Pada suatu siang di tahun 2016 Ghaniy Cakradana menatap kelasnya yang sekarang sengaja ia bentuk setengah lingkaran. Setelah ia selesai menjelaskan teori kelasnya seperti biasa ia mengambil sisa waktu kelasnya untuk mengetahui sudah sejauh mana persiapan mereka untuk even yang akan mereka selenggarakan nanti.
Maka dari itu Ghaniy sekarang tengah berdiri mengawasi setiap ekspresi yang ada. Setelah memberi waktu mereka berpikir selama sepekan, akhirnya ia memutuskan untuk bertanya;
“Jadi apa kalian sudah memutuskan?”
Seisi kelas saling pandang sejenak sebelum sang Ketua yang adalah mahasiswa Manajemen Perhotelan menjawab menjawab, “Winter. Kami mengambil tema musim dingin.”
Alis Ghaniy saling bertaut. “Musim dingin di tengah tahun?”
Pemuda itu mengedikkan bahu. “Ini Asia Tenggara. Tidak ada yang akan protes.”
Ghaniy terkekeh geli. “Masuk akal. Apa even ini akan menjadi full entertainment atau akan ada terselip acara edukasi juga?”
“Rencananya begitu. Sekaligus pameran paket traveling winter dari berbagai travel yang menyediakan paket wisata ke Korea, Jepang...” sambung pemuda itu lagi.
“Kalian terdengar masih tidak yakin.” Ghaniy mengedarkan pandangannya lagi. “Lalu apa yang membuat even kalian berbeda dari senior-senior kalian yang lalu? Selain tema kalian, tentu saja.”
Mereka saling pandang lagi. Tampak kebingungan dan tidak yakin dengan diri mereka. Membuat Ghaniy mengerang frustrasi dan menggaruk belakang lehernya.
“Seperti yang Pak Ghaniy katakan tadi. Winter di tengah tahun. Berbeda.”
Seisi kelas menoleh ke asal suara, begitu juga dengan Ghaniy. Itu adalah gadis yang pekan lalu berkata ia tidak ingin menyusahkan orang lain. Gadis itu tampak ogah-ogahan dan tengah menunduk. Ketika ia mengangkat wajahnya dan menyadari seisi kelas menatapnya, ia mengerjap. “Apa? Bukannya itu alasannya?”
“Kami baru akan mengatakan itu,” sambar sang Ketua sambil mengangguk-angguk cepat ke arah Ghaniy.
Ghaniy cengir lebar. “Selama kalian bisa menjelaskannya dengan baik dengan sponsor. Saya tidak akan protes lebih jauh.” Ghaniy mencuri lirik ke arah si gadis yang sekarang tampak lebih ogah-ogohan dari sebelumnya. “Jadi, karena kalian sudah mendaptkan tema jadi sekarang diskusikan isi proposal kalian secepatnya. Karena waktu tetap berjalan walaupun jumlah kalian banyak.”
Setelah itu Ghaniy membiarkan kelasnya bubar lebih cepat. Tapi sebagian dari mereka ada yang meninggalkan kelas untuk mengejar kelas mereka selanjutnya. Sebagian lagi tinggal berdiskusi. Ghaniy sengaja berlama-lama untuk mencuri dengar. Membuatnya berpura-pura membaca sesuatu di ponselnya.
Lama baru ia menyadari gadis yang tadi membantu menjawab pertanyaannya sekarang juga tinggal. Namun ia berada di luar lingkaran, namun mendengar dengan seksama tanpa ada yang menyadari. Ekspresinya berubah-ubah dengan apapun yang tengah mereka bahas.
Ghaniy membuka daftar absen kelasnya untuk mencoba mengingat kembali nama gadis itu. Begitu menemukan nama yang ia cari, ia mengangkat wajah. Gadis itu – Cassie Ardana, masih di sana, mendengarkan sekarang sambil bertopang dagu.
Dari matanya dan cara Cassie mengamati teman-teman kelasnya yang sedang berdiskusi, Ghaniy tahu gadis itu berbeda.
Namun tiba-tiba Cassie tersentak dan melirik ke arah layar ponselnya. Cassie menggumam sesuatu yang terlihat seperti umpatan sebelum dengan terburu-buru membereskan barang-barangnya. Mata Ghaniy mengikuti setiap gerak Cassie hingga gadis itu pergi meninggalkan kelasnya dengan berlari. Bahkan sama sekali tidak menyempatkan diri untuk melirik ke arahnya.
***
Setelah menyelesaikan sebagain besar tugasnya yang seperti tidak ada habisnya. Akhirnya Ramiel memutuskan untuk beristirahat sejenak. Punggungnya terasa pegal dan ia meliuk ke kiri dan ke kanan. Dari pantauan layar CCTV di meja kerjanya. Kafe tampak cukup ramai dengan para pelanggan yang duduk tenang di meja masing-masing dengan makanan dan minuman mereka. Di balik bar station berdiri Aksa, barista, dan waitres-nya tengah berbincang ringan.
Sedangkan Cassie terlihat di ruang bakery. Tengah sibuk mengaduk sesuatu dalam mangkuk stainless. Ramiel tidak bisa melihat wajah gadis itu karena Cassie juga sedang menunduk membaca sesuatu di atas meja stainless.
Ramiel teringat gadis itu kabur sebelum ia sempat menyelesaikan ceritanya. Jadi sekarang ia berdiri meninggalkan kantornya. Menegur para pegawainya yang berada di balik bar station sebelum ia sendiri menuju ruang bakery yang selalu hangat bahkan dengan begitu banyak exhoust yang telah dipasang. Cassie bahkan tidak berbalik untuk melihat siapa yang masuk dan tetap bekerja.
Tanpa kata Ramiel mendekat, mencomot satu roti sosis tanpa tahu kalau roti itu baru saja keluar dari oven. Ia langsung mengaduh, melempar roti itu kembali ke loyang. Ketika ia sedang meniup-niup jemarinya yang panas Cassie meliriknya dengan pandangan merendahkan.
“Kenapa tidak bilang kalau itu panas?” Ramiel sambil mengibas-ngibas tanganya yang sakit.
“Kenapa tidak bertanya?” Cassie sambil memperlihatkan tongs yang ada di tangannya.
Mereka saling mendelik sejenak sebelum saling mengalihkan pandangan. Ramiel kemudian berdeham. “Tadi kamu kabur sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.”
“Mas Ramiel tidak lihat berapa banyak pekerjaan saya?” Cassie bahkan tidak mengangkat wajahnya ketika mengatakannya. Masih sibuk menaruh roti-roti sosisnya ke dalam cup kertas.
“Bukannya sekarang waktunya istirahat?” Ramiel kembali memungut roti yang tadi ia lemparkan dan menaruhnya ke atas loyang dingin di dekatnya.
“Saya harus melakukannya bergantian dengan Aksa. Roti-roti ini juga perlu perhatian.”
Ramiel mencibir dan tetap berada di tempatnya hingga membuat Cassie kembali menoleh ke arahnya setelah menaruh tongs di atas meja. “Jadi apa yang ingin Mas Ramiel ceritakan tadi?”
Mendengar itu Ramiel cepat-cepat menarik kursi yang diletakkan di belakang pintu kemudian duduk dengan punggung kursi menghadap ke depan. Ramiel menaruh dagunya di atas punggung kursi ketika berkata,
“Orangtuaku mengajakku ke acara pernikahan salah satu sepupu di akhir pekan ini. Jadi mungkin aku tidak akan sempat untuk datang membantu kalian nanti.”
Cassie mengangguk-angguk lalu mengambil tongs-nya lagi. Membuat Ramiel kesal. “Kamu tidak ingin mendengar kelanjutannya?”
“Memangnya masih ada kelanjutannya?” Cassie kembali menaruh tongs-nya. Sudah jelas ia tersenyum dengan terpaksa.
Pria itu berbalik badan dengan setengah tubuhnya bersandar pada meja stainless. Sambil membelah rotinya menjadi dua, Ramiel melanjutkan. “Aku rasa mereka ingin mengenalkanku dengan seseorang di sana.”
“Baguslah untuk Mas.” Senyum Cassie melebar, membuat matanya makin menyipit.
Ramiel terganggu dengan nada bicara Cassie yang terkesan tidak sepenuh hati itu. “Hey! Aku serius!”
Cassie memutar bola matanya. “Saya juga. Jadi bisa tolong tidak mengganggu sekarang? Pekerjaan saya masih banyak.”
Ramiel mendengus dan mau tidak mau keluar dari ruang bakery karena Cassie tidak menunjukkan keinginan untuk mendengarnya lebih jauh. Jadi ia keluar dengan rotinya dan menuju bar station dengan Aksa yang masih ada di sana. Ramiel bisa merasakan Aksa tengah mengawasinya yang meminta dibuatkan milkshake chocolate pada barista.
“Mbak Cassie mengusir Pak Ramiel?” Ia mendengar Aksa bertanya ketika ia sedang mencubit-cubit sosis yang ada di atas rotinya.
“Yeah, dia serius sekali dengan roti sosis ini hingga tidak mengacuhkanku.”
Begitu melihat si waitres kembali dari mengantar minuman. Ramiel kemudian memberitahunya untuk menginput harga baru untuk cake dan roti yang selama ini dijual dengan harga yang sama untuk diaplikasikan bulan depan. Sang waitres mengiyakan. “Oh, ya Pak Ramiel,” sambung waitres-nya lagi. Pelanggan yang baru saja saya antar minuman tadi bertanya tentang Pak Ramiel. Katanya dia mengenal Pak Ramiel.”
Dahi pria itu mengerut sebagai tanggapan. Ramiel sudah biasa mendengar tentang pelanggan yang biasa mengaku-aku mengenal pemilik kafe untuk mendapatkan diskon. Namun Ramiel merasa tidak ada ruginya ia pergi mengecek, kalau-kalau ia memang mengenal siapapun itu.
Setelah diberi arahan dimana pelanggan itu duduk, Ramiel awalnya hanya berniat untuk mengintip. Tapi ia membeku saat itu juga begitu menyadari ia memang mengenal siapa yang tengah duduk meminum milkshake cokelat yang tinggal setengah itu sambil memainkan ponselnya di tangan lain.
“Ramiel,” sapa wanita itu lalu menaruh ponselnya di samping gelas minumannya. “Kamu mengabari semua orang tentang tempat ini, tapi tidak denganku? Betapa jahatnya.”
Saat itu juga Ramiel ingat tentang waktu ketika mereka berpisah. Salah satu yang terburuk dari semua yang pernah ia alami.
“Nadia,” ucap Ramiel sambil memaksakan senyum. “Jadi bagaimana kamu mengetahuinya?” Ramiel berjalan ke mejanya. Tangannya menggenggam puncak punggung kursi yang kosong dihadapan wanita itu.
“Dari banyaknya unggahan teman-teman kita yang aku lihat di i********: beberapa hari lalu. Dan aku melihat banyak wajahmu di sana. Ada yang bahkan memberimu komentar di foto mereka.”
Ramiel memang meminta teman-teman kuliahnya untuk tidak memberitahu Nadia, tapi ia lupa untuk melarang mereka untuk mengunggah fotonya. Ramiel mengutuk teman-temannya yang datang itu satu-persatu dalam hati.
“Kafe ini terlihat cantik. Apa milikmu?” Wanita itu bertanya lagi kali ini setelah menyesap minumannya.
Ramiel menghela napas panjang. “Kenapa kamu bisa di sini sekarang? Bukannya kamu bersama suamimu di kota lain?”
“Aku telah bercerai sejak bertahun-tahun yang lalu.” Setelah itu wanita itu memandang wajah Ramiel lekat-lekat. “Melihat dari ekspresimu aku yakin tidak ada satupun teman-teman Teknik yang terikat dengan sumpah untuk selalu loyal itu yang memberitahumu.”
“Kenapa? Setelah kamu tiba-tiba pergi untuk menikahi pria itu?” Ramiel pelan sekali sambil menunduk dalam.
“Karena dia gay dan dia membutuhkan untuk menutupi kedoknya itu. Jadi kami melakukan... semacam perjanjian. Dan ia memberiku cukup uang...”
“...Tanpa memberiku penjelasan sekalipun?” Ramiel untungnya berhasil menahan suaranya untuk tidak bergetar.
Wanita itu – Nadia, mendengus. Kemudian dengan kepala sedikit dimiringkan ia menjawab pertanyaan Ramiel. “Kita semua punya insting untuk bertahan hidup. Jangan berlagak kamu tidak mengetahuinya.”
***
Ghaniy Cakradana muda baru saja keluar dari kelasnya yang telah selesai ketika seorang dosen matakuliah Lingkungan Bisnis menegurnya. Pria itu memiliki usia yang jauh lebih tua darinya, namun memiliki senyum kekanakan yang menular. Semua dosen yang mengajar di tempat kerjanya memiliki sikap yang sama. Ghaniy mengangguk sekali sebagai jawaban dan sekarang mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong yang penuh dengan para mahasiswa.
“Saya tadi dapat pesan dari dosen culinary artisty katanya mahasiswa semester enam sedang mengadakan kontes wedding cake. Seluruh dosen diundang. Apa Pak Ghaniy mau ikut?”
Ghaniy yang tadi belum sempat mengecek ponselnya setelah selesai mengajar langsung mengedikkan bahu. “Oh, ya? Kebetulan saya lapar.”
Lalu keduanya sama-sama menuju ballroom yang saat ini penuh dengan meja-meja bundar empat kursi yang diatasnya telah ditata perlengkapan makan table manner. Terlihat sebagian banyak dosen yang sudah duduk menunggu. Wajah mereka tampak bersemangat.
Ghaniy dan dosen yang menemaninya mengambil duduk di meja kosong di tengah. Dosen culinary artisty yang adalah seorang pria bertubuh gempal dengan gerak yang sangat lincah itu sekarang tengah membagikan kertas kepada seluruh dosen yang hadir.
“Kertas skor. Tolong dibaca petunjuknya sebelum mengisi, ya?” jelasnya dengan sneyum cerah.
Ghaniy membaca kertas skor itu. Skornya dari 10-100. Mulai dari penilaian rasa, tekstur, penampilan, hingga presentasi dari setiap kelompok. Akan lima wedding cake dari lima kelompok yang akan dinilai.
Memang acara seperti ini sering diselenggarakan apalagi pada musim ujian. Dosen-dosen akan dengan senang hati datang ke jurusan Culinary Arts ketika mereka diminta untuk mencicipi makanan yang dibuat oleh para mahasiswa. Wedding cake ini adalah yang pertama.
Setelah kertas-kertas skor telah dibagikan dosen tersebut membuka acara dengan mengucapkan terimakasih kepada para dosen yang bersedia hadir. Ia kemudian menjelaskan jika urutan presentasi akan dipilih secara acak mengunakan undian. Ketika sebuah nomor keluar kelompok yang mendapat giliran akan keluar dari balik pintu dengan wedding cake mereka.
Kelompok pertama adalah cake dua tingat dengan fondant berwarna putih dan hiasan seperti mutiara dipinggirnya. Dengan hati-hati ketua kelompok membelah kue itu tepat ditengah untuk memperlihatkan isi cake-nya.
Walau tampak cantik, wedding cake pertama terasa biasa saja. Tidak begitu spesial. Sehingga Ghaniy memberi nilai yang lebih kecil untuk rasa daripada untuk penampilan kue tersebut.
Tiga wedding cake berikutnya nyaris serupa. Hanya yang membedakannya beberapa di antaranya dihias dengan buttercream berbentuk mawar, dedaunan atau dihias dengan bunga yang bisa dimakan. Semua tampak manis dan wajar untuk pernikahan bernuansa internasional.
Hingga kelompok terakhir mengundang banyak dengung komentar begitu mereka memperlihatkan cake mereka. Wedding cake itu jelas lebih mirip kue ulangtahun anak-anak. Logo Avangers terpampang jelas di tingkat kedua cake yang berwarna biru langit. Terlihat figur kedua kubu para avangers yang saling berhadapan, siap menyerang.
“Selamat siang, Bapak dan Ibu Dosen yang terhormat. Seperti yang Bapak dan Ibu lihat kami mengambil tema wedding cake yang berbeda dari teman-teman kelompok lain. Kami mengambil tema Civil War karena seperti Captaint America dan Iron Man yang berbeda pendapat. Banyak teori yang mengatakan pada sebuah pernikahan akan mengalami hal yang sama. Spoiler alert!”
Para dosen tertawa dengan salam pembuka dari seorang mahasiswi itu. Sedangkan Ghaniy butuh waktu lama untuk mengenali siapa dia. Ia adalah mahasisiwi yang sama. Mahasiswi yang telah membuatnya terkejut di kelasnya beberapa hari lalu. Namun saat ini ia tampak lebih percaya diri walau suaranya terdengar sedikit bergetar.
“Namun bukan berarti mereka akan begitu seterusnya. Ada saat di mana mereka akan mengingat kembali saat-saat bahagia ketika melakukan aksi bersama. Mereka akan mengenal kolaborasi dan kompromi. Mereka akan belajar. Jika sebuah misi baru akan berhasil ketika semuanya siap bekerja sama. Atau begitulah doa kami untuk kedua mempelai.”
Para dosen saling lirik dalam diam. Ghaniy menyeringai. Gadis ini jelas berbeda.
“Walau saya tahu Cassie aneh. Saya tidak pernah menyangka dia memang seaneh ini.” Komentar dosen yang datang bersama Ghaniy tadi.
Ghaniy akhirnya mengingat nama gadis itu. Cassie Ardana.
Salah satu timnya memberi pisau pemotong kue. Dengan lihai ia membelah tepat di tengah-tengah dua kelompok figur pahlawan super itu. Terpampang dua cake red velvet dengan buttercream cokelat ditengahnya.
“Kami memilih red velvet karena merah adalah warna yang bisa diartikan pada dua hal yang sebenarnya saling bertentangan. Amarah dan hati (love). Buttercream cokelat karena cokelat adalah makanan yang selalu berhasil mengambil hati siapapun. Dan terimakasih untuk tim atas kelihaiannya membuat figur-figur pahlawan super ini dengan sangat baik menggunakan fondant,” jelasnya setelah selesai membelah kue. Lalu gadis itu membungkuk dan mengucapkan salam penutup.
Tepuk tangan jelas lebih kencang untuk kelompok terakhir ini. Dosen pembimbing mereka memberi jempol kepada Cassie sebelum para tim sibuk memotong-motong kue tersebut untuk dibagikan. Para dosen berebut untuk mendapatkan figur pahlawan super yang mereka inginkan. Ghaniy tertawa-tawa melihat para dosen yang berhasil mendapatkan figur yang mereka inginkan dengan congkak memamerkan bagian mereka.
Ghaniy terlalu sibuk menlihat sekeliling sehingga ia berjengit ketika sebuah piring diletakkan dihadapannya. Potongan kuenya cukup besar dengan figur Falcon di atasnya. Ghaniy mendongak dan mendapati Cassie sendiri yang menaruh piring kue itu di hadapannya. Kemudian pergi begitu saja.
“Wah, saya iri,” komentar si dosen Lingkungan Bisnis itu, mencebik.
Ghaniy terlalu terkejut untuk balas berkomentar. Namun begitu ia mendapatkan kembali kesadarannya ia kemudian bertanya pada dosen tersebut. “Apa Bapak mengenal gadis yang memberi presentasai tadi?”
Si dosen Lingkungan Bisnis itu menyuap cake bagiannya sebelum menjawab, “Tidak juga. Tapi jelas Cassie punya isi kepala yang berbeda jika dilihat dari makalah-makalah tugas miliknya yang pernah saya nilai. Walau bukan berarti beberapa kutipan tidak dia lihat dari internet.”
“Dan bagaimana dia di kelas?”
Si dosen menyuap lagi sebelum menjawab. Tapi kali ini suapannaya lebih besar. “Tidak begitu banyak bicara. Sama seperti para pahlawan super hanya muncul ketika dibutuhkan. Dan cake ini jauh lebih enak! Pak Ghaniy harus segera makan!”
Ghaniy tersenyum lalu menggeleng-geleng. Ia kemudian mencicip miliknya dan menyadari cake ini jauh lebih lembut dan ringat dari keempat saingannya, nyaris seperti bantal.
“Saya sedikit menyesal karena banyak makan cake yang sebelumnya.” Si dosen Lingkungan Bisnis itu menghela napas panjang. “Sayang sekali dengan bakat bicara seperti Cassie, dia malah berakhir di kitchen. Dia mungkin bisa menjadi pebisnis yang andal.”
Setelah selesai mencicip para dosen itu sibuk mengisi kertas skor mereka, begitu juga Ghaniy. Dipiringnya sekarang hanya tertinggal figur Falcon yang jelas sayang untuk dimakan. Mereka dengan baik hati bangkit dan mengumpulkan sendiri kertas skor mereka pada dosen Culinar Artisty, memberi sedikit komentar sebelum meninggalkan ballroom.
“Kelompok terakhir benar-benar memukau.” Ghaniy berkata sambil menyerahkan kertasnya. Satu tangannya menenteng piring kertas yang berisi figur Falcon-nya.
“Yah, sebagian besar dosen juga berkata seperti itu.” Ada nada bangga dalam suara dosen tersebut yang sama sekali tidak ditutup-tutupi. “Cassie juga berhasil dengan red velvet-nya. Dan tema Avangers benar-benar diluar perkiraan.”
Ghaniy mengedikkan bahu. “Akan ada calon pasangan pengantin yang memiliki selera yang seperti ini pada zaman sekarang.”
Si dosen Culinary Artesy itu mendesah panjang sambil memandangi kertas-kertas skor yang bertumpuk di tangannya. “Pak Ghaniy benar.”
Setelah itu Ghaniy juga ikut meninggalkan ballroom. Ia mendapati para mahasiwa yang mengikuti kontes tadi tengah berkumpul di koridor dengan kelompok mereka. Sebagian tampak b*******h dan bahagia, sebagian lagi mengerut saling berbisik. Jelas-jelas melirik dengki ke arah kelompok Cassie yang saling menepuk pundak.
Ghaniy mengambil cukup waktu untuk mengawasi gadis itu yang tidak berapa lama setelahnya melambaikan salam perpisahan. Gadis itu berlari kecil menuju arahnya.
“Dengan kekuatan seperti itu kamu juga mengumpulkan banyak musuh,” komentar Ghaniy dalam bisikan ketika gadis itu melewatinya.
Ia terpana ketika gadis itu malah berbalik badan. Sambil berjalan mundur, membuat gerakan seperti terbang dengan merentangkan kedua tangan. Tersenyum lebar lalu memunggunginya. Kali ini berlari lebih cepat. Membuat Ghaniy termangu...
***