Ketika matahari tampak masih malu-malu untuk muncul di langit Cassie sudah lebih dulu bangun untuk mengerjakan tugas bersih-bersih rumah. Mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya, mengepel seluruh lantai, dan menyiapkan sarapan dan makan siang untuk Mama Ardana.
Begitu setiap hari. Ia telah melakukannya bahkan sebelum kepindahannya ke ibukota.
Cassie melakukan semuanya tanpa mengeluh. Dan ia melakukannya dalam diam dan di luar kepala. Mama Ardana senang akan kebersihan dan beliau telah terbiasa melakukannya sendiri ketika Cassie sedang tidak tinggal dengannya. Tapi membiarkannya melakukan semua itu sendiri lagi setelah Cassie kembali membuat Cassie tidak nyaman. Apalagi dengan pengawasan ketat oleh para tetangga.
Cassie sedang memasak nasi goreng ketika pikirannya sedang berkelana ke masa lalu ketika ia berharap setelah tamat kuliah seseorang memintanya untuk menjadi istri sehingga ia akan dibawa keluar dari rumah ini. Rumah yang selalu mengingatkannya akan almarhum papanya.
Ia tersentak sadar begitu ia mendengar seseorang mengatakan sesuatu di belakangnya.
“Apa kamu melakukan ini juga di kafe? Mengkhayal di depan kompor? Bahaya sekali.” Mama Ardana selalu tampak segar setiap pagi. Apalagi dengan putri bungsunya yang telah kembali dari merantau untuk mengurusinya setiap hari.
“Tidak. Itu kebetulan.” Cassie memtikan kompor. Kemudian menoleh ke arah Mama Ardana yang masih menatapnya dengan pandangan menuduh. “Apa Mama mau dibuatkan mata sapi?” Cassie berusaha membuat suaranya seceria mungkin.
Mama Ardana masih memberinya lirikan penuh selidik sebelum menggumam mengiyakan dan berlalu meninggalkannya kembali sendirian di dapur. Cassie menghela napas pelan.
Ia menyendok nasi dan telur mata sapi untuk mamanya dan menaruh piringnya di meja makan. Tepat di depan Mama Ardana yang masih mengawasinya dengan ketat.
“Apa kamu masih marah karena pada akhirnya kamu kembali ke rumah ini?”
Cassie bersyukur karena ia tidak sempat menjawab karena suara mesin cuci yang berbunyi nyaring. Jadi dengan cepat ia berbalik dan pergi. Ia tidak menyangka ia akan merasakan sensasi jantung jatuh ke perut seperti ketika Mama Ardana bertanya seperti itu.
Karena Cassie memang masih marah. Ketika ia sendiri berusaha keras untuk tidak kembali. Setelah akhirnya ia punya cukup uang untuk membiayai hidupnya sendiri dan keluar dari rumah. Tapi tiba-tiba ia harus kembali.
Cassie digoda dengan kenaikan gaji yang ditawarkan oleh pemilik kafe dengan ia yang dikirim kembali ke kampung halamannya.
“Apalagi kamu juga akan mengawasi Ramiel di sana. Aku tahu apa yang harus kulakukan,” kata pemilik kafe yang juga abangnya Ramiel untuk membesarkan hatinya.
Jadi sekarang Cassie sedang mengeluarkan pakaian basah dari mesin cuci. Ia harus kembali melewati mamanya yang sedang makan. Sengaja mengalihkan wajah ketika sedang mengangkat keranjang yang penuh dengan cucian.
Cassie sekali lagi bekerja dalam diam. Kali ini ia tidak membairkan pikirannya melayang ke mana-mana. Membuatnya memberi perhatian ekstra pada jemuran. Ia melakukan pekerjaan rumahnya dengan cepat sekarang mengingat ia harus bersiap-siap berangkat bekerja. Long Dock buka sekitar pukul sembilan pagi, tapi pekerjaannya mengharuskannya datang secepat yang ia bisa.
Aksa selalu datang lebih dulu darinya karena jarak antara rumahnya dan kafe lebih dekat dari rumah Cassie. Sehingga pria itu selalu selesai menyiapkan bahan-bahan ketika Cassie datang. Sebagai balasannya Aksa akan pulang sejam lebih cepat darinya. Karena pria itu memiliki istri dan seorang balita perempuan yang menunggunya di rumah.
Aksa lebih muda dua tahun darinya dan sudah menikah begitu ia lulus sekolah menengah kejuruan. Menurut pengakuan Aksa, sifat kerja kerasnya baru ia dapatkan setelah ia menikah. Aksa juga mengaku sebagai anak pemalas ketika sekolah sehingga begitu ia lulus ia meminta dijodohkan dengan siapapun yang orangtuanya inginkan.
“Dengan begitu saya punya alasan untuk terus bergerak dan bekerja.”
Terkadang Cassie cemburu dengan cara pikir Aksa yang sangat sederhana. Apalagi setiap kali mereka istirahat, Aksa selalu menyempatkan diri menelpon istri dan anaknya di rumah.
Setelah selesai menjemur pakaian, Cassie kembali ke dapur Ia menyalin sarapannya ke dalam kotak bekal dan tidak lupa membersihkan peralatan masaknya. Ia sendiri jarang sekali membiarkan dirinya makan di rumah karena ia merasa tidak nyaman. Memastikan pulang dalam keadaan perut kenyang.
Cassie kemudian mandi dan bersiap-siap berangkat. Mama Ardana tengah bercakap-cakap dengan tetangga ketika ia mengeluarkan motornya dari pekarangan. Berusaha untuk tetap tidak saling pandang ketika ia mengucapkan salam, ia lalu memacu motornya pergi...
Cassie sekali lagi tidak membiarkan pikirannya berkelana ketika ia mengendarai motor. Satu-satunya hal yang paling Cassie syukuri dari kembainya ia ke kampung halamannya adalah ia tidak perlu lagi menderita kemacetan setiap kali berangkat bekerja. Ia sampai lebih cepat daripada biasanya dan melihat barista yang bertugas untuk sif pagi sedang membersihkan ruang smoking area sendirian.
“Lho, partner-mu mana?” tannyanya setelah salamnya dijawab oleh si barista.
Sang Barista mengedikkan bahu. Walau terlihat raut kesal di wajahnya.
Tidak berapa lama kemudian kiriman belanja harian bakery dan hot kitchen, disusul dengan kiriman s**u fresh milk dengan mobil boks yang berbeda. Setelah menaruh barang-barangnya di loker, Cassie membantu Aksa menyusun bahan-bahan mereka ke ruang bakery. Aksa tampak begitu serius memindai belanjaan, membuat Cassie berpindah ke ruang sebelah untuk mengawasi cook sebelah yang juga sibuk menyusun bahan stok hariannya yang berjumlah lebih sedikit. Kebanyakan main dish Long Dock adalah makan siap olah yang tinggal diambil dari freezer. Jadi bahan yang tinggal dibeli tiap harinya adalah sayuran untuk garnish.
Cassie bukannya ingin bertingkah seperti captain atau apapun sebutan untuk siapapun yang punya kuasa di bawah manajer pada ranah food and baverage. Ia hanya tidak ingin mereka mendapatkan masalah yang sedari awal bisa mereka dihindari. Apalagi dengan manajer mereka yang tidak berpengalaman.
Cassie mengacungkan jempol pada cook itu dan pemuda itu menanggapinya dengan kekehan ringan. Cassie-pun kembali ke ruang bakery dan mendapati Aksa telah selesai menghitung dan mulai menyimpan bahan-bahan mereka ke lemari penyimpanan. Setelah yakin Aksa selesai, Cassie baru memulai menyiapkan bahan untuk cake dan roti yang akan dijual hari ini. Dengan Aksa ia berkerja dengan sangat cepat. Begitu adonan roti ditinggal sebentar untuk fermentasi, keduanya berpindah ke cake. Cassie selalu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan ketelitian, karena Aksa lebih pandai dari itu.
Jadi begitu cake yang setengah jadi berada di dalam oven dan freezer, Cassie meminta izin pada Aksa agar ia dibolehkan untuk memakan sarapannya.
“Astaga, Mbak,” Aksa terkekeh geli. “Tidak perlu minta izin seperti itu. Selama Mbak kembali sebelum saya mencari, Mbak bisa melakukan apapun yang Mbak mau.”
Cassie menyeringai. Ia lalu berpindah ke ruang sebelah untuk meminjam sendok dan segelas air dari bar station. Cassie memakan sarapannya di hot kitchen sambil mengobrol ringan dengan cook yang tengah mengurusi kotak-kotak sayuran garnish.
Cassie sangat sibuk makan sehingga berjengit keras ketika ia mendengar seseorang meneriakkan namanya, membuatnya berbalik saat itu juga. Ia mendapati wajah Ramiel Yusmar – manajer mereka terpampang jelas dari jendela yang menghubungkan hot kitchen dan bar station. Pria itu menunduk, menatap tajam Cassie yang berusaha menelan nasinya yang seperti tersangkut di tenggorokan.
“Mana list jadwal cake dan roti kalian selama seminggu ke depan yang aku minta kemarin?”
Cassie mengerjap. Ia sadar betul dengan nada ketus yang dipakai Ramiel itu. Namun ia tidak ingin memulai permusuhan terlalu pagi. Jadi ia menjawab dengan, “Ada di ruang bakery. Tunggu sebentar, nanti saya akan bawakan ke ruangan Pak Ramiel.”
Ramiel masih menatapnya tajam sebelum berbalik. Cassie melihat sebuah kertas tergenggam di tangannya ketika pria itu berlalu pergi.
“Ada apa dengannya?” bisik Cassie seharusnya untuk dirinya sendiri. Tapi sepertinya cukup keras sehingga terdengar oleh sang cook yang menggeleng keras, memperingatkannya.
Ada masa-masa di mana Ramiel bersikap tidak jelas, seperti sekarang ini. Jadi mereka selalu harus berhati-hati dengan suasana hati sang manajer. Untungnya para karyawan baru mulai terbiasa dan Cassie harus menahan kekesalannya seorang diri.
Cassie menutup kotak bekalnya dan kembali ke ruang bakery. Aksa tengah memandangi cake yang ada di dalam oven ketika ia masuk dan mulai mencari-cari sebuah kertas yang ia telah tulis bersama Aksa semalam dalam map laporan harian mereka.
“Melihat dari wajah Mbak sekarang, Pak Ramiel pasti sudah datang.” Aksa setelah Cassie berhasil menemukan kertas yang ia cari.
“Dan mood-nya sedang tidak baik. Berhati-hatilah dan mari berharap dia tidak menggigit.”
Aksa terkekeh geli, namun berhenti saat itu juga begitu mendapati Cassie mendelik padanya.
Kantor Ramiel berada di lantai dua. Selain ruanngan Ramiel, lantai itu penuh dengan barang-barang kafe yang tidak terpakai. Cassie selalu bertanya-tanya kenapa Ramiel membuat lantai ini jadi angker dengan hanya menghidupkan dua lampu dan salah satunya adalah lampu ruangannya.
Cassie memastikan ia cukup tenang untuk masuk ke ruangan tersebut dengan menarik napas panjang beberapa kali. Gadis itu memasang senyum bisnisnya seperti biasa sebelum mengetuk pintu. Begitu ia mendengar gumaman menyahut ia membuka pintunya.
Ada banyak kertas di atas meja kerja pria itu dan Ramiel tampak kebingungan memilahnya. Cassie melirik ke arah kertasnya sendiri dan bagaimana satu kertas tambahan darinya mungkin bisa membuat Ramiel menangis.
Jadi tanpa kata Cassie menaruh kertasnya di atas meja, berniat untuk tidak berkomentar apapun demi keselamatannya sendiri. Namun Ramiel sudah berbicara bahkan sebelum ia sempat mengambil langkah.
“Rencananya akan berapa banyak varian cake dan roti yang akan kamu buat bersama Aksa ke depannya?” Ramiel akhirnya mendongak dari kertas-kertasnya. Dahinya mengerut dalam.
“Belum bisa dipastikan. Karena kita baru buka selama dua minggu. Kami berencana untuk mengecilkan daftarnya begitu hasil penjualan bulanan keluar. Agar tahu mana yang harus tinggal, mana yang harus diganti.” Cassie menjawab lancar.
Ramiel tertawa, tapi jenis tawa maniak dengan tatapan nanar. “Dan dafter kue-kue itu baru sebagian yang masuk ke sistem kasir.”
“Mas bisa meminta bantuan petugas kasir untuk melakukannya. Lagipula beberapa cake dan roti memiliki pemakaian bahan yang serupa.” Cassie dengan dahi mengerut dalam.
“Oh, ya kau benar. Apa kamu juga membuat costing resep bahan setiap kue dan roti yang telah kalian buat sebelumnya?”
Cassie menunjuk kertas miliknya. “Tapi kami hanya membuatnya dengan perkiraan harga kasar sama dengan branch di ibukota. Itu karena saya masih mempelajari harga bahan di sini, begitu juga dengan Aksa. Mungkin akan bisa dijual lebih murah dari yang di ibukota. Semua sudah tertulis di sana.”
Ramiel mengambil kertas milik Cassie, membacanya sejenak. “Kalian selalu selangkah lebih di depan.”
“Karena kami tahu apa yang kami kerjakan.” Cassie tidak bermaksud untuk membuat kalimatnya seketus itu.
Tapi Ramiel menanggapinya dengan ringan. “Aku tahu. Dan tidak seharusnya kepalaku malah memikirkan hal lain.”
Oh, tidak....
“Ibu dan Ayah mengajakku ke pesta pernikahan salah satu sepupu akhir pekan ini...”
Cassie dengan cepat melambaikan kedua tangan. “Oh, saya tidak punya waktu untuk mendengarkan. Sebentar lagi Aksa akan mencari saya.” Cassie membungkuk sekali lalu kabur begitu saja sebelum Ramiel sempat menahannya.
Jadi itu alasan kenapa suasana hati Ramiel jelek pagi tadi.
Cassie datang tepat ketika Aksa sedang sibuk menguleni adonan. Pria itu mendongak padanya dengan kedua alis bertaut. Cassie hanya butuh memutar bola matanya terang-terangan untuk membuat Aksa paham untuk tidak bertanya lebih jauh...
***