bersatu

1126 Kata
Aula Agung (The Grand Hall) Lantai Utama, Ruang Penerimaan Tamu Mansion Vale Begitu tamu memasuki pintu kayu ek utama yang menjulang tinggi, mereka langsung tiba di Aula Agung, ruang pertama yang menyambut siapa pun yang datang ke Mansion Vale membuat banyak bangsawan terpukau seketika. Lantai marmer putih tersusun dalam pola diagonal yang elegan dan berkilau di bawah cahaya lilin. Permukaannya tampak begitu licin sehingga bayangan tamu yang melangkah dapat terlihat jelas di atasnya. Di bagian tengah ruangan berdiri dua tangga melengkung bergaya neoklasik yang mengarah ke lantai dua. Pegangan tangga terbuat dari kayu mahoni tua yang dipoles hingga mengilap, sementara anak tangganya dilapisi karpet merah gelap yang dihias bordir benang emas. Dinding Aula Agung dilapisi panel kayu walnut berukiran halus. Di atasnya tergantung lukisan keluarga Vale, menampilkan para leluhur yang pernah berjaya dalam dunia pelayaran, perdagangan, dan politik lokal sejak beberapa generasi lalu. Setiap bingkai memiliki kilau emas kusam yang memberikan kesan antik namun berkelas. Di antara lukisan tersebut berada lambang keluarga Vale, seekor gagak perak yang bertengger di ujung pedang maritim, terpahat di atas sebuah perisai hitam besar yang menggambarkan kemegahan serta kecerdikan keluarga itu. Langit-langit ruangan yang tinggi dihiasi chandelier kristal Belgia. Ketika ratusan lilin menyala di dalamnya, cahaya yang terpancar menciptakan pantulan keemasan yang menari di seluruh ruangan. Atmosfernya terasa hangat, mencerminkan kekayaan Di sisi kiri ruangan terdapat meja penyambutan tempat para pelayan mencatat kehadiran tamu dan menerima berbagai hadiah pernikahan. Di sisi kanan, deretan pelayan lainnya berdiri rapi sambil menawarkan sherry, sampanye, dan white wine dalam gelas kristal tipis kepada para tamu. Aroma bunga mawar dari rangkaian bunga besar di tengah ruangan bercampur dengan wangi kayu tua dari panel-panel dinding, menciptakan kesan mewah yang tenang. Aula Agung bukan sekadar ruang penyambutan, melainkan panggung tempat para bangsawan menilai satu sama lain, memperhitungkan aliansi Musik orkestra perlahan mereda ketika para tamu berdiri, membentuk dua barisan panjang di dalam Aula Agung. Cahaya chandelier kristal jatuh lembut ke lantai marmer dan memantulkan kilau keemasan ke gaun sutra para bangsawan. Di bagian tengah ruangan, sebuah altar kecil berhias bunga mawar putih telah disiapkan khusus untuk upacara hari itu. Lord Julian Vale sudah berdiri di sana dengan pakaian resmi yang rapi. Wajahnya tampak tenang, Tidak lama kemudian terdengar langkah lembut dari arah pintu utama. Lady Isolde de Montclair berjalan masuk mengenakan gaun satin berwarna gading. Para tamu menoleh, memperhatikan setiap gerakan anggun yang ia buat. Ia tampak seperti lambang kesempurnaan keluarga bangsawan muda, siap menjalani babak hidup baru. Isolde tiba di samping Vale. Ia tersenyum kecil, namun tampak jelas kegugupan dan harapan yang ia simpan dalam-dalam. Vale hanya membalas dengan anggukan sopan Pendeta Alistair berdiri di hadapan mereka sambil memegang kitab tebal di kedua tangannya. Beliau adalah figur terhormat yang sudah puluhan tahun memimpin upacara pernikahan keluarga bangsawan. Suaranya yang dalam dan tenang memenuhi ruangan. “Saudara-saudara sekalian, hari ini kita berkumpul di hadapan Tuhan untuk menyaksikan dan merayakan penyatuan dua jiwa, Julian Roderick Vale dan Isolde de Montclair, dalam ikatan suci pernikahan.” Para tamu menjadi diam sepenuhnya. Hanya terdengar bisikan sutra dari gaun yang bergeser dan suara air mancur dari halaman belakang. Pendeta melanjutkan ucapan yang biasa digunakan dalam pernikahan “Pernikahan adalah sakramen yang kudus. Sebuah janji untuk saling mengasihi, menghormati, dan menjaga. Pernikahan adalah komitmen untuk tetap setia dan teguh, baik dalam sukacita maupun dalam penderitaan, dalam kesehatan maupun dalam penyakit, dalam kelimpahan maupun dalam kekurangan.” Mata Isolde memandangi Vale dengan lembut. Vale tetap berusaha berdiri tegap Pendeta kemudian menghadap Vale. “Lord Julian Roderick Vale, maukah Anda mengambil Lady Isolde de Montclair sebagai istri sah Anda untuk hidup bersamanya dalam pernikahan. Maukah Anda mengasihinya, menghormatinya, menjaganya, dan setia kepadanya sepanjang hidup Anda.” Ruangan seakan menahan napas menunggu jawabannya. Vale akhirnya menjawab pelan, “Aku bersedia.” Pendeta menoleh kepada Isolde. “Lady Isolde de Montclair, maukah Anda mengambil Lord Julian Roderick Vale sebagai suami sah Anda untuk hidup bersamanya dalam pernikahan. Maukah Anda mengasihinya, menghormatinya, menjaganya, dan setia kepadanya sepanjang hidup Anda.” Isolde menjawab dengan senyum tipis dan suara lembut, “Aku bersedia.” Pendeta mengangkat tangannya perlahan. “Dengan kuasa yang diberikan kepada saya, dan dengan restu Tuhan serta para saksi di ruangan ini, saya menyatakan kalian telah dipersatukan sebagai suami dan istri. Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia.” Tepuk tangan pecah di seluruh Aula Agung. Musik kembali hidup dengan melodi kemenangan. Pendeta menutup kitabnya dan memberi isyarat terakhir. “Sebagai tanda cinta dan kesetiaan, kalian dapat mengikat janji ini dengan sebuah ciuman.” Para tamu kembali bertepuk tangan ringan. Musik orkestra merendah, memberi ruang bagi momen paling sakral dalam upacara. Isolde menatap Vale dengan mata yang sedikit bergetar. Ini adalah langkah pertama menuju kehidupan yang tidak pernah ia bayangkan akan dimilikinya. Vale mendekat perlahan, masih menjaga sikap tenang meski ia sendiri merasa bingung dengan perasaan yang muncul. Ketika wajahnya semakin dekat, Isolde reflex menarik sedikit napas. Jantungnya berdegup terlalu cepat. Vale memperhatikan kegugupannya dan menurunkan gerakannya sejenak. “Tenang saja. Aku di sini,” bisiknya hampir tidak terdengar. Isolde mengangguk kecil. Ia mencoba mengatur napas, tetapi ketika Vale akhirnya menyentuh bibirnya, tubuhnya langsung menegang. Sentuhan itu begitu lembut, hangat yang menyentuh pipi, namun bagi Isolde yang belum pernah merasakan kedekatan seperti itu, dunia seolah meleleh. Napasnya tertahan. Dadanya terasa sesak untuk beberapa detik. Vale segera menarik diri sedikit dan menatapnya cemas. “Istriku, apakah kamu baik baik saja.” Isolde hanya mampu mengangguk walau matanya sedikit berair. Ia ingin bicara tetapi suara tidak keluar. Vale meletakkan tangannya pelan di pipi Isolde, dengan lembut. “Tidak apa. Tarik napas perlahan.” Tetapi yang membuat Isolde benar benar bisa bernapas adalah ketika Vale memeluknya. Pelukan itu hangat, lebih hangat dari apa pun yang pernah ia rasakan. Lengan Vale membungkus tubuhnya dengan perlindungan yang tidak pernah ia miliki sebelumnya. Kehangatan itu menyalakan sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang selama ini hanya ia bayangkan tetapi tidak pernah ia sentuh. Isolde akhirnya menarik napas panjang. Sesaknya perlahan hilang. Jari jarinya secara naluriah menggenggam pakaian Vale, seperti takut kehangatan itu akan menghilang jika ia melepaskannya. Di telinganya ia bisa mendengar detak jantung Vale. Tenang, stabil, dan membuatnya merasa aman. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Isolde merasakan kehadiran seorang pria yang memeluknya karena ia benar benar khawatir padanya. Dan pria itu adalah suaminya. Vale mengusap punggungnya perlahan. “Sekarang lebih baik.” Isolde mengangguk sekali lagi, kali ini dengan senyum kecil yang tulus. “Ya. Terima kasih, Suamiku.” Ketika mereka berdua berdiri seperti itu di tengah Aula Agung, para tamu tersenyum melihat adegan romantis yang dianggap sebagai awal cinta dalam pernikahan mereka Di sisi kanan ruangan terdapat jendela besar yang menghadap taman samping mansion. Dari sana, seorang wanita menyaksikan semuanya tanpa suara. Evelina berdiri di balik tirai taman, wajahnya diterangi cahaya dari chandelier yang memancar keluar melewati kaca jendela.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN