“Aku masih tidak menyangka jika kamu benar-benar menyukai pernikahan.”
“Dan aku masih tidak menyangka setelah bertahun-tahun lamanya kau masih menanyaiku hal yang sama.”
Fiora Widyanata dan mantan koleganya itu saling pandang sebelum tertawa bersama. Keduanya tengah duduk mengawasi putra Fiora yang tengah sibuk bermain Street Basketball. Anak laki-laki itu harus melompat cukup tinggi agar bolanya bisa masuk ke keranjang.
“Karena saat itu kamu sangat fokus sebagai kepala bagian human resource mall ini dengan gaji yang lumayan sehingga tidak pernah terpikir olehku kamu akan berakhir menjadi ibu rumah tangga yang berdedikasi.”
Fiora memutar bola matanya. “Perkataanmu akan menyakiti sebagian besar orang. Jadi bersyukurlah kamu hanya mengatakannya padaku.”
Putranya lalu berbalik, menunjuk skornya. Keduanya bertepuk dan Fiora memberi jempol. Putranya tampak senang kembali menggesek kartunya dan bermain lagi.
Mantan koleganya itu kembali melanjutkan, “Kita sudah menghabiskan banyak usia ketika untuk berbakti kepada orangtua dan tidak berapa lama kemudian menghabiskan sisanya untuk kembali berbakti pada orang lain. Tidak punya waktu untuk dipakai untuk berbakti kepada diri sendiri...”
Kali ini Fiora mendengus. “Pandangan kita soal pernikahan sangat berbeda sehingga tidak pantas rasanya untuk berdebat.”
“Aku lajang dan baik-baik saja.”
“Dan aku menikah dan baik-baik saja juga. Ibu dari anak laki-laki yang tengah melompat-lompat memasukkan bola di sana itu.”
Keduanya kembali tertawa. Kemudian si mantan kolega itu menyampaikan maksudnya bertemu dengan Fiora. Ingin membahas masalah pekerjaan. Fiora menyampaikan pendapatnya dengan hati-hati. Mantan koleganya itu selalu meminta pendapatnya untuk urusan serius dan Fiora dengan senang hati membantu. Sudah seperti itu sejak sebelas tahun yang lalu.
“Aku tidak tahu bagaimana aku bisa hidup tanpamu.” Si mantan koleganya itu memberinya pandangan penuh terimkasih.
“Dan itu bukti jika semua orang membutuhkan bantuan orang lain, kan?” Fiora sambil mengawasi putranya berpindah ke permainan lain.
“Keduanya adalah kasus yang berbeda. Jangan samakan.”
Setelah putra Fiora puas bermain, baru keduanya berpisah dengan saling berpelukan. Fiora melanjutkan perjalanannya menuju supermarket bersama putranya yang masih kelewat antusias.
Hari ini adalah jadwal mereka belanja bulanan dan seperti biasa Fiora pergi setelah lebih dulu menjemput putranya dari sekolah. Ia harus selalu memperingatkan anaknya untuk berhati-hati karena bukan satu-dua kali anak itu nyaris menabrak orang asing.
Masih ada beberapa karyawan setiap stand yang masih mengenali Fiora, membuatnya mendapatkan senyum yang lebih lebar dari pelanggan yang lain. Walau melelahkan, berbelanja adalah hal yang paling Fiora sukai. Melihat jajaran buah-buahan berbagai warna, mengambil barang-barang keperluan rumah tangga yang ia kenali mereknya dari luar kepala. Mengembalikan diam-diam jajanan tidak sehat yang dilemparkan putranya ke dalam troli kembali ke rak.
Begitu ia tengah melihat-lihat freezer daging. Ia teringat Ghaniy. Suaminya itu senang makan daging walau tidak bisa sesering dulu. Ia sudah sampai diusia di mana makanan yang masuk ke tubuhnya sudah perlu diawasi. Untuk saat ini Fiora merasa suaminya butuh diberi sedikit hiburan. Jadi ia langsung menelpon Ghaniy. Butuh waktu lama untuk suaminya itu untuk mengangkat telepon.
“Maafkan aku. Apa aku mengganggumu?” tanya Fiora setelah ia mengucapkan salam.
“Aku baru saja selesai rapat dengan para rektor. Ada apa? Sesuatu terjadi?”
Fiora mendengus kecil. “Tidak ada yang mengkhawatirkan. Aku hanya ingin bertanya apakah kamu ingin makan sop daging malam ini.”
“Sop daging? Malam-malam?” Ada nada tidak terpacaya terselip di dalam suaranya.
Fiora mengedarkan pandangannya sebelum berbisik. “Kalau kamu takut kita bisa mencari cara untuk membakar kalori setelahnya.” Ia merasa wajahnya memanas setelah mengatakannya.
Jeda sejenak. “Sop daging sekali-sekali terdengar enak.”
Apakah itu sebuah penolakan? “Oke. Kalau begitu aku tunggu kamu di rumah.”
Setelah sambungan telepon terputus Fiora memandangi layar ponselnya dengan wallpaper bergambar foto keluarga kecil mereka cukup lama hingga ia berjengit ketika menyadari putranya telah memanggilnya beberapa kali.
“Ma, ada apa?” tanya putranya dengan tangannya yang masih mencubit lengan bawah kemejanya.
Fiora menggeleng saat itu juga. Mengelus kepala putranya sebelum memanggil sang pramuniaga untuk mengambilkan daging untuknya.
***
Cassie baru saja masuk ke ruang bakery dengan talam di tangan ketika ia mendapati Aksa sedang menelpon. Dari senyum penuh cinta yang terukir jelas di wajah pria itu, Cassie bisa menebak kalau ia tengah menelpon istrinya tercinta. Cassie tetap memandangi Aksa hingga pria itu menyadari kehadirannya kemudian berbalik badan memunggunginya..
Cassie berjalan ke arah wastafel yang penuh dengan perlengkapan memanggang mereka yang kotor dan menaruh talam yang ia pegang di sana. Sambil menggulung lengan baju kokinya ia melirik Aksa yang tengah menurunkan ponsel dari telinga. Gadis itu kemudian bertanya:
“Jadi apa menu makan malamu hari ini?”
“Rencananya dia ingin masak makanan kesukaan saya. Tapi belum bisa memulai karena anak kami rewel. Jadi dia menelpon untuk meminta bantuan.”
Cassie meraih spons cuci piring dan memberinya sabun sedikit. “Kalau begitu pulanglah sekarang. Lagipula tinggal setengah jam lagi jam kerjamu selesai.”
Aksa butuh waktu sebelum menjawab, “Apa tidak masalah?”
Cassie mengedikkan bahu. “Ini hari kerja. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Dan sebagai gantinya kamu harus mengundangku makan malam bersama kalian.”
Cassie selesai membilas dua bowl stainless baru Aksa menjawab, “Tentu saja. Saya akan memberitahu istri saya.”
“Kalau begitu share alamatmu ke w******p. Aku akan menyusul sebentar lagi.”
Cassie masih bekerja selama Aksa memberesi barang-barang pribadinya. Ia bahkan menjawab salam Aksa tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya. Suasana ruang bakery langsung hening begitu Aksa menutup pintu membuat Cassie menghela napas panjang.
Cassie masih belum bisa membuat pakaiannya tidak basah ketika mencuci peralatan memanggangnya. Sehingga ia merasa tidak butuh untuk memakai celemek. Ramiel bahkan sampai memberinya celemek plastik dan celemek itu masih terbungkus dan tidak pernah ia pakai.
Cassie bekerja dalam diam. Hnya suara suara stainless yang saling beradu ketika ia mengembalikan perlengkapannya kembali ke lemari atau ke tempatnya seperti biasa. Ia mengepel sisa-sisa air yang tumpah, mengelap meja stainless dari bekas-bekas tepung dan mentega. Memastikan tidak ada bahan yang tumpah agar tidak mengundang bintang-binatang pengerat datang. Tidak lupa ia membuang sampah di boks sampah yang disimpan belakang kafe.
Entah kenapa Cassie merasa ia tidak punya banyak tenaga yang tertinggal. Bahkan untuk menjawab pertanyaan basa-basi dari barista yang tengah bertugas.
“Pak Ramiel juga sudah pulang, Mbak,” kata pemuda itu ketika Cassie tidak kunjung menjawab pertanyaannya ketika gadis itu tengah sibuk membaca penunjuk jalan yang dikirimkan oleh Aksa. “...Dan tadi ada wanita yang datang menemui beliau.”
Mendengar kalimat terakhir itu membuat Cassie akhirnya mengangkat wajah dari ponselnya “Kenapa kamu merasa kalau aku butuh informasi itu?”
Nada suara Cassie sangat datar sehingga membuat pemuda itu mengerut. “Karena saya pikir Mbak dan Pak Ramiel dekat...”
Cassie menyeringai geli sambil memakai jaketnya. Memilih untuk tidak mengomentarinya lebih jauh. Karena ia tahu tidak ada untungnya untuk mengomentarinya lebih jauh. Ia kemudian mengucap salam dan pergi. Melewati beberapa pelanggan yang sedang sibuk di meja mereka masing-masing.
Cassie butuh berhenti beberapa kali untuk melihat penunjuk map di ponselnya. Ia sekarang tengah berada di dalam gang sempit yang penuh dengan bocah berlarian. Sempat mengira ia akan tersesat sebelum akhirnya ia menemukan alamat Aksa. Pria itu sambil menggendong putri kecilnya berdiri menunggu di depan teras sebuah rumah kecil yang pekarangannya hanya cukup untuk memarkirkan satu motor. Pria itu terlihat sudah bersih dan menggenakan pakaian santai Cassie butuh waktu untuk mencari di mana ia bisa memarkirkan motornya sendiri.
Suara bocah saling berteriak dan tertawa, penjual bakso dengan pentungannya, dan suara ibu-ibu yang meneriaki anaknya bercampur jadi satu sampai-sampai wajah Cassie mengernyit.
“Kenapa, Mbak? Heboh sekali, ya?” Aksa sambil mengulum senyum.
“Sangat berbeda dengan kompleks rumahku.” Cassie akhirnya tersenyum untuk pertama kalinya sore itu. “Dan siapa gadis manis ini?” tegur Cassie membuat balita itu menyembunyikan wajahnya di lekuk leher ayahnya.
Aksa menyebut nama putrinya dan Cassie mengulang nama itu hingga si empunya nama akhirnya melihat ke wajahnya. Cassie mengelus pipi tembam itu dengan telunjuknya. Perlahan si balita mulai tersenyum padanya.
Cassie lupa kapan terakhir kali ia berinteraksi dengan balita ataupun mendengar suara balita. Kompleks sekitar rumahnya sudah ditinggali oleh para pensiunan. Jadi bisa dibilang kompleks rumahnya sudah sepi begitu matahari menghilang di langit.
Aksa mengajaknya masuk ke rumah tanpa sofa itu. Jadi ia duduk di atas karpet di ntara mainan anak yang berserakan. Aksa menaruh putrinya di tengah-tengah mereka dan mulai bermain sendiri.
“Oh, ya. Tadi siang saya melihat Pak Ramiel bertemu dengan seorang wanita...”
Saat itu juga Cassie memutar bola matanya terang-terngan. “Kenapa semua orang mengira kalau aku butuh informasi tentang itu?
Aksa mengerjap, membuat Cassie menggeleng. “Barista yang bertugas tadi juga mengatakan hal yang sama. Dan tolong, respon seperti apa yang kalian inginkan dariku?”
“Tidak juga. Saya hanya merasa Mbak mungkin ingin mendengar tentang itu. Karena kalian cukup dekat...”
Cassie lebih tertarik untuk ikut bermain dengan balita yang ada di depannya saat ini. Ia kemudian mengelus kepala si balita sebelum berkata, “Kami mungkin cukup dekat, tapi bukan berarti aku ingin mengetahui semua tentangnya. Lagipula jika dia ingin aku tahu, dia akan memberitahuku sendiri.”
Hening di antara mereka Cassie pakai untuk mengedarkan pandangan. Rumah ini jelas rumah kontrakan. Cassie bisa mengetahuinya dari minimnya perabotan yang ada. Semuanya adalah barang yang jelas diperlukan dan bukan hanya pajangan. Sederhana, minimalis, dan tidak berlebihan.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam. Baik Cassie dan Aksa menoleh ke arah suara. Aksa bahkan langsung melompat berdiri. Tapi ia tercabik begitu menyadari putrinya menangis histeris akibat teriakan itu. Aksa tanpa sadar memberinya pandangan memelas ketika membawa putrinya dalam pelukan untuk menenangkan.
“Aku rasa teriakan tadi bukan sesuatu yang serius. Biarkan aku yang melihat apa yang terjadi di dalam sana.” Cassie kemudian bangkit berdiri dengan Aksa yang memberinya petunjuk ke mana ia harus pergi.
Begitu menyadari apa yang terjadi, Cassie menghela napas lega. Istri Aksa berbalik ke arahnya. Sisa-sisa ngeri di wajahnya masih ada ketika ia mengangguk sekali sebagai salam kepada Cassie, yang dibalas gadis itu dengan gestur yang sama.
Cassie mendekat dengan matanya yang masih memandangi istri Aksa yang sekarang tampak mengerut. Wanita itu kemudian membiarkan Cassie melihat sendiri penyebab wanita itu bisa berteriak sekencang itu.
Wanita itu ternyata sedang memetik tangkai cabai merah keriting. Cabai-cabai tersebut mengilat karena basah. Namun sudah pasti penyebab ia berteriak karena ulat-ulat cabai bewarna putih yang menggeliat dibalik cabai-cabai di dalam baskom saringan itu.
Setelah memandangi ulat-ulat itu cukup lama, Cassie mengalihkan pandangannya pada wajah istri Aksa. Meneliti ekspresi wanita itu dalam-dalam hingga membuat yang ia pandangi mengerutkan dahi.
“Jadi kamu benar-benar takut, ya?” ujar Cassie lebih kepada dirinya sendiri. Tanpa kata mengambil salah satu ulat putih menggeliat itu dengan telunjuk. Membiarkan ulat itu bergerak-gerak di jemarinya sambil ia mengangkatnya sejajar mereka, di tengah-tengah mereka. Istri Aksa berjengit menjauh saat itu juga. Menatap ngeri Cassie dan ulat itu, bergantian.
Cassie mendengus. Tanpa kata ia menaruh telunjuknya di bawa keran wastafel, menghidupkan airnya. Mengawasi ulat itu menghilang dari balik saringan wastafel...
***