“Bagaimana kalau kita cari kontrakan saja, Mas. kita ngontrak. Aku—“
Yuda terus berusaha meyakinkan Fika, jika keputusan mereka untuk menempati rumah peninggalan kakeknya yang telah lama dibiarkan kosong itu tepat. Daripada menggunakan uang untuk mengontrak lebih baik digunakan untuk memperbaiki rumah. Setelahnya mereka bisa bebas melakukan apa pun di rumah tersebut atau jika berpikiran untuk jangka panjang saat mereka pindah rumah tersebut bisa dikontrakkan. Bahkan ayah dan ibu mertuanya mendukung saat Yuda mengatakan akan merenovasi dan menempati rumah lama mereka selama berdinas di sana. Tidak seperti Fika yang tampak gusar, seolah keputusannya mengatakan bahwa dia memiliki rumah di desa tempat suaminya dinas salah.
“Mas, hanya saja rumah itu sudah lama enggak dihuni. Biasanya rumah yang seperti itu akan banyak dihuni makhlus halus.” Yuda terbahak mendengar ucapan Fika. Melihat Fika yang mengerucutkan bibirnya kesal terlihat lucu di mata Yuda.
“Baiklah, Mas berhenti tertawa. Hanya saja pemikiran seperti ini tidak untuk dipelihara.”
“Aku punya alasan, Mas.” Fika terdiam saat Yuda memilih membalas pesan daripada mendengarkan alasannya. Yuda memeluk Fika erat membuat wanita berkerudung itu tersenyum senang. Yuda selalu memiliki cara untuk menenangkan Fika. Memeluk atau bahkan memberinya ucapan lembut nan menyentuh.
“Mas bukannya tidak percaya hal macam itu, sungguh Mas orang beragama yang diajarkan untuk percaya hal semacam itu. Hanya saja jika kita terus memelihara pemikiran yang belum jelas terbukti, jatuhnya akan buruk untuk kesehatan kita. Paham?” Fika mengangguk, membiarkan Yuda menangkup kedua pipinya membuat bibirnya monyong beberapa senti. “Agar istri cantikku ini tidak gelisah bagaimana jika nanti setelah pindah kita adakan pengajian, kita undang tetangga sekalian bersilaturahmi.”
SATU hari sebelum mereka memulai perjalanan ke Lampung, meninggalkan sementara kota Jakarta, Fika seharian kembali dilanda gelisah, enggan untuk beranjak membereskan barang-barang walau sebagian telah Yuda siapkan. Gambai pakaian yang akan dia minta untuk diproduksi bulan depan saja masih jauh dari kata selesai. Dia terus berusaha untuk membujuk Yuda tidak menempati rumah tersebut. mencari kontrakan yang jaraknya lebih dekat lagi dengan yayasan. Alasan tidak ingin sendirian berada di rumah saat Yuda mengajar terus dia sampaikan.
“Rumah sudah selesai direnovasi, Sayang.” Gorden jendela sengaja Fika tidak tutup, katanya malam ini dia ingin menghabiskan malam di kota Jakarta dengan menikmati langit malam sebelum esok tidak lagi akan melihatnya selama beberapa waktu, tidak lupa untuk melengkapi momen tersebut keduanya melewati malam dengan saling berbagi kehangatan di disaksikan cahaya pendar rembulan. Yuda dengan penuh kasih sayang membelai lembut rambut Fika yang tampak basah akibat keringat. Memandangi pesona yang membuatnya begitu mendamba lagi dan lagi. “Tidak mungkin, ‘kan, kalau rumah itu kita tinggal dan memilih untuk ngotrak. Jangan terlalu dipikirkan, jika kita memikirkan hal seperti itu mereka bisa saja hadir.” Yuda seolah tidak membiarkan apa yang dipikirkan Fika—istrinya itu menerbos masuk ke dalam pikirannya.
“Sewakan saja, dilihat dari foto yang siang kemarin dikirimkan Pak Darman rumah itu pasti cepat laku.”
“Kamu tidak mau kembali merasakan hidup di dalam rumah masa kecilmu? Mas yakin, jika rumah itu bisa berbicara---”
“Jangan ngaco!” Wajahnya begitu masam mendengar guyonan Yuda. Bahkan saat Yuda hendak mencubit pipinya, Fika dengan cepat menepis. Dia benar-benar tidak suka dengan sikap keras kepala Yuda—pria yang sudah bersamanya selama dua tahun.
“Mas yakin---”
“Aku ngantuk.” Yuda memilih diam tidak melanjutkan lagi ucapannya yang masih mengambang dalam bibir yang sedikit terbuka untuk bersuara, tangannya masih bekerja aktif mengelus rambut istrinya. Dalam keadaan yang tidak baik untuk Fika, dirinya malah ingin kembali melanjutkan untuk kegiatan kedua. Namun, dia juga tidak mau egois dengan membuat tubuh Fika kelelahan. Fika bisa-bisa akan memarahinya karena membuat dia terjaga sepanjang malam. Melihat wajah damai Fika, Yuda tersenyum hangat dan berharap jika esok pikira buruk istrinya tentang rumah yang akan mereka tempati, pergi. Dia membenahi selimut yang sedikit tersingkap dan ikut bersama wanita di sampingnya menyelami dunia mimpi.
PERJALANAN mereka lalui dengan lebih banyak diam. Berkelana dengan pikiran masing-masing. Pukul setengah satu siang mobil mereka sudah masuk di kapal. Terparkir dengan kendaraan lainnya. Yuda membiarkan Fika duduk sambil merasakan deburan ombak yang menghantam tubuh kapal, sedangkan dia memilih izin untuk menunaikan ibadah di musala yang tersedia di kapal.
Selepas kembalinya dia, Yuda melihat seorang pria yang sedang mengajak bicara Fika. “Sayang ....” Fika mendongak dan mendapati Yuda berdiri di samping pria yang dia tidak kenal dengan senyum menawan. “Temanmu?” Tahu suaminya cemburu, Fia buru-buru bangkit dan berdiri di samping Yuda, menggandeng tangan suaminya.
“Saya kira Mbak sendirian, permisi.” Pria itu segera pergi membuat Yuda mengernyit bingung.
“Baru saja mau Mas ajak kenalan.”
“Wajah cemburu begitu kentara mau ajak kenalan, mana dia mau.” Fika segera melepas gandengannya, dia masih kesal dengan Yuda. Memilih kembali duduk di kursi yang tersedia. Membiarkan kerudung hitamnya bergerak-gerak karena sepoi angin dengan wajah yang masih tidak bersahabat begitu lucu di mata Yuda.
“Bisa jadi petang kita sampai di tempat.”
“Kita cari penginapan dulu, ya.”
“Masih takut? Seharusnya malam ini kita sudah bisa merasakan tinggal di rumah masa kecilmu, loh.”
Tiga jam berada di kapal, Fika lebih banyak bermain ponselnya daripada mengajak suaminya mengobrol. Bahkan saat mobil berada di antara kemacetan sepanjang beberapa meter, pertanyaan Yuda yang penasaran dengan Lampung hanya sering dijawab dengan deham.
“Apa kamu masih ingat dengan tempat ini? Kamu pernah ke sini?”
“Enggak tahu!” Beberapa meter lagi dari kendaraannya yang masih terkena macet adalah sebuah perbatasan antara Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Tengah. Terlihat sebuah tugu merah yang menjadi tanda perbatasan di antara keduanya.
“Tapi bukannya kamu pernah tinggal di sini—Lampung?”
Fika menatap Yuda kesal dan berujar, “Saat itu aku meninggalkan Lampung masih kecil, Mas. bahkan dulu pun keadaannya sangat berbeda dengan sekarang. Daerah ini juga bukan tempat tinggalku dulu.”
“Lalu apa yang masih diingat?” Pertanyaan Yuda berhasil membuat memori Fika tentang masa kecilnya dahulu muncul. Dia tersenyum seolah ada sesuatu hal dahulu yang masih terkenang epik di dalam ingatannya.
“Kakek, sawah, ladang, rumah, dan dia.” Yuda mengernyit bingung, kata ‘dia’ berhasil membangkitkan rasa penasaran pria berparas tampan itu.
“Kamu tahu, Mas? dari yang semua kusebutkan itu adalah hal yang tidak pernah kulupa. Mereka membuatku bahagia. Dulu ibu sering kali memarahiku karena ikut Kakek ke ladang untuk mengambil getah karet. Sejujurnya bau sekali getah karet itu, apalagi saat sudah dibekukan. Anehnya aku suka.” Wajah yang awalnya tampak murung kembali ceria. Yuda yang penasaran menanyakan perilah DIA. “Aku enggak tahu. Yang kutahu dia itu seorang anak kecil yang cengeng. Hanya dua kali bertemu, tapi ingatan akan perkataannya yang cadel membuatku bisa tertawa terpingkal-pingkal.”
“Pria?”
Fika menoleh dan mengangguk membenarkan. “Malam ini kita mencari penginapan dulu!”