Perisia Vale

1039 Kata
Bau roti panggang dan teh hitam memenuhi udara ruang makan pagi itu, namun yang lebih tajam dari aroma mentega adalah tatapan-tatapan ingin tahu yang berputar di sekitar meja panjang,Vale duduk tegak, nyaris kaku. Tangan halusnya gemetar halus saat menuang teh ke cangkir, membuat bunyi cling... cling... cling...Di seberangnya, Alaric tampak berusaha tenang, namun rahangnya menegang, menahan rasa marah dan malu. “Gula?” tanya Alaric datar, menawarkan wadah kecil dengan nada yang terlalu sopan untuk dianggap tulus. “Tidak, terima kasih. Aku tak berniat bertemu tuhan dalam waktu dekat,” jawab Vale, tanpa menatapnya, namun dengan nada yang membuat dua penghuni di ujung meja menahan tawa dan satu lagi tersedak bubur gandum. Beberapa bisikan terdengar samar di udara, setipis kabut di pagi hari. “Katanya... semalam mereka... hmm... terjatuh bersama, ya?” “Ah, anak muda zaman sekarang, bahkan meja pun tak bisa menahann,” sahut seorang wanita tua, suaranya lirih tapi cukup untuk membuat Vale hampir menumpahkan tehnya. Alaric berdeham keras, mencoba memulihkan kewibawaan yang sudah terlanjur runtuh. “Sebagai catatan,” katanya dengan nada berat, “Saya menyukai perempuan dan kejadian tadi pagi hanya kesalapahaman semata.” menganguk dengan keyakinan penuh “Saya juga normal,” sela Vale tegas Terdiam sesaat. Lalu suara kursi bergeser, sendok kembali berdenting, dan beberapa tawa kecil menetes di antara rasa canggung. Wajah Vale memerah, tapi bibirnya menahan senyum getir. Alaric hanya menatap piringnya, entah merenungi bubur atau harga dirinya yang kini terhidang di depan semua orang. Di ujung meja, Tuan Bramwell lelaki tua dengan jaket tweed usang dan mata yang selalu tampak haus akan cerita berdeham pelan. “Ngomong-ngomong,” ujarnya sambil menepuk roti dengan ujung pisau mentega, “aku dengar dari pedagang sussu pagi tadi... di desa sebelah ada rumah bordir yang... agak tidak biasa.” Semua orang fokus mendengarkan. “Katanya tempat itu khusus untuk lelaki... yang menyukai sesama lelaki,” lanjutnya, dengan nada begitu datar sehingga terasa lebih menusuk. “Dan lucunya para pengunjungnya berpakaian sangat mirip kalian pagi ini. Rapi, sopan, dan tampan,” Suara kursi berderit pelan. Seseorang tersedak bubur. Seorang wanita tua menepuk d**a dengan canggung. "Kuh! Kuh Khek" Vale batuk keras tersedak bubur dan "hhh-!..Hhakk!" Alaric tersedak teh Vale tertunduk merasakan dadanya naik turun dengan wajah memerah dan mata berair sementara Alaric menepuk-nepuk dadaa serta suara batuk serak dan nafas terputus-putus Vale menatap tehnya yang mulai dingin. Pipinya memanas telingganya memerah, tapi senyum getir tersungging di sudut bibir antara marah dan pasrah. Alaric menunduk, matanya menatap piring kosong, tengah melihat berapa banyak harga diri yang masih tersisa untuk dirinya Tak ada yang berani bicara lagi. Hanya suara sendok dan garpu yang kini terdengar pelan Setelah sarapan yang berakhir dengan rasa malu dan keheningan yang menyiksa, Vale dan Alaric memutuskan pergi lebih pagi dari rumah penampungan “Setidaknya kita sudah jauh dari sana,” gumam Vale pelan, mencoba tersenyum. “Aku kira tak ada yang bisa lebih buruk dari pagi tadi.” Alaric, dengan jasnya yang mulai lusuh, hanya mengangkat sebelah alis. “Kalimat seperti itu biasanya menjadi kutukan,” jawabnya datar. Mereka belum jauh berjalan ketika dari belakang terdengar deru mesin berat. Sebuah lorry tua, catnya terkelupas dan roda belakangnya berdecit setiap kali berputar, Terdengar Suaranya keras dan menderu “grrrkk...grrrkk....pop!” Alaric dengan cepat melambai untuk tumpangan, perasaan lega menyelimuti Vale dan Alaric Sopirnya seorang pria gemuk berwajah merah seperti kepiting rebus menepi dan berteriak dari balik kabin, “Butuh tumpangan, kawan? Kami menuju kota!” Vale memandang Alaric dengan sorot penuh harapan. “Akhirnya sedikit keberuntungan,” katanya sambil tersenyum lega. Mereka naik ke bak belakang truk, duduk di antara beberapa peti kayu dan tumpukan karung tepung. Udara dingin berhembus, tapi hati mereka terasa lebih ringan. Untuk sesaat, dunia tampak baik-baik saja. Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Dari balik karung muncul tawa keras seorang lelaki, disusul sapaan yang terdengar terlalu ramah. “Hoi, lihat siapa yang menumpang pagi ini,” katanya dengan aksen desa yang kental. “Mereka berdua tampak akrab... seperti dari kelab khusus itu, ya?” Di antara para penumpang, duduk beberapa wajah yang dikenalnya dari gosip pagi tadi.Jantung Vale berdegup cepat. Ia merapatkan mantel, berusaha tidak menatap siapa pun. Tubuhnya kaku, seolah udara berubah dingin menusuk tulang.Rasa lega tadi lenyap, digantikan oleh sensasi tak nyaman yang menjalar dari tengkuk hingga punggung. Salah satu lelaki mencondongkan tubuh, menatap Vale dari ujung sepatu hingga kerah mantel. “Cantik juga pagi ini,” ujarnya setengah berbisik, disambut tawa kecil dari rekan-rekannya. Sebelum Vale sempat menjauh, Alaric sudah bergerak. Ia bergeser ke depan, tubuhnya berdiri tegak, menjadi perisai antara tuannya dan para lelaki itu. Tatapannya tajam dingin dan penuh ancaman, seperti ujung pedang yang siap arahkan di tenggorokan siapa pun yang berani lebih jauh. Tak ada kata keluar dari bibir Alaric, tapi bahaya terasa jelas di udara. Truk terus melaju di jalan berbatu, meninggalkan debu kelabu di belakangnya. Di antara deru mesin dan suara roda yang memantul di lubang jalan, tak satu pun dari mereka berbicara lagi. Yang tersisa hanya ketegangan tipisdan tatapan tajam Alaric yang tak pernah berpaling dari siapapun yang menatap Vale terlalu lama. ​ Truk tua itu terus berguncang di atas jalan berbatu. Bau solar dan debu bercampur dengan aroma tajam dari karung-karung tepung yang sobek di sudut bak. Langit berwarna kelabu pucat, dan angin membawa dingin yang menembus hingga ke tulang. Vale duduk diam, bahunya gemetar kecil meski ia berusaha menahannya. Tatapan para lelaki di sekelilingnya membuat udara di dalam serasa tak nyaman dan membeku. Mereka tertawa kecil di antara bisikan, memandangi dengan pandangan yang tak senonoh Tanpa sepatah kata pun, Alaric melepas mantel panjang miliknya mantel wol dengan sisa aroma parfum dan asap rokok yang samar lalu meletakanya di atas pundak Vale. “Kenakan ini Tuannku, ” berbisik pelan ​ Vale menatapnya sekilas. Mata Alaric dingin, penuh kewaspadaan Vale menarik mantel itu erat ke tubuhnya. Hangat. Aman Tangannya tak pernah jauh dari gagang pedanng yang tersembunyi, Jemarinya mengelussnya pelan, bukan dengan kegelisahan, tapi dengan naluri siap siaga. Ia tampak seperti serigala yang tak pernah tidur, bahkan saat kendaraan berguncang keras di tikungan tajam. Vale mencoba memejamkan mata, tapi setiap kali truk melambat, daadanya berdebar lagi karna takut. Ia bisa merasakan bahu Alaric yang kaku di sampingnya kokoh seperti tembok yang berdiri di antara dirinya dan dunia luar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN