1
“Ini kunci rumahnya, Pak.” Yuda menerima kunci rumah yang akan dia dan Fika—istrinya tempati selama dia bertugas di Desa Kenanga. Sebuah desa yang cukup terpencil berada di sebuah kabupaten yang baru pemekaran beberapa tahun ini. Desa Kenanga sudah merata teraliri listrik walau masih ada segelintir masyarakat yang memilih menggunakan mesin diesel, pastinya kurang ramah dikantong. Dahulu Fika beserta kedua orang tuanya dan kakek dari ayahnya tinggal di desa ini, tetapi setelah kakek Fika meninggal mereka semua memilih pindah ke Jakarta dan memulai usaha baru di sana. Memulai kehidupan baru di ibu kota. Karena tidak memiliki sanak saudara yang tinggal di desa tersebut, rumah mereka titipkan kepada Pak Darman 20 tahun lalu, waktu yang lama untuk ditinggalkan. Awalnya saat dipindahtugaskan ke Desa Kenanga, Yuda kebingungan. Dia sama sekali tidak memiliki kenalan siapa pun yang dapat memberi informasi tentang tempatnya nanti bekerja. Bahkan Fika terlihat menutupi jika dia memiliki rumah di Desa Kenanga atau karena lupa setelah sekian lama Fika kecil ikut pindah.
“Terima kasih, Pak,” balas Yuda. Dia menerima dari pria paruh baya tersebut. “Pak Darman sekali lagi saya ucapkan terima kasih karena sudah mau direpotkan untuk membereskan rumah.”
Darman mengamati penampilan casual yang dipakai Yuda, kaus polos berwarna hitam menambah kesan ketampanannya. Berbeda dengannya yang hanya memakai kopiah untuk menutupi ubannya yang sudah hampir merata dan memakai sarung, khas seperti pulang dari masjid. “Mbak Fika kapan ke sininya, Pak? Apa masih di Jakarta?” tebak Darman.
“Besok. Hari ini saya hanya mau melihat-lihat dulu keadaan rumah dan tempat saya mengajar, Pak Darman.”
“Loh, jadi Pak Guru nanti malam belum tempati rumahnya?” Yuda hanya membalasnya dengan tersenyum tipis. Matanya terpana dengan rumah yang berada di hadapannya. Sebuah bangunan berlantai dua. Rumah berdinding kayu yang tampak kokoh. Bahkan saat Darman mengatakan jika dinding rumah tidak perlu diganti dia hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin rumah yang telah lama tidak dihuni masih saja kokoh tidak termakan zaman.
“Bapak yakin dindingnya tidak perlu diganti?” tanya Yuda lagi memastikan. Namun, pandangannya tidak pernah lepas dari rumah yang hanya berjarak beberapa meter saja darinya, hanya terhalang dengan pagar rumah dengan tingginya hanya sampai pinggang Yuda saja.
“Iya, Pak. Selain karena waktu yang Pak Guru minta kurang dari seminggu dan juga dari bagusnya kualitas kayunya sendiri. Tukang Bangunan di sini juga bilang kalau dindingnya untuk beberapa tahun ke depan masih kokoh.” Yuda mengangguk puas. Dia lega. “Mau saya antar ke dalam, Pak?”
Yuda setuju, dia segera membuka pintu gerbang yang tidak digembok. Melangkah dahulu membiarkan Darman berjalan mengikuti di belakangnya. “Rumahnya asri.” Yuda mengirup dalam-dalam udara siang hari ini dengan perasaan senang.
Darman mengangguk. Di depan pintu rumah, peluhnya bercucuran. Membasahi pelipis, dahi, hidung, dan dagu brewoknya. Yuda sendiri tampak santai saat dia membuka pintu rumah, tak lupa sebelumnya mengucapkan salam. Hal pertama yang Yuda rasakan saat melangkahkan kaki ke dalam adalah suasana pengap dari udara di ruangan, seperti sudah lama tidak dibuka. Dia menoleh menatap Darman yang berkeringat dingin. “Kan saya minta sama Bapak untuk memasangkan AC dan pengharum ruangan, dibiarkan saja hidup beberapa hari sebelum saya dan istri pindah. Kenapa seperti ini?” Darman menelan ludahnya susah payah. Dia terlihat bingung hendak berkata apa. Tidak mendapat jawaban, Yuda hanya mendesah pelan dan berujar, “Ya sudah tidak apa, Pak. Saya lihat juga AC sudah terpasang mungkin karena lupa tidak dihidupkan.”
“Pak Guru mau saya temani ke atas untuk lihat-lihat?” Yuda mengangguk mempersilakan Darman untuk berjalan terlebih dahulu. “Di desa ini dahulu hanya ada tiga rumah yang sudah berlantai dua, salah satunya rumahnya Mbak Fika ini. Dulu Pak Usman—kakek Fika itu salah satu orang terpandang. Punya sawah dan ladang berhektar-hektar.” Yuda mengangguk, dia sudah tahu setelah semalam Fika berbagi cerita masa lalu kepadanya.
“Kakek itu dulu orang kaya, Mas. Rumah kakek juga yang paling menonjol di antara rumah yang lain walau ada juga yang rumahnya bertingkat. Kakek orang yang baik banget sama warga, sering ajak aku ke sawah ambil keong atau ke ladang untuk panen getah karet. Baunya enggak enak.” Fika bersungut-sungut mengingat masa kecilnya saat itu. Bau getah yang segar, tetapi dia sangat tidak menyukainya.
“Lalu sekarang ladang dan sawahnya siapa yang kelola?” Fika mendengus, seakan dia enggan untuk membicarakannya.
“Dijual mungkin ... aku enggak tahu. Yang aku dengar peninggalan kakek hanya tersisa rumah di Desa dan sepuluh hektar ladang karet yang uangnya masuk rutin ke rekening ayah.”
“Kamu pasti senang bisa tinggal di tempat tinggal masa kecil kamu.” Yuda mencubit gemas pipi Fika. Fika hanya mengangkat kedua bahunya.
“Pak, bagaimana masih mau lanjut lihat-lihat atau sudah?” Darman terlihat gelisah. Seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya atau dia sedang ditunggu oleh warganya.
“Bapak duluan saja, saya masih mau di sini beberapa menit lagi.” Yuda menatap lukisan yang terpasang di antara dua ruangan kamar. Lukisan macan yang sangat berenergi menurutnya. Pas diletakkan di lantai dua rumah tersebut.
“Pak—” Dia ragu untuk meneruskan ucapannya.
“Apa tidak sebaiknya dilanjut besok. Sekalian dengan istrinya.” Mendapat saran seperti itu Yuda menjadi terlihat tidak suka. Namun, dia hanya menatap Darman dengan senyum tipis agar tidak membuat Darman tersinggung.
“Bapak silakan duluan, saya tidak apa.” Tidak ada balasan dari Darman, Yuda merasa kalau pria paruh baya itu menuruni anak tangga, terdengar dari suaranya. “Kenapa pula dia terlihat cemas begitu?” Yuda melanjutkan berkeliling. Memasuki ruangan yang cukup luas, berbeda dari ruangan lainnya. di dalamnya sudah terdapat ranjang, meja, meja rias, almari, dan kursi untuk bersantai. Namun, baru beberapa saat dia berada di sana, dia merasakan tubuhnya dingin bahkan bulu kuduknya berdiri.
Lampu ruangan tampak hidup-mati, seperti ada yang sedang memainkan sakelarnya. Yuda merasakan hawa tidak enak membuat dia memilih untuk keluar. Dia menuruni anak tangga dengan langkah berar, seolah sedang ada yang memegangi kedua kakinya dengan erat. Sebisa mungkin hatinya terus berzikir mengusir rasa takut yang menyelimuti perasaannya. Langkahnya terhenti saat dering ponselnya berhasil memekakkan kesunyian. Buru-buru dia mengangkat panggilan dari Fika. “Assalamualaikum, Sayang.” Yuda meredam perasaan takutnya.
Saat dia masih menyimak ucapan Fika di ponsel, ekor matanya menangkap sekelebat bayangan putih melintas menuju sebuah ruangan. perasaan Yuda makin kacau. Dia mematikan ponselnya dan berjanji akan menghubunginya nanti. Buru-buru Yuda keluar dari rumah tersebut sebelum langkahnya kembali terhenti setelah ada yang membisikkan sesuatu di belakang telinganya. Suaranya lirih seirama embusan angin yang membuatnya membeku dan tampak menyakitkan. “Jangan bunuh saya ....” Yuda berhasil keluar dari rumah, dia langsung menutup dan menguncinya.