Sepanjang perjalanan pulang, Raisa sibuk mengomel tidak jelas. Semua masalah dibawa-bawa, dari masalah yang seharusnya tidak Radit tahu—seperti Raisa kepergok ayah jalan bareng dengan Ardan, sampai hal tidak penting seperti Raisa jadi suka drama Korea dadakan. Kuping Radit panas, namun memilih untuk diam. Apalagi, tumben-tumbenan Raisa mau duduk di depan. Biasanya saja sudah duduk di belakang—bagaikan supir dan majikan.
Karena hal itu, Radit sering sekali memanggil Raisa dengan panggilan 'Tuan putri'. Bunda juga sudah berpesan kepada Radit untuk tidak banyak bicara atau menyangkal semua omelah Raisa di mobil. Untuk kali ini, Radit menurut.
Tidak lama kemudian mereka telah sampai di depan rumah. Pak satpam membukakan gerbang, lalu Radit memasukkan mobil ke halaman. Raisa menatap dua mobil asing yang terparkir di depan rumah. Keningnya berkerut, ingin bertanya pada Radit tapi tidak jadi. Jika bertanya pun pasti akan Radit abaikan seperti selama perjalanan tadi.
"Ada apaan sih? Papa bawa klien ke rumah? Keluarga jauh ada yang datang?" Tanya Raisa setelah Radit keluar dari mobil.
"Intinya, aku suruh jemput Kakak doang. Kalau urusan menjelaskan siapa yang datang, mendingan Kak Raisa masuk aja." Ucap Radit yang hendak berjalan duluan.
"Jangan tinggalin," ketus Raisa yang buru-buru keluar dari mobil.
Tidak ada pertengkaran seperti biasa, tidak ada dorong-dorongan atau berebut masuk pintu duluan, tidak ada acara teriak-teriak dan saling senggol. Keduanya berjalan normal seperti adik-kakak pada umumnya. Sesekali Raisa menggandeng lengan Radit karena khawatir. Entah apa yang Raisa khawatirkan, namun jantungnya berdetak dua kali lipat dari biasanya. Seperti ada hal yang besar akan segera terjadi.
"Assalamualaikum," ucap Raisa dan Radit secara bersamaan.
Semua orang yang berada di ruang tamu tampak melihat ke arah pintu di mana Raisa dan Radit baru saja masuk.
"Walaikumsalam," jawab semua orang dengan serentak.
Raisa terpaku pada seorang laki-laki yang duduk di sofa yang berhadapan dengan ayah. Mata mereka bertemu tatap dan laki-laki itu memutuskan kontak mata mereka dengan sebuah senyum segaris. Tiba-tiba, Raisa ingat apa yang laki-laki itu katakan padanya waktu itu. Benar-benar sudah gila!
Raisa kembali menatap ayah yang sudah menginstruksikan untuk segera menyalami beberapa orang yang ada di sana. Radit pun mengikuti sang kakak dari belakang. Raisa berhenti pada seorang laki-laki yang beberapa hari ini mengganggu hidupnya, lalu menatapnya tajam dan setelah puas mengancam dengan tatapannya, Raisa melepaskan genggaman tangannya.
Raisa mengambil duduk disamping bunda, diikuti Radit yang juga duduk disampingnya.
"Nah, Nak Garuda, ini Raisa-nya sudah datang. Monggo, kalau mau dijelaskan dulu alasannya datang ke rumah." Ucap ayah dengan intonasi yang tegas namun tidak terdengar galak.
Garuda—laki-laki itu bahkan tidak gentar sama sekali. Bahkan, Garuda sampai berjalan sejauh ini. Berjuang untuk mendapatkan Raisa dengan datang ke rumah perempuan itu. Melakukan apa yang pernah dia katakan sebelumnya kepada Raisa.
Kali ini, Garuda mengenakan atasan batik dengan bawahan celana bahan warna hitam. Potongan rambutnya juga baru, aroma parfumnya pun tercium begitu segar di hidup Raisa. Entah mengapa, dadanya bergetar hebat. Seperti ada perasaan aneh ketika bertemu tatap dengan Garuda sekali lagi. Atau mungkin karena Garuda tidak menyapanya dengan riang seperti biasanya.
"Jadi, tujuan kedatangan saya dan Kakak saya ke rumah Bapak dan Ibu Harto, yang pertama untuk silaturahmi." Ucap Garuda dengan intonasi yang jelas. "Yang kedua, untuk melamar putri Bapak dan Ibu Harto—Raisa, untuk menjadi istri saya." Sambungnya.
Jangan tanyakan bagaimana wajah kaget Raisa ketika Garuda melamar dirinya secara terang-terangan di depan ayahnya. Jika orang lain akan mengatakan hal tersebut romantis atau apalah itu, Raisa sama sekali tidak menganggap hal yang Garuda lakukan luar biasa. Raisa terganggu, bahkan ingin keluar dari suasana yang menyebalkan ini.
Ayah menatap bunda yang seakan setuju dengan Garuda. Walaupun mereka baru bertemu sekali, tetapi Garuda membawa image yang baik untuk keluarga mereka. Namun, belum sempat ayah menjawab, Raisa sudah berdiri. Perempuan itu tidak tahan dengan suasana ini.
"Raisa!" Tandas ayah dengan wajah galak. Kali ini Raisa sama sekali tidak menggubris semua tatapan memohon dari ayah maupun bunda agar Raisa mau duduk kembali.
"Sebelumnya saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya untuk Garuda dan semua orang yang berada di sini. Tapi saya belum mengenal Garuda, bahkan kami bertemu baru beberapa kali. Garuda sendiri sudah membuat image-nya jelek di depan saya sejak awal kami bertemu. Lalu bagaimana bisa saya yakin dengan laki-laki yang tidak saya kenal dan tidak saya cintai. Mana mungkin ada orang yang langsung mengajak saya menikah padahal baru satu jam melihat saya." Ucap Raisa dengan wajah kesal.
Bunda memegang tangan Raisa dan berusaha untuk membuat putrinya itu menahan amarahnya di depan semua orang. Namun, tampaknya tidak berhasil.
"Raisa, kamu duduk dulu. Dengarkan apa yang Nak Garuda sampaikan dan baru kamu memberikan tanggapan. Kamu enggak sopan! Jangan bikin malu Ayah sama Bunda dan diri kamu sendiri. Kamu sudah dewasa, jangan menggunakan emosi dan ego untuk menyelesaikan masalah!" Ucap ayah kepada Raisa.
Raisa menatap tajam Garuda lalu pergi dari ruang tamu tanpa bicara apapun. Bunda hendak beranjak dari duduknya, namun Radit menghalau.
"Biar Radit yang susul Kakak, Bunda di sini aja. Kasihan Kak Garuda sama keluarganya," ucap Radit yang sudah beranjak dari duduknya untuk menyusul Raisa.
Jujur, ayah dan bunda merasa sangat malu dengan tingkah Raisa. Namun, dengan besar hati, ayah meminta maaf kepada Garuda yang tampak tenang di kursinya. Bahkan tidak ada wajah tersakiti sama sekali. Hanya ada senyuman kalem yang dibalut dengan sikap menerima. Membuat ayah dan bunda semakin suka.
"Maafkan Raisa ya Nak Garuda..." Ucap ayah tidak enak.
Fino—kakak ipar Garuda—tampak sedikit kecewa. Namun bisa mengerti dengan keadaan yang terjadi. Tangan kirinya menepuk pelan bahu Garuda untuk memberikan kekuatan.
"Mungkin, Raisa sedikit kaget karena kami tiba-tiba datang, Pak. Garuda selalu bercerita kepada saya tentang pertemuannya dengan Raisa, ketika Raisa berada di cafe. Katanya, Garuda sudah suka dengan Raisa sejak awal melihat putri Bapak." Cerita Fino kepada ayah.
Garuda tersenyum tipis, "waktu itu, saya langsung bilang kepada Raisa tentang pernikahan. Mungkin Raisa merasa sangat terganggu dengan perkataan saya."
Ayah menghela napas panjang, lalu tersenyum. Sebenarnya sudah timbul rasa suka dan tertarik kepada Garuda, namun ayah belum bisa mengambil langkah. Apalagi ketika melihat sikap Raisa yang mengecewakan.
"Baik Nak Garuda, Bapak sebenarnya senang dengan kehadiran Nak Garuda di rumah dan terima kasih sudah menunjukkan keseriusan kepada putri Bapak. Karena mungkin Raisa masih syok, Bapak akan bertanya dulu kepada Raisa bagaimana baiknya. Jika memang Nak Garuda sabar, Bapak yakin jika Raisa akan luluh juga. Bapak dan Ibu, sudah merestui Nak Garuda bersama dengan Raisa." Ucap ayah dengan nada yang sangat sopan.
Garuda mengangguk, "saya akan menunggu Raisa mengatakan iya. Saya tidak akan menyerah karena saya benar-benar jatuh cinta dengan Raisa, Pak. Mendengar Bapak dan Ibu merestui saya saja, saya merasa sudah terbantu sekali."
Raisa menghapus air matanya, lalu kembali ke kamar. Radit duduk di pinggir ranjang milik kakaknya, dia bingung harus melakukan apa. Tapi akhirnya mendekat ke arah Raisa yang sedang berdiri di dekat jendela kamarnya.
"Kak," panggil Radit yang disambut dengan wajah kesal Raisa.
"Kenapa enggak bilang sih kalau cowok itu datang kesini? Kamu 'kan tahu kalau aku enggak suka sama dia." Marah Raisa dengan wajah yang mengenaskan.
Radit diam, membiarkan Raisa mengeluarkan semua amarahnya. Perempuan itu benar-benar kesal karena Garuda benar-benar datang melamar. Padahal Garuda sudah tahu jika Raisa tidak suka padanya.
"Kak," panggil Radit yang tidak ditanggapi Raisa. "Pernah enggak, Kakak mikir, kalau sebenarnya ini rencana Tuhan yang terbaik? Kak Ardan ninggalin Kakak dan secara bersamaan, datang laki-laki serius yang mau menikah sama Kak Raisa. Coba Kakak berpikir dari segi yang positif, jaman sekarang ada laki-laki yang mau langsung mengajak menikah. Itu langka banget," ucap Radit dengan pikiran dewasa.
Raisa menghela napas kasar, "kamu masih kecil, mana tahu perasaanku kaya gimana. Kamu selalu gitu, sok tahu, sok pengertian. Memangnya apa sih yang bikin kalian semua setuju sama dia? Udah dikasih apa aja sampai kalian semua suka sama cowok itu."
"Radit itu enggak salah, Ra. Jangan marahin Radit!" Kali ini bunda angkat bicara. Entah sejak kapan bunda berada di depan kamarnya.
"Enggak pa-pa Bunda, biar Kak Raisa marah sesukanya. Lagipula memang Kak Raisa yang salah kok, selalu aja mentingin egonya. Enggak pernah bersikap dewasa dan selalu menyikapi masalah dengan berapi-api. Kalau enggak suka sama sesuatu langsung omongannya kasar, enggak pernah disaring. Mikir enggak sih, kalau apa yang diomongin itu menyakiti orang lain. Mungkin, alasan Kak Ardan ninggalin Kakak itu karena ini. Enggak bisa mengontrol emosi, suka seenaknya sendiri!" Tandas Radit kesal lalu keluar dari kamar Raisa.
Bunda hanya berdiri di depan pintu, menatap kepergian Radit ke kamar sebelah—kamarnya. Bunda melihat ayah yang memberikan kode untuk kembali ke kamar. Namun, bunda menggeleng.
Bunda melihat Raisa menangis, lalu kembali duduk di pinggir ranjang. Bunda mengelus kepala Raisa pelan dan tersenyum menatap putrinya itu.
"Raisa bikin malu ya, Bunda?" Tanya Raisa sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya.
Bunda menghela napas panjang lalu duduk disampingnya—menyelipkan anak rambut yang menghalangi mata Raisa ke telinga.
"Lain kali, kalau ada yang datang dan sedang bicara, jangan seperti ini lagi. Bunda tahu kamu marah, kamu kesal, kamu merasa enggak mengenal atau memang enggak jatuh cinta. Tapi, kamu juga enggak boleh kaya gitu. Kasihan 'kan, sudah jauh-jauh datang untuk bertemu kamu, tapi sikap kamu tidak baik. Menolak boleh, tetapi dengan cara yang baik. Kamu enggak kasihan sama Ayah? Ayah malu banget," ucap bunda menasehati.
Raisa mengangguk, "Raisa cuma enggak suka sama dia, Bunda. Raisa enggak siap untuk menikah, apalagi dalam waktu dekat. Bagaimana Raisa bisa suka sama orang lain, sedangkan Raisa masih mencintai Ardan."
"Kamu 'kan tahu, Ardan sudah punya istri. Kamu enggak boleh suka sama suami orang. Kalau bunda boleh kasih saran dan kamu mau menerima saran dari bunda, coba untuk membuka hati buat Garuda. Bunda lihat, dia anak yang baik." Ucap bunda yang membela Garuda kembali.
Raisa tampak tidak suka, "kalau Bunda cuma mau minta Raisa suka sama Garuda, mendingan Bunda enggak usah nasehatin Raisa. Bunda enggak tahu rasanya."
Bunda beranjak dari duduknya lalu mengelus kepala Raisa kembali.
"Bunda memang tidak tahu apa yang Raisa rasakan. Tapi feeling orang tua selalu benar. Bunda mau kamu pikirkan tentang lamaran Garuda. Bunda harap, kamu bisa memberikan keputusan yang tepat."
Bunda keluar dari kamar Raisa, menutup pintunya pelan dan meninggalkan Raisa dalam kebingungan.
###