love her, shit.” Brian mulai emosi.
“Jauh di dalam hatimu yang paling dalam, kau sungguh mencintainya, dude. Relax, akui saja.” Thomas mencemooh.
“I say-“
“Oh oh oh, lihatlah sang kapten kita yang gagal tua ini.” Jack meledek.
“Terlalu malu untuk sekedar bilang ‘iya’.” timpal Samuel.
Luna menatap mereka datar. Ia masih setia menunggu kedatangan Elise yang diserbu sekawanan perempuan liar di bawah sana. Ikut terjun dan berlagak seperti pahlawan kesiangan bukan ide bagus baginya. Melainkan opsi terburuk untuk memperkeruh keadaan. Jadi, dengan terpaksa Luna memilih untuk diam di tempat.
“Sekali lagi kau bilang tidak, aku akan bersungguh-sungguh untuk mengacaukan hidup Handerson!” seru Isabelle, mulai kehabisan kata-kata.
Elise memicingkan sebelah mata. “Kenapa Luna yang jadi sasarannya? Aku yang kau ajak. Tidak masuk akal sama sekali.”
“Oh, tentu masuk akal. Dia mendekati Brian-ku, kuhancurkan hidupnya.” Senyuman miring tercetak jelas di wajah Isabelle.
Geng Brian langsung ber-huuu ria mendengarnya. Menoleh ke Brian dengan tampang menyebalkan disertai senyuman tidak bermutu.
“Apa kalian lihat-lihat? Aku sudah tak ada hubungan sama sekali dengan perempuan s****n itu!” seru Brian kesal.
“Pakai u*****n kasar juga, Tuan kapten terhormat ? Wah, wah, wah.” Thomas memanas-manasi.
Luna berdiri secara tiba-tiba.
“Berisik.” setelah itu ia hendak pergi meninggalkan geng Brian.
Namun secara kompak, ketujuh cowok itu menahan tubuh Luna untuk pergi. Kedua pergelangan tangannya, pucuk kepalanya, kedua lutut kakinya, kedua pundaknya, ditahan semua oleh mereka. Luna memutar kedua bola matanya jengah.
Luna sedikit menoleh. “Apa?”
“Jangan pergi dulu, dibawah sana ada kecoak terbang, lho!” Thomas.
“Tangganya licin! Kemarin sore ‘kan hujan!” Jack.
“Kelasmu sedang ricuh-ricuhnya, para cewek disuruh keluar!” Jeff.
“Brian akan sakit hati jika kau pergi!” Steven.
“Jangan pergi.” Samuel.
“Ayolah, Handerson. Temani kami di sini sebentar saja.” Brandon.
“Berhenti menyentuhku, aku merasa seperti jalang.” Luna menyentak tubuhnya, membuat para cowok itu melepas pegangannya.
Belum sempat Luna mengatakan sesuatu lagi, tiba-tiba muncul Rebecca yang berlari menaiki anak tangga podium. Dengan napas terengah-engah, ia menggenggam pergelangan tangan Luna.
“Kau harus melihat ini! Hurry up!” Ujar Rebecca, membawa Luna kabur dari gerombolan Brian.
Steven berdecak. “Bayi chihuahua itu ... ck ck ck, untung saja Mr. Brend tidak memberikan detensi.”
“Soal itu, bagaimana kasusmu dengan Rebecca? Tidak dapat detensi seperti Brian, dude?” Tanya Jeff.
Steven menghela napas. “Tidak, kami diharuskan berjauhan jika tak ingin kembali ricuh.”
Brandon terkekeh. “Kalian itu serasi.”
“In your dream, shit.” sungut Steven kesal.
Mereka menatap gerombolan cheerleader yang sama sekali tidak lelah untuk memaksa Elise bergabung dalam tim. Lebih menarik perhatian lagi, Isabelle yang blak-blakkan mengklaim Brian sebagai kekasihnya.
“Wow, perempuan psikopat itu harus diberi pelajaran, dude.” Celetuk Thomas.
Brian berdehem sekilas. “Agree.”
***
“What the hell….” gumam Luna pelan, menatap bangkunya yang sudah penuh coretan dan buku catatannya telah berubah menjadi sampah.
“See? Sehabis aku kembali dari ruang kepala sekolah, mejamu sudah berantakan seperti ini. Nggak ada yang tahu, semua murid di luar kelas.” Jelas Rebecca masih dengan mengatur napas.
Luna menyentuh ujung meja miliknya, meneliti setiap coretan dan kekacauan yang terjadi di atasnya. Ketika melihat berbagai buku catatannya telah robek dan tidak berbentuk, hatinya memanas. Buku-buku itu adalah aset utamanya untuk mencapai nilai terbaik.
Luna pergi ke perpustakaan, membaca buku-buku tebal, dan merangkumnya semua ke dalam buku catatan. Hingga membuat penglihatannya sudah tidak sehat lagi, memaksanya untuk memakai lensa kotak agar tidak repot memakai kacamata.
Sekarang semuanya menjadi seonggok sampah.
Rebecca merangkul pundak Luna. “It’s okay. Kau bisa menyalin punyaku, di rumahku juga banyak buku tulis kosong.”
Emosi Luna semakin memuncak, ia menggebrak mejanya, membuat telapak tangan kanannya terkena tinta hitam. Tak peduli, Luna berjalan cepat keluar dari kelas dengan hati panas. Meskipun wajahnya datar, Rebecca tahu jika sahabatnya sedang dalam emosi.
Sepeninggal Luna, Bianca memasuki kelas dengan membawa setumpuk buku pelajaran. “Apa yang terjadi dengan Luna? Dia terlihat marah.”
Rebecca menghembuskan napas panjang. “Lihat sendiri bangkunya berbentuk seperti apa.”
Bianca terkejut melihat bangku milik Luna sudah kacau dengan robekan-robekan kertas dari buku catatannya. Pantas saja sahabatnya marah.
***
Luna duduk dengan punggung bersandar pada pagar pembatas. Ia berada di atas sekolah. Mencoba menenangkan diri tanpa ditemani siapa pun. Kejadian barusan benar-benar membuatnya marah sekaligus sedih.
Semua catatan pelajaran itu amat penting.
“Luna Robertham Handerson, bukan?”
Luna mendongakkan kepala, menatap ke arah pintu masuk atap sekolah. Seorang perempuan manis, tinggi, dan tipe anak eksis. Luna tak mengenalnya.
Luna hanya diam.
Perempuan itu mendekat secara perlahan. “Kau pasti tak mengenalku, yeah, ini pertemuan pertama kita. Namaku Shane, Shane Cowell.”
“Apa urusanmu?” tanya Luna dingin, seperti biasa.
Shane berjongkok di hadapan Luna. “Aku anggota tim cheerleader Poly Prep,” Shane langsung menangkap gelagat was-was dari Luna, “Tenang, aku ke sini bukan untuk membullymu. Aku hanya ingin bertanya, bolehkah aku berteman denganmu? Dengan ketiga sahabatmu?”
Alis Luna naik sebelah. “Kenapa tiba-tiba?”
Shane menghela napas panjang. “Aku berbeda dari mereka. Tak cocok dengan gaya hidup hedonisme dan b***h seperti itu. bisa dibilang, aku muak. Aku ingin berteman dengan anak-anak normal seperti kalian. Just for information, I’m still virgin. So, I’m not bitch.”
“Really?” Luna masih belum percaya.
“Apa aku perlu perlihatkan?” Shane cemberut.
“No, you don’t have to do so.” Luna kembali menundukkan kepala.
Capek, Shane duduk sepenuhnya di hadapan Luna. “Dengar, aku tahu siapa yang mengacaukan bangkumu. Cheers. Atas perintah Isabelle. Sebenarnya aku disuruh untuk ikut andil, tapi aku menolak dengan keras.”
“I know that.” tanggap Luna lirih.
“Listen, you should be brave. Jangan diam saja, aku tau itu tidak sesuai image-mu. Murid teladan, jenius, dibanggakan para guru, dan dingin. Tapi, jangan biarkan mereka terus-terusan membullymu.” Nasihat Shane.
“Forget that, Cowell. Lihat saja, sejauh mana mereka akan mengusikku.” Luna cuek.
Shane menepuk pundak Luna. “Kalau begitu ayo bangun, Handerson! Cuci tanganmu yang penuh tinta itu, bel masuk sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu.”
Dengan ditemani Shane, Luna turun dari atap sekolah, dan membersihkan tangannya di toilet.
***
Luna sibuk menyalin isi catatan Rebecca ke buku tulis baru. Isinya sama, karena mereka mencatatnya bersama-sama. Untung saja sahabatnya yang agak tomboy itu masih menyimpan semua catatan pelajaran sejak kelas sepuluh.
Sebuah pesan masuk dalam ponselnya.
Unknown number: Hai, Luna. Selamat malam.
Alis Luna naik sebelah, tidak tahu siapa si pengirim pesan. Dan siapa pula orang yang kurang kerjaan mengiriminya pesan sapaan itu pada malam hari, tepatnya pada jam sebelas malam.
Luna: Siapa kau?
Baru saja Luna menulis lima kata, pesannya telah dibalas.
Cepat sekali balasnya, batinnya.
Unknown number: Kapten tim basket Poly Prep tertampan, Brian :3
Jujur, Luna geli melihat emoticonnya.
Luna: Kurang kerjaan.
Brian: Aku mengganggu, ya? Sorry, aku hanya mau bertanya.
Luna: Silahkan.
Brian: Saudara sepupuku akan ulang tahun beberapa hari lagi. Aku nggak tahu hadiah apa yang cocok untuk anak perempuan berumur dua belas tahun. Jadi, apa kau bisa menemaniku untuk membeli kado?
Luna: Kapan?
Brian: Besok sepulang sekolah.
Luna memperhatikan kalender dan jadwal kesehariannya. Tak ada acara apa pun.
Luna: Bisa.
Brian: Baiklah, jangan lupa besok sepulang sekolah kita memutari kota untuk mencari kado. Thanks, Luna.
Tanpa sepengetahuan Luna, Brian meloncat kegirangan di taman halaman depan rumahnya. Rudolf, si anjing peliharaan, diam memperhatikan majikannya yang kegirangan sendiri layaknya orang gila.
Brian memeluk Rudolf, menerbangkannya, menangkapnya, dan menerbangkannya kembali. Begitu seterusnya tanpa lelah. Kupu-kupu berterbangan dalam perutnya, hanya karena berhasil mengajak Luna untuk menemaninya membeli kado ulang tahun.
“I can’t wait for tomorrow, dude!” Serunya sambil mengacak-acak kepala Rudolf penuh gemas.