4

1647 Kata
Ghaniy Cakradana lebih tua sekarang baru saja menyelesaikan kelasnya. Materi yang sama untuk para pendengar yang berbeda dan wajah yang berbeda. Tapi bukan berarti menghasilkan sesuatu yang sama. Entah berapa persen materi yang ia bawakan itu sangkut dalam kepala mahasiswanya. Sambil menghela napas panjang ia membereskan barang-barangnya yang ada di atas meja diiringi oleh dengung percakapan penuh gairah dan langkah kaki para mahasiswa di luar lorong kelasnya. Ia kemudian bangkit, menyampirkan tali tas selempangnya di bahu. Ghaniy membalas sapaan dari beberapa mahasiswa yang mengenalinya. Ia berjalan cukup cepat kembali ke gedung tempat ruangannya berada bersama kantor para rektor. Sebagai kepala staf humas kampus ruangannya cukup luas dengan sofa penerima tamu. Beberapa hari terkhir biasanya penuh dengan mahasiswa semester enam yang berkumpul untuk membahas even mereka yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Namun hari ini ia tidak menerima pesan apapun. Jadi sudah pasti ia akan mendapati ruangannya dalam keadaan kosong. Jadi ia memutuskan untuk cepat pulang hari ini, toh hari sudah sore dan ia sudah tidak punya kegiatan apapun. Ia hanya butuh mengambil barang-barangnya yang tertinggal di dalam ruangan. Namun langkahnya berhenti mendadak begitu ia melihat siapa yang berdiri bersandar di depan pintu ruangannya sambil melipat kedua lengan di d**a. Gadis itu tidak mengatakan apapun. Walau matanya jelas menatap Ghaniy dengan tajam. Jadi Ghaniy merasa ia harus membela diri. “Saya kira tidak ada yang menunggu...” Namun gadis itu hanya mendesah. Melangkah ke samping agar Ghaniy bisa membuka pintu. Jadi Ghaniy maju untuk membuka pintu. Sangat sadar jika ia tengah diawasi oleh gadis itu. Setelah pintu terbuka gadis itu mengucapkan salam, mengikutinya di belakang.  Gadis itu meletakkan kotak kue dan segelas minuman di atas meja rendah sofa penerima tamunya. “Waktu itu saya tidak sempat untuk melihat-lihat. Sudah banyak yang berubah dari ruangan ini. Terutama dindingnya.” Cassie Ardana sekarang berdiri mengamati salah satu sisi dinding ruangan Ghaniy yang digantungi pigura yang berisi foto-foto even tahunan mahasiswa semester enam selama tujuh tahun terakhir. Ghaniy mengamati ia berlama-lama memandangi foto angkatannya. “Ah, saya bawakan Ice Cappucino.” Cassie tanpa mengalihkan pandangan dari foto. Ghaniy yang masih berdiri di depan pintu terkejut. Itu adalah minuman yang ia pesan untuk dirinya sendiri di grand-opening Long Dock Caffe beberapa hari lalu. Ghaniy memandangi Gelasnya plastiknya basah oleh embun es. Kerena Ghaniy masih belum juga bergerak, membuat Cassie melirik ke arahnya dari atas bahunya. “Es akan membuat rasanya hilang. Walau minuman itu mengandung dua shot gula.” “Kamu bahkan tahu tentang itu.” Ghaniy terkekeh pelan sambil mengambil minumannya. Ia mengaduk isi gelas dengan sedotan sebelum meminumnya. Cassie tidak menanggapi. Masih sibuk memandangi foto-foto itu. “Bukannya ini waktunya untuk even tahunan itu lagi?” Ia malah bertanya. “Yeah, mereka tengah sibuk mengejar sponsor sekarang.” Cassie menggumam terkesan. “Secepat itu?”                             “Karena mereka sudah membahasnya bersama sebelum mereka memasuki kelasku. Dan proposal mereka cepat disetujui.” Ghaniy lalu menyesap minumannya lagi. “Apa jumlah anggota tim sebanyak kami dulu?” “Tidak. Jadi mereka hanya membuat even satu hari satu malam.” Ghaniy mulai penasaran dengan isi kotak kue. Cassie tertawa. “Kerena mereka sedikit jadi sepertinya mereka bekerja lebih efesien.” Ghaniy menggumam mengiyakan dengan mata masih tertuju pada kotak kue. Cassie mendesah, membuat Ghaniy mendongak ke arahnya ketika gadis itu mengedikkan dagu ke arah kotak kue. “Choux au craquelin. Percobaan pertama. Jadi saya tidak jamin rasanya.” Mereka saling pandang. “Kamu membuatku menjadi kelinci percobaan?” Cassie mengedikkan bahu. “Isinya krim lemon.” Ghaniy mengamati ekspresi Cassie yang masih tidak berubah. Tapi sudah jelas Cassie mengamatinya hari itu. “Kamu bisa bilang ini kue sus. Tidak perlu pamer begitu.” Ghaniy berkata sambil membuka kotak kue. Ada tiga kue Prancis itu di dalam sana. Tampak lembut gurih disaat yang bersamaan. “Hey, mereka berbeda!” Suara Cassie meninggi, membuat Ghaniy terkekeh. Ghaniy merasa lelahnya menghilang begitu ia tertawa keras saat itu juga begitu menyadari Cassie mendelik ke arahnya. Ia tahu Cassie akan kesal karena ia berkata seperti itu. Ia ingat ia juga pernah melakukannya dulu. Gadis itu mengerang sambil menatap langit-langit ketika Ghaniy tengah sibuk membuat tawanya berhenti. Begitu Ghaniy cukup tenang ia mengambil satu roti Prancis itu dan memakannya. Cassie benar-benar merendahkan dirinya. Karena roti ini enak dan krim lemon yang familiar meleleh di mulutnya. Senyumnya kembali mengembang. Ghaniy menyadari ia tengah diperhatikan dengan ketat. “Ini enak,” komentarnya akhirnya. “Saya tidak tahu kenapa kamu harus merendah seperti itu.” Cassie melirik ke arah lantai sejenak sebelum ia berkata, “Thank you. And finally you are smiling.” Ghaniy nyaris tersedak dengan potongan terakhir rotinya. Jadi ia mengambil minumannya untuk melegakan tenggorokan. Cassie kembali menunduk memandang kakinya ketika Ghaniy berkata, “Sepertinya saya harus kembali ke Long Dock. Untuk cappucino-nya. Ini enak.” ***                                           Ramiel Yusmar biasanya menghindari pulang lebih awal karena pekerjaan, sekarang tidak bisa memakai alasan itu lagi. Ibu Yusmar memintanya untuk ikut makan malam dengan Bapak Yusmar malam ini. Jadi sekarang ia dalam perjalanan pulang. Sisa-sisa warna jingga di langit mulai memudar. Satu-satunya hal yang ia syukuri dengan kota tempat kelahirannya ini adalah jarang terjadi macet. Tidak butuh waktu lama ia sudah berada di halaman rumahnya dan memarkirkan mobil. Begitu ia berada di dalam rumah ia mendapati kedua orangtuanya tengah menata meja makan bersama. Ibu Yusmar menatapnya dengan penuh sayang sambil menjawab salam putra bungsunya itu. “Mandilah dulu. Kami akan menunggu.” Ia sempat bertukar pandang dengan Ayah Yusmar yang sedang menuangk air ke gelas. Sehabis itu keduanya mengalihkan pandangan. Ramiel kemudian menggumam mengiyakan sebelum berjalan cepat mungu kamarnya. Kedua orangtuanya tetap membiarkan kamarnya sama seperti ia meninggalkannya. Kamarnya bercat abu-abu dengan meja belajar yang menempel ke dinding. Buku-buku besar yang berasal dari masa ketika ia kuliah di rak-rak bersama dengan buku-buku motivasi yang entah kenapa bisa ia senangi bersamaan dengan ia yang menjadi bagian dari anggota himpunan jurusan Teknik Perkapalan. Ramiel menghela napas panjang lagi. Ia mandi dengan cepat karena ia tidak ingin membuat kedua orangtuanya menunggu lebih lama. Ketika ia kembali ia mendapati keduanya sedang mengobrol ringan. Ramiel duduk saling berhadapan dengan ibunya dengan Ayah Yusmar berada di kepala meja. Lama baru Ramiel menyadari semua menu yang ada di meja makan adalah makanan kesukaannya. Ikan kakap asam manis dan tumis kangkung. Ibunya tahu ia tidak suka dengan tauco sehingga sayur itu hanya ditumis dengan saos tiram. Entah kenapa perasaan bersalah menggerogoti hatinya. Ayah Yusmar adalah seorang pensiunan pegawai negeri sipil dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Ia dan abangnya bersama-sama membiayai kedua orangtuanya setiap bulannya. Mobil yang ia pakai juga berasal dari patungan dari keduanya. Namun mobil itu hanya dipakai untuk menghadiri acara keluarga yang nyaris selalu ada setiap akhir pekan. Ketika ia meraih sendok nasi untuk kedua kali, karena entah kenapa ia merasa lapar sekali begitu melihat apa yang telah orangtuanya sudah siapkan. Ia mendengar ibunya berdeham, membuatnya mengalihkan perhatian dari piringnya yang penuh kembali. “Salah seorang sepupumu dari keluarga Ayah akhir pekan ini. Ibu minta kamu ikut bersama kami.” Ramiel berusaha keras untuk tidak mengerang karena frustrasi. Ia sebenarnya benci sekali dengan pertemuan keluarga seperti itu. Karena ia akan menjadi objek basa-basi lagi. “Kafe sedang ramai-ramainya diakhir pekan, Bu...” “Kamu punya pagawai yang cukup untuk mengatasinya. Ditinggal sehari tidak akan apa-apa.”  Nada final dalam suara Ayah Yusmar sehingga Ramiel menundukkan memandangi piringnya yang kali ini tampak tidak menggairahkan lagi. Mungkin orangtuanya tidak bisa merasakan apa yang ia rasakan karena keduanya menikah diusia yang terbilang muda. Bahkan pada zaman mereka sekalipun. Jadi ia tahu tidak ada jalan keluar selain ia mematuhi apa yang diinginkan oleh keduanya. Ramiel menghabiskan porsi keduanya dalam diam. Tanpa kata membersihkan meja makan berdua dengan ibunya begitu ayahnya berpindah ke ruang tamu. “Ibu senang kamu mau kembali,” ucap ibunya ketika ia tengah sibuk mencuci piring. Memberinya usapan lembut di punggung.  Sebagai anak terkecil, Ramiel menghabiskan banyak waktu membantu ibunya. Walau ia tidak pernah bisa memasak, tapi Ramiel cukup pandai untuk urusan bersih-bersih rumah. Kutukan sebagai anak bungsu. Mungkin tidak akan pernah bisa hilang bahkan kalaupun ia menikah nanti. “Istirahatlah setelah selesai cuci piring. Ibu tahu kamu pasti capek.” Jadi ia langsung ke kamar dan memeriksa ponsel. Ada pesan dari abangnya. Baru ia akan membalas, namun abangnya sudah lebih dulu menelpon. “Bagaimana kabarmu?” “Kau baru menanyakannya setelah mengumpanku ke kandang singa. Yang benar saja!” Ramiel sambil melemparkan diri ke atas ranjang. Ia berbaring telentang dengan kaki melebar. Abangnya tergelak. “Singa-singa yang adalah orangtuamu. Seharusnya kamu bersyukur masih punya waktu bersama mereka.” Hening. “Apakah lebih baik jika aku terlahir sebagai perempuan?” Terdengar suara seperti muntah diseberang sana. “Membayangkanmu sebagai wanita? Tidak pernah terbayang olehku.” Kemudian abangnya berdeham. “Kalau kau perempuan, mereka akan lebih gencar menjodohkanmu pada siapapun.” “Bahkan dengan keluarga sekalipun.” “Keluarga jauh. Kamu tidak ingat dari mana kakak iparmu berasal, ya?” Ramiel memutar bola mata. “Kamu menerima perjodohan mereka dengan baik sekali. Membuat mereka mengharapkanku melakukan hal yang sama.” “Karena aku tahu itu adalah hal yang membahagiakan mereka. Lagipula mereka memberiku – kami - kesempatan untuk memutuskan. Karena mereka tahu yang akan menjalani semuanya kami sendiri pada akhirnya.  ” Hening lagi sebelum Ramiel melanjutkan. “Mereka menginginkanku ikut pada acara pernikahan salah satu sepupu kita akhir pekan ini.” “Berarti ada seseorang yang ingin mereka kenalkan padamu. Menurut sajalah, tidak ada ruginya. Dan jangan bilang ada seorang gadis yang menunggumu di sana.” Karena Ramiel tidak kunjung menjawab. Abangnya sendiri yang mengambil kesimpulan. “Jadi ada, ya? Kenalkan pada mereka sebelum...” “Aku tidak tahu! Aku hanya... bagaimana menjelaskannya?” “Salah satu dari gadis yang kamu dekati tanpa niat untuk mengenalkannya pada orangtua? Kau tahu umurmu udah tidak layak untuk melakukan hal semacam itu, kan?” Ramiel mengusap-usap wajahnya cepat “Aku tahu. Dan jangan menghakimiku seperti itu.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN