8

1209 Kata
Ramiel Yusmar sedang sibuk bertukar pesan dengan Nadia melalui w******p sambil menunggu kedua orangtuanya bersiap-siap ke acara pernikahan salah satu sepupunya itu. Ia tengah berdiri bersandar di pintu mobil ketika sebuah panggilan telepon masuk. “Hello, Aksa,” ucapnya ceria sebagai salam pada si penelpon. “Karena tadi kamu tidak mengangkat teleponku aku asumsikan kalian san gat sibuk sekarang.” “Selamat siang, Pak Ramiel. Iya, Pak. Kami cukup sibuk sejak pagi jadi maafkan saya karena tidak bisa mengangkat telepon  Bapak tadi.” “Tidak masalah. Aku hanya ingin mengecek. Karena mungkin aku tidak akan bisa datang membantu kalian hari ini...” Ramiel merasakan seseorang menepuk pundaknya. Ketika ia berbalik, ia mendapati Ibu Yusmar menggenakan kebaya berwarna cokelat yang sangat cantik. Saat itu juga Ramiel mengacungkan jempol. Membuat Ibu Yusmar mencubit pipinya lembut.”..Karena aku ada urusan keluarga. Sampaikan salamku pada semuanya.” Ketika Ramiel mengucapkan salam pada Aksa, Ayah Yusmar muncul dengan kemeja batik berwarna senada dengan istrinya. Ramiel dan ayahnya hanya bertukar pandang sebelum saling membuang pandangan. Setelah Ibu Yusmar memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Ramiel duduk di kursi pengemudi dengan Ayah Yusmar di sebelahnya.   Mereka melakukan  perjalanan selama hampir satu jam itu dalam diam. Tapi Ramiel harus menahan diri untuk tidak bereaksi setiap kali ponselnya sesekali berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Ia merasakan tatapan penuh selidik yang ditujukan dari dua sisi itu menusuk-nusuknya. Namun untungnya kedua memilih untuk tetap diam hingga mereka sampai di gedung acara pernikahan. Ibu Yusmar menyempatkan diri untuk memperpaiki kerah kemeja batik Ramiel dan mengibas-ngibas pundak suaminya dari entah apa sebelum ia mengamit lengan suaminya dan mereka berjalan berdampingan dengan Ramiel mengikuti di belakang. Ramiel mengenali beberapa wajah familiar sehingga ia membungkuk memberi salam kepada yang wajah yang lebih tua atau mengangguk sekali pada wajah yang lebih muda. Ia memilih untuk tidak ikut membubuhkan namanya di buku tamu. Ketika ketiga memasuki gedung mereka disambut dengan dinginnya pendingin ruangan dan nyanyian dari pengeras suara. Ramiel harus sabar untuk berhenti setiap kali kedua orangtuanya ditegur oleh para tamu undangan lain. Ia akan mencium tangan pada orang-orang tua yang mengenali ia siapa. Ramiel hanya tersenyum setiap kali ia mendengar: “Tidak terasa sudah besar, ya?” “Umurnya berapa?” “Mudah-mudahan habis diri sini Ramiel bisa langsung menyusul...” Kedua tangan Ramiel sudah berada di dalam saku celana. Kakinya mulai sesekali berjinjit-jinjit. Ia lebih memilih menjatuhkan pandangannya pada buffet makanan yang tengah dihidangkan. Ia mulai tidak sabar karena kedua orangtuanya sering sekali singgah untuk bertegur sapa dengan tamu undangan lain. (Ia mengenali beberapa tante, om, dan sepupu.).Sesekali ibunya akan menariknya untuk mendekat, memaksanya untuk mengucap salam. Ramiel merasa wajahnya terasa kaku karena tersenyum terus menerus. Ramiel akhirnya bisa menarik napas lega begitu kedua orangtuanya memutuskan sudah waktunya untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai dan kedua orangtuanya di panggung. Sekali lagi ia berusaha mengacuhkan tatapan “mengasihani” yang diberikan kepada orangtua mempelai wanita ketika ia bersalaman dengan keduanya. “Mas Ramiel!” sapa Si Mempelai Wanita, heboh. Mereka fist-bumb bersama. Ini kali pertama Ramiel tersenyum tanpa dipaksakan. “Aku lebih dulu menikah dari, Mas. Makanya jangan terlalu lama bertualang!” Ramiel melirik kedua orangtuanya yang sedang menyalami kedua orangtua mempelai pria ketika ia sendiri sedang menyalami si mempelai pria yang lirih mengucapkan terimakasih padanya. “Aku tidak akan membantah atau mengiyakan pernyataanmu itu. Tapi semoga bahagia selalu, ya?” Si Mempelai Wanita mencibir, membuat Ramiel tertawa. Keluarga besar Ramiel memang sangat besar. Ia tadi bahkan tidak mengenali sebagian besar orang tua yang dikenal oleh kedua orangtuanya. Jadi begitu kedua orangtuanya kembali terlibat percakapan setelah turun dari panggung pengantin, Ramiel memilih langsung menuju buffet dessert. Mengambil beberapa potong semangka yang sudah dipotong kotak-kotak kemudian keluar dari gedung menuju gazebo yang penuh dengan para perokok yang saling mengobrol.           Ia mengucap syukur dalam hati karena menemukan salah satu gazebo yang kosong dan duduk di sana. Asap rokok membuat udara cukup pekat. Suara dengung percakapan dan tawa dilatari oleh nyanyian yang terdengar lebih lembut di sini. Ramiel duduk membelakangi para perokok, megunyah sepotong semangka sebelum mengeluarkan ponselnya. Ia melanjutkan percakapannya bersama Nadia yang sempat tertunda. Mengetik kata maaf karena membalas lebih lama... “Mas Ramiel.” Refleks, pria itu mematikan layar ponselnya sebelum mendongak ke asal suara. Seorang gadis dengan rambut disanggul ketat di tengkuk berdiri di sampingnya dengan sikap ingin tahu. Ramiel mengerutkan dahi mencoba mengingat siapa ia karena ia memiliki wajah yang terasa asing, namun familiar. Tapi ia masih tidak berhasil mengingat namanya... Namun gadis itu tampak tidak tersinggung. Berbaik hati berkata, “Kita memang belum pernah bertemu sebelumnya. Nama saya Yuri. Saya sepupu dari si Mempelai Wanita dari keluarga mamanya. Sedangkan Mas Ramiel sepupu dari keluarga papanya, kan?” Ramiel menggosok-gosok tengkuk. “Ah, iya. Ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu -  Yuri. Ia tampak manis dengan make-up no make-up dan kebaya putih pada tubuhnya yang mungil. Gadis itu tampak seperti... Gadis baik-baik. “Saya pernah melihat Mas Ramiel dari foto keluarga Si Mempelai Wanita. Membuat saya jadi penasaran dengan Mas...” “...Berapa umurmu?” Gadis itu terenyak. “Maaf?” “Umurmu.” Ramiel bersandar di punggung kursi untuk meneliti gadis itu lebih baik. “Kamu tampak masih sangat muda.” Secara mengejutkan gadis itu terkekeh. “Terimakasih atas pujiannya. Tapi entah definisi muda Mas Ramiel seperti apa. Tapi seingat saya, saya sudah 28 tahun.” Ramiel memicingkan mata. “Pekerjaan?” Gadis itu membalas dengan memutar mata terang-terangan. “Asisten dosen di sebuah universitas negeri.” Mereka masih saling pandang dengan tajam sebelum Ramiel mengangguk-angguk. “Oke. Aku hanya tidak ingin terlibat dengan gadis di bawah umur. Itu saja.” Gadis itu mengangkat kedua telapak tangannya di depan tubuh. “Dan saya tidak akan bertanya lebih jauh.”  Ramiel terkekeh kecil dan gadis itu tampak masih tidak ingin beranjak. Jadi ia mempersilahkan gadis itu duduk di kursinya dan ia berpindah ke kursi yang lain.  Dari cara ia bergerak, Ramiel bisa mengetahui kalau gadis itu memang berpendidikan tinggi. Bahkan dari bagaimana cara gadis itu merapikan roknya sebelum duduk. Oh, dari mana Ramiel tahu? Tidak perlu dijelaskan panjang lebar. “Jadi bagaimana rasanya kembali ke kampung halaman setelah bertahun-tahun di ibukota?” tanya gadis itu setelah Ramiel selesai mengunyah potongan semangka keduanya. “Aneh,” jawab Ramiel sepenuhnya jujur. “Aku sudah tidak terbiasa dengan betapa lambatnya kehidupan di sini. Karena semua orang di ibukota terlihat selalu dikejar dengan sesuatu.” “Mas benar. Mungkin karena sebagian orang di sini tidak pernah merasakan bagaimana rasanya terjebak macet selama berjam-jam.” Gadis itu menyeringai sambil menunduk memandangi kedua tangannya bertaut di pangkuan. Pernyataan itu membuat Ramiel tertarik. “Apa? Kamu terdengar seperti tidak menyukai kota ini.” Gadis itu dengan perlahan mengangkat kepalanya, tapi ia memilih untuk tidak menatap Ramiel ketika menjelaskan, “Saya tidak pernah tinggal di tempat lain selain kota ini. Membuat saya penasaran apa yang sedang terjadi di luar sana. Apa sama seperti yang diberitakan di TV? Apa masih banyak hal yang tidak saya ketahui.” Mendengar itu membuat Ramiel semakin gencar ingin menggoda. “Oh, tentu saja. Selalu saja ada hal menarik untuk diketahui. Hal baik maupun tidak. Tergantung dari sudut pandang mana dan untuk apa pengetahuan itu nantinya. Terlalu banyak keingintahuan bisa menjebloskan seseorang ke dalam masalah. Kamu tahu itu, kan? Ibu Asisten Dosen?”   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN