Melelahkan.
Itu adalah hal yang sedang Cassie rasakan saat ini begitu ia menyadari mereka bahkan belum setengah jalan untuk acara grand-opening ini.
Karena Cassie sangat tidak bisa diandalkan dalam soal hitung-menghitung, ia membiarkan Aksa yang mengawasi berapa banyak cake dan roti yang mereka buat untuk keluar dijual hari ini dan sebagai gantinya ia berjanji ia yang akan closing ruang kerja mereka.
Jadi sudah pasti ia yang lebih banyak keluar-masuk membawa nampan. Dan Cassie lupa itu berarti ia harus tersenyum dan bersikap antusias sebanyak mungkin. Sesuatu yang sedapat mungkin ingin ia hindari sebenarnya.
Tapi tetap saja...
Cassie sudah mengundang beberapa teman sekolah menengah dan teman satu angkatan kuliahnya. Namun karena banyak dari mereka yang bekerja di ranah yang sama dengannya jadi Cassie tidak bisa berharap banyak. Belum lagi sebagian dari mereka terkejut mendengar ia kembali ke kota kelahirannya.
“Aku bahkan tidak tahu kalau kamu baru saja kembali dari ibukota sana!” komentar salah satu teman sekolah menengahnya ketika ia mengirim undangan ke grup w******p angkatan mereka.
Cassie sebenarnya tidak ingin kembali. Sungguh. Jika bukan karena banyak faktor yang mengharuskannya kembali...
Salah satunya sedang mengawasinya bekerja dari balik bar station.
Begitu Cassie memberitahu abangnya jika yang akan menjadi manajer-nya di kota kelahirannya ini adalah Ramiel, pria itu langsung tertawa.
“Dia terkenal playboy itu. Berhati-hatilah.”
“Hah?”
“Aku tidak tahu apakah dia bisa dikatakan sebagai playboy apa tidak. Tapi dia terkenal suka mendekati banyak gadis dalam satu waktu, namun tidak ada satupun yang dia ajak pacaran?” Abangnya terdengar tidak yakin. Tapi ironinya Cassie mengerti apa maksudnya.
“Tapi aku rasa Ramiel tidak akan menyukaimu. Aku tahu tipe gadis apa yang dia sukai dan jujur saja kamu tidak terlihat ataupun terdengar seperti tipenya.”
Tipikal. Hanya saja ia benar-benar berharap Ramiel tidak melihatnya seperti itu. Entah kenapa pikirannya itu membuatnya merinding sendiri.
Setelah ia baru selesai dengan seorang ibu yang bertanya tentang strowberry shortcake. Ia disusul oleh seorang wanita muda yang bertanya tentang apa isi krim varian bomboloni di hadapannya.
“Ini ada isi krim lemon, vanila, dan cokelat.” Cassie menunjuk dengan sikap seantusias mungkin.
Wanita muda itu terperangah. “Lemon? Saya tidak pernah mencoba yang lemon.” Jadi ia langsung mengambil dua dan menuju kasir. Ekspresinya tampak puas.
Isian krim lemon adalah ide Aksa dan sepertinya cukup digemari. Cassie diam-diam bersyukur ia telah menemukan partner yang baik.
Jadi Cassie dengan nampan masih di tangan kembali ke ruang kerjanya. Di sana ada Aksa yang sedang menghitung dengan notes kecil dan pena di tangan. Di oven terdapat roti-roti yang tengah di panggang, menunggu untuk dihias.
Mereka memutuskan untuk membuat tiga varian cake dan tiga varian roti. Ini jauh lebih sedikit dari daftar yang mereka siapkan beberapa hari lalu. Aksa sebagai pegawai baru tentu saja mengajukan ide lebih banyak dari Cassie. Sampai gadis itu harus menekan keantusiasnya dengan memberitahu kalau kafe mereka juga punya main course yang harus diperhatikan.
“Diluar gila!” Cassie setelah meletakkan nampannya kemudian memeriksa roti di dalam oven dan mengecek timer berbentuk kapal yang menempel di di pintu refrigerator.
“Apa yang Mbak maksud adalah banyak pelanggan atau karena Mbak harus berinteraksi dengan pelanggan?” tanya Aksa tanpa mengangkat wajahnya dari note.
Cassie memaki dengan suara kecil, membuat Aksa terkekeh setelah melirik sekilas ke arahnya.
Dalam salah satu percakapan yang mereka lakukan ketika mereka terkurung di dalam ruang bakery ini, Cassie secara kasual mengakui pada Aksa alasan kenapa ia memilh Culinary Arts sebagai jurusan karena dengan begitu ia tidak diperlukan untuk berinteraksi dengan banyak orang.
“Dan Mas Ramiel tidak memberi banyak bantuan selain membuat kepalaku sakit.”
Aksa akhirnya mengalihkan perhatiannya pada Cassie. “Beri beliau kesempatan. Semua hal ini baru untuknya.”
Mendengar Aksa membela Ramiel membuat Cassie memutar bola mata. “Dia sudah punya cukup waktu untuk belajar sebelumnya. Kau tidak bisa belajar sambil ujian, Aksa!” Aksa masih memandang Cassie, sehingga Cassie kembali melanjutkan dengan menggebu-gebu. “Seharusnya dia yang memberitahu kita apa yang seharusnya kita lakukan.”
Aksa menghela napas panjang. Ia mengambil pena dan kembali menulis di note. Mungkin memilih untuk tidak menanggapi.
Setelah itu keduanya memilih diam. Cassie menyelesaikan roti yang baru saja matang hingga menjadi roti abon mini menggemaskan. Tidak berapa lama kemudian Aksa pamit untuk mencari air minum. Membiarkan Cassie sendiri berjuang melawan kepahitan yang masih tersisa di dalam dirinya.
Cassie seperti biasa mencoba menenangkan diri dengan menyibukkan tangannya. Begitu semua roti abon selesai, ia harus menunggu aba-aba Aksa agar ia bisa mencatat jumlah roti abon sebelum roti itu keluar. Jadi ia memutuskan untuk meninggalkan ruang bakery dan mengecek hot kitchen. Kedua cook tampak tidak terlalu sibuk mengingat semua pesanan mereka sudah keluar dan meja-meja di luar sedang penuh. Cassie melihat jumlah kertas pesanan yang tergantung di dekat meja preparation. Bisa dibilang cukup banyak untuk sebuah grand opening.
“Mbak, apa roti abonnya sudah jadi?” Itu Aksa bertanya melalui jendela penghubung antara hot kitchen dan bar station.
Cassie ikut menunduk agar ia bisa menjawab, namun pandangannya malah jatuh pada seseorang yang tengah berbicara dengan salah satu barista mereka dari balik bahu Aksa. Cassie mengulum senyum kecil, membuat Aksa juga ikut melirik ke arah pandangannya dengan dahi mengerut.
“Oh, kalau begitu saya akan periksa sendiri.” Aksa setelah menghela napas panjang.
Cassie tidak menanggapi. Ia cepat-cepat keluar dari hot kitchen, berharap seseorang itu belum beranjak dari sana. Ia berselisih jalan dengan Aksa tanpa melirik sekalipun ke arah pria itu. Cassie kemudian menyelip masuk ke bar station. Tersenyum selebar mungkin dan berusaha terdengar antusias ketika berseru:
“Pak Ghaniy!” sapanya membuat pria itu terlonjak kecil, namun tampak senang. “Saya kira Bapak lupa.”
Ghaniy memberinya senyum lebar. “Tidak mungkin lupa. Dan tempat ini terasa menyenangkan,” kata pria itu sambil mempertegas maksudnya dengan mengedarkan pandangan. “Asing namun akrab. Sesuatu yang berbeda.”
“Pemilik kafe kami juga bekerja dibidang offshore, lepas pantai. Desain kafe dibuat semirip mungkin dengan ruang rekreasi lambung kapal pengangkut minyak. Bapak tahu, ruang tempat para kru beristirahat sambil makan.” Cassie berjinjit-jinjit. Kemudian ia memerhatikan Ghaniy memesan tiga gelas minuman yang berbeda. “Bapak datang dengan siapa?”
Entah kenapa senyum Ghaniy sedikit memudar. “Dengan istri dan putraku.” Ia kemudian menyingkir sedikit agar Cassie bisa melihat keduanya sekarang tengah mengamati rak display kue dengan tertarik. “Sedang memutuskan untuk mengambil kue apa.”
Ini kali pertama Cassie melihat keluarga Ghaniy di dunia nyata. Karena seingat Cassie, Ghaniy jarang sekali mengunggah foto keluarganya di akun sosial media. Akun Ghaniy hanya penuh dengan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya sebagai dosen dan kegiatan kemahasiswaan.
Tanpa sadar Cassie sudah keluar dari bar station. Dengan senyum bisnis ia menyapa keduanya yang masih tampak bingung dengan pilihan yang ada di rak:
“Jadi apakah sudah memutuskan?”
Sang Istri menoleh ke arahnya, terkekeh canggung. Tapi si putralah yang menjawab dengan pandangan yang masih mengamati jajaran kue dengan ekspresi sayang. “Semua kelihatan enak.”
“Kalau begitu apa adik pernah mencoba bomboloni isi krim lemon?”
Si Putra mengerjap cepat, takjub. “Isi apa?”
Cassie bertukar pandang dengan sang istri sebelum menunjuk kumpulan roti berwarna cokelat ditabur dengan bubuk gula yang disusun rapi berjejeran. “Bamboloni isi krim lemon. Hari ini jadi favorit, lho. Adik pasti suka.”
Si putra mengangguk-angguk, menunjuk roti yang sama pada ibunya. Si ibu mengambil nampan dan mengambil dua potong. “Terimakasih,” ucap si putra sebelum Cassie melangkah mundur. Memberi keduanya ruang untuk memilih lebih lama.
Cassie mengamati Ghaniy juga sudah mendapatkan meja kosong yang tidak jauh. Bibir pria itu menggumam “terimaksih” tanpa suara ke arah Cassie. Gadis itupun berlalu pergi. Berselisih jalan sekali lagi dengan Aksa yang membawa setalam besar roti abon yang sudah dikerjakan Cassie. Gadis itu memerhatikan pasangan anak-ibu itu juga mengambil roti abon yang disodorkan oleh Aksa.
Namun yang paling menarik perhatian Cassie adalah ekspresi Ghaniy. Pria itu tampak... biasa saja. Sekarang ia tengah menopang dagu di atas meja dengan tangan yang lain memainkan sedotan minumannya yang terlihat seperti ice cappucino.
Cassie yang sekarang berdiri di paling belakang bar station tersenyum ketika si istri kepadanya sambil menunggu yang bertugas di kasir untuk menghitung harga kue-kuenya. Cassie mengangguk sopan sekali sebagai tanggapan. Cassie bersyukur si istri tidak menanyakan apapun dan ia tetap mengawasi sehingga keluarga tersebut berkumpul di meja. Si putra memamerkan isi bamboloni kepada ayahnya sebelum membelahnya jadi dua. Ghaniy mengerutkan dahi ketika menggigit bomboloni, namun ia tampak menykai roti itu. Cassie menyadari itu adalah senyum tulus pertama yang ditunjukkan oleh pria itu selama ia berada di kafe ini.
Cassie mengawasi keluarga kecil itu dengan kedua lengan terlipat di d**a. Cukup intens sampai ia tidak menyadari Aksa tengah berdiri di sampingnya. Ikut memerhatikan apa yang tengah ia lihat.
“Terlihat bahagia. Apa Mbak kenal mereka?” tanya Aksa setelah keduanya merapat ke bagian sudut terjauh bar station agar tidak menganggu para barista yang sibuk bekerja.
Tapi Cassie malah balik bertanya. “Apa semua pernikahan akan sampai pada fase seperti di sana itu?” Ia mengedikkan dagu tepat ketika Ghaniy mendorong salah satu minuman ke arah istrinya sebelum kembali menekuni piring kue dengan lebih tertarik.
“Setiap pernikahan punya fasenya masing-masing, Mbak.”
Cassie meringis. “Aku lupa aku baru saja bertanya dengan seorang suami kelas kakap.”
“Dan sebagai seorang lajang, Mbak tidak punya hak untuk menghakimi seperti itu...”
***
Tidak ada hal yang lebih menarik dari sedikit menceritakan masa lalu ketika pikiranmu tepat berkenala kesana – kemari.
Ghaniy Cakradana lebih muda sekarang baru saja memasuki satu-satunya aula pertemuan yang selama satu semester ke depan akan menjadi salah satu ruang kelasnya. Di hadapannya saat ini ada sekitar tiga puluh mahasiswa dari tiga jurusan berbeda yang mengambil mata kuliahnya.
Aula itu masih penuh dengan dengung percakapan. Ghaniy membiarkannya tetap seperti itu agar ia bisa mengambil waktu untuk mengedarkan pandangan dan mencuri dengar. Ia juga memerhatikan ekspresi dan sikap para mahasiswanya itu. Ia menahan geli ketika ia menyadari tidak ada yang berubah walau setiap tahun ia melihat wajah yang berbeda.
Para mahasiswa Management Perhotelan dan Management Bisnis Pariwisata biasa menduduki bagian depan kelas sekarang tengah mengobrol dengan sesamanya. Mereka mendominasi sebagain besar percakapan dengan sikap penuh percaya diri yang terkadang terlihat congkak. Sedangkan para mahasiswa jurusan Curilinary Arts and Pastry akan duduk di bagian belakang. Tampak selalu marah dan tidak bersemangat. Mereka hanya mengobrol sesekali dan lebih sibuk dengan ponsel masing-masing.
Universitas mengharuskan mahasiswanya untuk memakai seragam, namun Ghaniy mampu membedakan berasal dari jurusan mana hanya dengan aksesori yang melengkapi penampilan mereka.
Ghaniy membiarkan dengung percakapan itu terus berlangsung hingga sepuluh menit kemudian. Begitu ia berdiri dari kursinya sambil melipat kedua lengannya di d**a seluruh dengung percakapan berhenti. Ia memastikan seluruh pusat perhatian tertuju padanya sebelum tersenyum lebar sambil kembali mengedarkan pandangan. Beberapa mahasiswa seperti biasa ada yang menghindari pandangannya.
“Selamat siang. Kalian sudah tahu ini kelas apa dan sudah pasti pernah mendengarnya dari para senior sebelumnya. Jadi sebenarnya saya tidak perlu menjelaskan terlalu banyak...”
Ia mendengur dengung penuh ketidaksetujuan dan seringaian. Ghaniy ikut menyeringai.
“...Well, kecuali beberapa materi teori yang harus tetap saya jelaskan. Dan sebagian besar kelas ini akan berisi tentang diskusi...”
Ghaniy menghentikan kalimatnya begitu ia melihat salah satu mahasiswa mengangkat tangan. “Tapi Pak Ghaniy tidak akan membiarkan kami melakukan segalanya sendirian, kan?”
Ghaniy menyeringai. “Biasanya kalian anak muda tidak ingin mendengar saran apapun?”
“Para senior berkata kalau dalam kelas ini jumlah kami tiga puluh mahasiswa. Pak Ghaniy akan meminta kami membuat even tiga hari dua malam!” Sebuah suara terdengar lagi.
“Niatnya memang seperti itu. Saya lihat kalian mampu melakukannya.”
Terdengar erangan panjang serempak dari hampir seisi kelas.
“Saya yakin para senior kalian akan senang hati membantu. Apalagi yang telah bekerja di luar sana. Kalian tidak akan kesulitan untuk mendapatkan sponsor.”
Kali ini banyak yang memutar bola mata.
“Semua yang kalian butuhkan sebenarnya sudah kalian pelajari di kelas-kelas sebelumnya. Hanya kalian butuh lebih kuat dalam hal persuasi dan juga proposal yang oke.” Ghaniy berdiri tegak sekarang. “Apa kalian sudah pernah membahas tema apa buat even kalian?”
Melihat banyaknya wajah yang masih kebingungan itu membuat Ghaniy menghela napas panjang. “Ah, ya. Kenapa saya selalu lupa kalau kalian berasal dari jurusan yang berbeda. Kalau begitu ayo kita bahas terlebih dahulu materi teori kelas ini. Setelah itu saya harap kalian bisa memutuskan tema apa yang kalian inginkan secepatnya.”
Jadi setelah itu Ghaniy menghabiskan waktu menjelaskan materi teori kelasnya. Sesekali ia membahas tentang pengalaman-pengalaman even yang diambil oleh senior mereka sebelumnya.
Ia tahu tugas ini akan berat walah dikerjakan oleh tiga puluh orang sekalipun. Dan itu terlihat dari wajah tegang dari beberapa yang memiliki sifat over-thinking dan beberapa wajah memelas dari mereka yang mereka hanya menginginkan nilai.
“Dan seperti yang kalian juga sudah tahu saya akan ikut memilih siapa yang akan mendapatkan tugas apa nanti. Jadi tidak akan ada rasa superior dalam tim ini. Mengerti?” Ghaniy kembali mengedarkan pandangan untuk menegaskan maksudnya.
Karena Ghaniy tahu jika ia membiarkan mahasiswanya memilih siapa yang akan bertugas di mana sendiri. Ia tidak akan melihat satupun mahasiwa Culinary Art and Pastry dalam tim inti seperti tim promosi atau tim pembawa proposal ke para sponsor. Tim-tim inti biasanya akan dikuasai oleh para mahasiswa yang duduk di bagian depan kelasnya ini.
Jadi sebelum kelasnya selesai, Ghaniy membuat mereka kembali melakukan hal yang mereka lakukan ketika menjadi mahasiswa baru. Memperkenalkan diri di depan kelas. Ia melakukannya secara berurutan sesuai dengan baris kursi sehingga mereka bisa mempersiapkan diri terlebih dahulu. Semua melakukannya dengan monoton, tapi sesekali ada yang menarik perhatian sehingga terkadang terdengar sorakan karena terlalu norak.
Nama, usia, dan hobi. Hanya tiga itu saja, namun bisa membuat heboh seisi kelas.
Ghaniy ikut tertawa ketika salah satu mahasiswi Culinary Arts dan Pastry berkata hobinya adalah membuat kue imut untuk pacarnya. Hingga akhirnya ketika ia sampai kepada mahasiswi terakhir. Ia cukup jangkung untuk seorang gadis dengan rambut yang digulung rapi di tengkuk. Kedua lengan kemejanya tergulung hingga ke siku dan kedua tangannya terpaut di belakang punggung ketika ia berkata dengan suara mantap dan senyum simpul. Semua orang langsung terdiam.
“Cassie Ardana. Sembilan belas tahun. Hobi saya berusaha untuk tidak menyusahkan orang lain.”
Ghaniy terpana. Itu kata-kata yang aneh tapi dipilih dengan cermat. Tapi jelas bukan kalimat yang ideal untuk menutup sebuah pertemuan...
***