Rasa tanpa nama

1067 Kata
Dan dari balik kabut muncul sosok perempuan bergaun biru tua Lady Isolde de Montclair, tunangan sang Lord. “Tuanku! Hentikan ini!” serunya dengan nada tajam. “Apa yang anda lakukan!? Mereka manusia, bukan hewan untuk dikubur seperti ini!” Vale menoleh sedikit, namun matanya tetap dingin.“Kau bukan algojo!” Isolde suaranya bergetar marah “Kau seorang bangsawan, sebentar lagi kita akan menikah!” Vale mendekat selangkah "Pergilah, Lady Montclair, sebelum aku menyakitimu.” Isolde terdiam wajahnya memucat tak lama setelah itu, dari sisi kebun, langkah kecil terdengar tergesa nyaris terjatuh. Sebuah suara lembut, serak oleh tangis, memecah malam “Lord Vale... jangan...” Evelina. Gadis itu datang dengan gaun tidurnya yang kusut, wajahnya pucat, rambutnya terurai ia berlari ke arah lubang. Tanah yang masih hangat oleh tubuh manusia ia gali dengan tangan mungilnya kuku-kukunya berdarah, jemarinya berlumur tanah namun ia terus menggali, terisak, memanggil nama-nama yang bahkan ia benci. “Jangan mati... jangan... tolong, keluarlah...”Para kesatria saling berpandangan sampai akhirnya ia melangkah mendekat perlahan, seperti orang yang baru sadar dari mimpi gelap. “Lady..,” suaranya dalam namun bergetar halus, “berhenti... tanganmu akan terluka.” Namun gadis itu tak menghiraukannya. Ia terus menggali, menangis tersedu-sedu, tanah menodai gaunnya, bahunya gemetar hebat oleh rasa ngeri dan iba yang bercampur menjadi satu ​ Vale berlutut di sampingnya. Untuk pertama kalinya malam itu, wajah keras sang bangsawan berubah. Ia meraih tangan Evelina lembut, penuh kehati-hatian dan mengangkatnya dari tanah yang dingin. “Cukup...” bisiknya pelan. “Lihat aku... mereka takkan mati. Aku berjanji," Evelina menatapnya, matanya penuh air mata jemarinya mencengkeram mantel Vale dengan gemetar. “T-tuan… a… aku ” Nafasnya tak beraturan, tubuhnya menegang. “S-sakit… a-aku… tak bisa nafas…” keringat dingin menetes di pelipisnya. Vale menatapnya, ketakutan untuk pertama kalinya mengaburkan wibawanya yang angkuh. “Lady!” serunya, nadanya parau. “Tenanglah, dengar suaraku. Hiruplah perlahan… denganku, ikuti aku” Ia menuntun gadis itu agar menarik napas, menepuk lembut punggungnya. Namun tubuh Evelina justru meronta kecil, napasnya tersengal, seolah udara menolak masuk ke paru-parunya “T-takut… Tuan… aku takut… j-jangan… j-jangan bunuh…” Dan sebelum kata terakhir terucap sempurna, Evelina terkulai. Matanya perlahan tertutup, tubuhnya lunglai di pelukan Vale, Tatapannya kosong ke arah tanah ke tempat di mana tiga lelaki itu dikubur hidup-hidup.dengan nada yang datar yang berwibawa yang tak bisa dibantah, ia berkata "Gali kembali tanah itu.” 5 prajurit segera bergerak, mengangkat sekop mereka tanpa berani mengangkat kepala. Tanah digali dengan cepat, dan tubuh ketiga lelaki itu diseret keluar, napas mereka tersengal di antara lumpur dan ketakutan. Vale berdiri, menatap mereka tanpa ekspresi. Ia menghela napas panjang, lalu berucap dingin: “Bawa mereka ke tabib di kota. Pastikan mereka tetap hidup.” Tatapan matanya tak berubah saat menambahkan, “Namun jika salah satu dari mereka mencoba kabur… pastikan mereka tidak bisa melihat langit lagi, ” Kelima ksatria itu menunduk dalam-dalam, “Titah Tuan akan dilaksanakan.” Mereka segera mengangkat ketiga lelaki itu dan berbaris keluar dari halaman kebun kaca, meninggalkan hanya gema ​ Isolde de Montclair berdiri tak jauh di belakangnya, gaun berlumur debu dan ujungnya terseret tanah. Di wajah cantiknya, tatapan menyakitkan rasa tercabik di d**a, melihat bagaimana lelaki yang menjadi tunangannya begitu lembut saat menggenggam gadis lain. Evelina masih terbaring di pelukan Vale, ia menatapnya dengan mata lembut yang belum pernah Isolde lihat sebelumnya. tangannya menyibak rambut Evelina yang menempel di kening, gerakan kecil yang membuat hati Isolde seolah diremuk dari dalam. Ia ingin bicara ingin menegur, menjerit, atau sekadar bertanya mengapa namun bibirnya kelu.Isolde menelan sesak di tenggorokannya. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata sementara Vale mengangkat Evelina dengan hati-hati seolah membawa kaca yang bisa retak hanya oleh napas “Permisi Lady Isolde,” perintahnya lembut.Ia berjalan perlahan menuju mansion, meninggalkan Isolde berdiri sendiri di bawah langit kelam, dengan tangan yang gemetar dan d**a yang penuh pertanyaan “Mengapa…” bisiknya pada diri sendiri, “mengapa tatapan itu tak pernah jadi milikku?” ~ ~ ~ Embun menetes perlahan dari jendela tinggi kamar sayap timur. Kabut masih samar menyelimuti taman bawah, dan burung-burung hingap dengan nyanyian kecil Lord Vale duduk di tepi ranjang, menatap Evelina yang terbaring pucat di bawah naungan kain lembut warna gading, napasnya mulai teratur kembali, namun bayangan ketakutan masih tertinggal di sudut bibir dan alisnya yang halus. Tabib telah pergi setelah memastikan gadis itu selamat. tinggallah Vale seorang diri Tangannya bergerak perlahan, menyentuh ujung selimut tak berani benar-benar menyentuh kulit Evelina, takut membangunkan Ia menatap Evelina dalam diam yang menegangkan, sebuah keputusan mulai tumbuh di hatinya kelam, hasrat yang terasa menggerogoti imannya. “Jika dunia ini dikuasai oleh serigala,” bisiknya perlahan, “maka aku akan membuat taman dengan dinding yang tinggi…meski gerbang taman itu hanya dapat dibuka dengan kunciku sendiri.” “Mulai hari ini… kau milikku, Evelina. Aku akan melindungimu bahkan dari diriku sendiri, jika perlu.” Pikiran itu menyelinap, menjelma menjadi niat yang tak bisa ia tolak. Ia tahu, tak seharusnya seorang bangsawan mengikat perasaan pada wanita lain selain tunangannya, namun setelah malam itu setelah tangis dan ketakutan Evelina di pelukannya, Vale tak lagi sanggup memisahkan kasih dari obsesi. Di luar kamar, langkah pelan terdengar di koridor batu. Lady Isolde berdiri di ujung lorong, mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Cahaya lampu dari dalam ruangan memantul di matanya yang basah, dan ia menyaksikan bagaimana Vale menunduk lembut di sisi gadis lain. Ia tak kuat lagi.ia berbalik dan pergi, gaun malamnya menyapu lantai marmer seperti bayangan yang menyeret dirinya sendiri. Beberapa jam kemudian, di kamarnya yang remang dan beraroma bunga kering, Isolde duduk di depan cermin besar berbingkai emas. Air matanya jatuh satu per satu ​ Di belakangnya, dayang kepercayaannya, Lady Merwen, menatap putri dengan pandangan lembut namun getir. “Tuan Putri,” pelan, menyeka air mata Isolde dengan sapu tangan, “lelaki seperti Lord Vale… mereka terkadang membutuhkan mainan untuk mengusir rasa bosan.” ​ Isolde menunduk, suaranya gemetar, “Tapi aku dapat melihat tatapan itu, tatapan seorang pria yang melihat seluruh dunia pada wanita lain…” Lady Merwen menghela napas panjang. “Mereka Tidak sepantasnya setara dengan Putri, ketika bosan dengan mainannya maka Lord Vale akan kembali kepada Nyonya rumah yaitu tuan putri.” Isolde menggigit bibirnya, menahan isak. “Mainan?”, Dayangnya menatapnya tajam namun penuh iba. “Ya, Nona. Mainan. Lelaki akan mencintai mainannya dengan seluruh hatinya untuk sementara. Tapi ketika saatnya tiba, mainan itu akan ditinggalkan di rak, berdebu, dan dilupakan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN