Ghaniy menurunkan proposal dari hadapannya untuk menatap satu persatu mahasiswa angkatan 2013 itu tepat di mata.
“So, this is you guys best effort?” Ekspresinya mengernyit sambil mengayunkan proposal di tangannya itu ke samping tubuh. Ghaniy bersandar ringan di depan mejanya seperti setiap kali mereka membahas even yang akan mereka laksanakan. Dan kali ini ia bicara sambil sesekali mencuri pandang pada Cassie yang masih dudut di baris paling belakang. Tampak tidak begitu tertarik.
“Yes, sir,” jawab Sang Ketua, namun dengan suara yang sangat kecil.
Tiba-tiba Ghaniy tertawa. “Kenapa tegang begitu? Ini sudah bagus!” Ghaniy bahkan tidak sadar jika ia tengah “mengerjai” mahasisanya begitu menyadari banyak di antara mereka yang baru saja menghela napas lega. “Tapi yang menjadi soal sekarang adalah daftar calon sponsor kalian. Saya mengapresiasi cita-cita kalian yang tinggi. Tapi ini bahkan tidak pernah dipikirkan oleh senior-senior kalian yang lain.”
Sang Ketua mengedikkan bahunya sekali. “Bukan berarti itu mustahil, kan? Bukannya Pak Ghaniy menginginkan sesuatu yang berbeda?”
“Optimis bagus, realistis? Belum tentu.”
Semua orang tersentak dan berbalik ke asal suara. Itu Cassie Ardana mengomentari tanpa sadar kalau ia berbicara terlalu keras ketika seharusnya kalimat itu untuk dirinya sendiri. Tetangga duduknya menyenggol lengannya agar ia menyadari apa yang tengah terjadi. Gadis itu tampak terkejut melihat banyak pasang mata yang tengah menatapnya sengit.
Ghaniy menyadari. Sudah pasti gadis itu telah mengetahui isi proposal, tapi tidak menyetujui banyak hal di dalamnya.
“Oke, kalau begitu. Saya akan me-rolling kembali saran anggota tim yang diam-diam diselipkan oleh Pak Ketua kalian ini.” Ghaniy melambaikan sebuah kertas yang terselup dalam proposal di depan wajahnya. “Thats foul play, Pak Ketua. Tapi untuk kali ini saya akan memaafkan kalian. Jujur saja saya telah mencaritahu kepribadian kalian dari dosen lain. Jadi secara garis besar saya tahu mahasiswa macam apa kalian ini.”
Sekali lagi Ghaniy mengedarkan pandangan untuk menegaskan maksudnya.
Setelah itu ia mengeluarkan secarik kertas dalam buku jurnalnya. Memanggil nama mahasiswi yang mereka tunjuk sebagai sekretaris untuk menuliskannya di papan. Ghaniy duduk di kursinya, pura-pura sibuk membaca buku walau telinganya awas mendengarkan setiap percakapan setiap kali sebuah nama tertulis di papan.
Sudah bisa ditebak ia menerima banyak penolakan, namun hanya bisa dilakukan dalam bisik-bisik lengkap dengan wajah mengerut tidak suka. Ia mungkin meruntuhkan sesuatu yang sebelumnya sudah mereka bangun lebih dulu. Setelah sang sekretaris selesai dengan tugasnya dan telah mengembalikan spidol di meja, Ghaniy kembali berdiri. Tidak ada sikap bersahabat yang ia tunjukkan saat ini. Melainkan sikap penuh kuasa yang langsung membuat kelas itu hening.
“Seperti yang kalian lihat tidak banyak yang saya ubah. Hanya menyelipkan beberapa nama lain di sana. Walau sebenci apapun kalian dengan kalimat ini tapi dengarkanlah, “terkadang orangtua mengetahui sesuatu yang kalian tidak ketahui.””
Si Ketua tampak ingin melempar sesuatu padanya. Namun Ghaniy hanya memberinya senyum dan meminta kelas bubar saat itu juga. Gumam marah masih terdengar ketika mereka mulai meninggalkan kelas. Ghaniy sengaja berlama-lama membereskan barang-baragnya karena ia tahu akan ada seseorang yang akan tinggal untuk meminta penjelasan langsung padanya.
Dan benar saja...
“Kenapa Pak Ghaniy memasukkan saya pada tim promosi?” Cassie dengan napas terengah dan sikap tubuh tegang begitu mereka hanya tinggal berdua dalam kelas.
“Karena saya tahu kalau kamu mampu.” Ghaniy sambil memasukkan laptop ke tas.
“Para maniak anak manajemen perhotelan dan bisnis pariwisata. Terutama geng si Ketua akan melumat saya!”
Ghaniy sengaja berlama-lama menarik resleting kancing tasnya sebelum menanggapi dengan santai, “Kamu tinggal membalas mereka sama seperti dengan yang kau lakukan dengan wedding cake hari itu.”
Ghaniy mendapati gadis itu tengah bertolak pinggang ketika ia menatapnya. Mata pria itu berpindah ke tangan kemudian wajahnya sehingga membuat gadis itu bersemu. Dengan cepat ia melepas tangannya dari pinggang. Berpindah memijat pelipisnya cepat.
“Kamu tahu isi proposal ini, kan? Sudah pasti kamu akan menjelaskannya dengan baik.” Ghaniy lebih lembut sekarang.
Cassie mendengus. “Saya yang memperbaiki diksi proposal itu sebelum diserahkan kepada Pak Ghaniy. Saya tidak sengaja melihat Si Sekretaris mengerjakannya di kantin beberapa hari lalu...”
Ghaniy tampak senang. “Lebih baik lagi!” Kali ini Ghaniy-lah yang berkacak pinggang. “Dengan kemampuan seperti itu kenapa pula kamu memilih untuk berakhir di kitchen?”
Hening di antara mereka yang tiba-tiba membuat Ghaniy tidak nyaman. Gadis itu menatapnya dengan tajam. Seakan-akan sedang menimbang apakah Ghaniy mempunyai motif lain di balik pertanyaan itu. Selain keingintahuan murni seorang dosen dan mahasiswinya.
“Karena saya tidak menyukai berinteraksi dengan orang lain terlalu lama.”
“Kenapa?” tanya Ghaniy dengan nada menghilang diakhir.
“Karena mereka penuh kepura-puraan, terlalu banyak teka-teki. Jika semua orang bersikap layaknya ragi yang jika berbusa jika dimasukkan ke dalam air panas. Kita jadi tahu apa yang harus dilakukan padanya setelahnya.”
Ghaniy saat itu juga langsung tertawa. “Orang hidup juga jika kamu masukkan ke air panas. Tentu saja mereka akan berbusa. Kamu tahu, itu kan?”
Melihat bagaimana ekspresi Cassie setelahnya, membuat Ghaniy menyadari jika gadis itu tidak memikirkan analoginya sampai sejauh itu. Namun gadis itu hanya mengedikkan bahu dan menaggapi santai, “Good point.”
Ghaniy hanya bisa menggeleng-geleng tidak percaya. “Oke, saya tunggu progres selanjutnya dari kalian. Dan saya berharap banyak sama kamu...”
***
Cassie Ardana yang berusia 25 tahun sekarang tengah menata mini pizza di rak display ketika ia menyadari betul ia tengah dipandangi oleh seseorang dari balik bar station. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menghiraukan perhatian itu dengan bekerja selambat mungkin agar siapapun itu merasa tidak sabar dan pergi meninggalkannya.
Dan tidak berapa lama kemudian usahanya berhasil. Seseorang itu pergi, naik ke lantai dua menuju ruangannya.
Begitu sosoknya menghilang di tangga. Cassie langsung bergerak menjauhi rak display dan berniat uintuk kembali ke ruang bakery. Ketika ia meninggalkan ruang itu tadi, Aksa tengah menghias batch kedua mini pizza dengan saos tomat dan mayonais. Namun langkahnya berhenti ketika ia mendengar seseorang berkata:
“Mbak Cassie, apa Mbak sibuk?”
Itu barista shift pagi mereka dengan tangan terpilin di depan tubuh. Pemuda itu tampak gelisah, membuat Cassie mengerutkan dahi namun menyahuti panggilan itu dengan lembut dan bertanya apa yang ingin ia tanyakan.
Ragu-ragu ia mulai menceritakan tentang partner shift-nya yang merangkap kasir dan waitres yang sering sekali datang terlambat hingga lebih dari sejam setiap paginya. Cassie terkejut mendengar berita itu karena ia sendiri memang tidak begitu memperhatikan karena setiap kali ia datang, ia sudah langsung berkutat di ruang bakery bersama Aksa hingga nyaris tengah hari.
“Jika satu-dua hari karena alasan yang jelas. Saya tidak akan keberatan. Tapi kita sudah buka selama ini dan ia masih tidak ada perubahan...”
Cassie mencubit pangkal hidungnya. Sekarang sang waitres yang dimaksud tengah sibuk memberesi meja yang baru saja ditinggal oleh salah satu pelanggan.
“Apa kamu sudah memberitahu Mas Ramiel soal ini?”
Cassie tidak terkejut ketika mendapati sang barista menggeleng. Ekspresinya terlihat tertekan.
“Oke, kalau begitu aku akan coba sampaikan pada Mas Ramiel.”
Cassie mersakan kepalanya mendadak pening begitu ia mendengar berita itu. Ia bahkan berjengit mendapati seseorang sekali lagi memanggil namanya dari balik pintu ruang bakery. Dan itu bukan suara Aksa.
“Cassie, kamu tahu. Ada sesuatu yang hebat terjadi padaku akhir pekan ini...”
Ada yang bilang orang menyebalkan memang berumur panjang.
Cassie menutup pintu di belakangnya dan bersandar di sana. Ia tahu ia harus tenang. Makanya ia tetap berada di sana, bahkan ketika Ramiel mencoba mendekat dengan dahi mengerut.
“Ada apa dengan ekspresimu itu?”
Pertanyaan itu membuat Cassie menghela napas panjang. “Kapan terakhir kali kita briefing, Pak Manajer?”
Cassie menatap tajam Ramiel yang sekarang malah tampak tersinggung. “Memangnya kenapa? Toh, semua baik-baik saja...”
Cassie memotong pernyataan itu cepat dengan menggeleng-geleng. “Tidak. Briefing paling tidak dilakukan dua pekan sekali. Agar semua kegiatan pekerjaan terpantau dan tanpa ada konflik. Tugas dasar seorang manajer.”
Cassie dan Ramiel saling pandang dan tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk mengalah. “Karena ini masih jam kerja coba cari tahu apa yang terjadi di balik bar sekarang. Sebelum konflik melebar menjadi sesuatu yang lain...”
***