Matahari pagi menembus tirai tipis dengan lembut, membentuk garis-garis cahaya di dinding dingin. Udara di dalam ruangan lembap berbau samar roti dan teh.
Vale terbangun lebih dulu, matanya masih buram tidur dalam keadaan lapar sungguh mengganggu.
Di sampingnya, Alaric menggeliat pelan, perutnya terasa perih. Mereka telah melewatkan makan malam karna mencurigakan dan pagi ini tidak antri sarapan pagi
Ruangan tidur mereka sederhana tapi bersih dan rapi, ranjang besi tua, seprai wol kelabu, dan meja kecil dengan kendi air dingin.
Dari luar terdengar langkah kaki dan suara sendok serta mangkuk, dari pagi para penghuni penampungan yang telah memulai rutinitasnya
Pintu berderit lembut.
Sosok nenek-nenek semalam, yang sempat mereka lihat membagikan roti di dapur, muncul membawa senyum kecil.
Rambutnya disanggul rendah, selendang wol membungkus bahu tipisnya. Di tangannya, nampan berisi dua cangkir teh panas uap tipis seperti kapas terbang di tambah harum khas teh segar.
“Selamat pagi, Tuan-tuan,” sapanya dengan suara lembut yang gemetar halus. “Semoga malam tadi cukup nyaman? Aku khawatir angin dari jendela terlalu dingin dan membuat kalian tidak bisa tertidur dengan nyenyak” Nenek meletakan nampan di meja kecil
Vale bangkit perlahan, menatap perempuan tua itu dengan sopan tapi waspada. “Kami baik-baik saja,” jawabnya singkat melihat gelas teh dengan penuh curiga
Nenek itu tersenyum, matanya keriput termakan usia namun masih bagus dalam melihat meski sedikit buram.
“Bagaimana makanan kami semalam? Sup sederhana dan roti kasar bisa menghangatkan perut bukan?”
Sebelum Vale sempat menjawab
Alaric angkat bicara. Nada suaranya terdengar kaku mata sinis dan alis menurun “Nyonya… bolehkah aku bertanya sesuatu? Mengapa tempat ini memakai lambang bangsawan di dindingnya? Seekor gagak bermahkota perak itu bukan simbol rakyat biasa.”
Perempuan tua itu terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. Tatapannya menerawang ke masa lalu yang jauh dia duduk di tepi ranjang dengan 2 tangan tersilang Nenek mulai bercerita
“Oh… itu bukan sembarang lambang, Tuan,” ucapnya perlahan. “Rumah ini dibangun 5 tahun silam oleh seorang dermawan muda. Putra tunggal dari keluarga besar yang memiliki perusahaan pelayaran raksasa. Namanya…” Nenek itu melirik ke atas sambil berkedip beberapa kali
Ia menatap Vale yang terasa familiar namun tak bisa diingat.
“…Tuan muda Julian Roderick Vale.”
Cangkir di tangan Vale hampir tergelincir.
Hening panjang itu akhirnya pecah bukan oleh kata-kata, melainkan oleh perut Alaric yang bergemuruh keras, nyaris menyaingi bunyi lonceng gereja di luar.
Nenek itu tersenyum
“Ah, tampaknya seseorang sangat membutuhkan sarapan,” ujarnya lembut sebelum meninggalkan mereka dengan langkah pelan, menyisakan dua pria yang kini terpaku.
Alaric menatap Vale tajam. “Tuanku sadar tidak, Tuan?” katanya dengan nada yang setengah marah dan setengah tidak percaya. “Kita tidur dalam keadaan lapar karna curiga racun di rumah yang ternyata Tuanku bangun sendiri. Kalau tahu begitu, aku akan minta sepiring tambahan semalam!” senyum menyeringai dengan hembusan nafas besar
Vale mengusap tengkuknya, berdeham pelan. “Aku tidak… benar-benar ingat pernah membangun tempat ini.” Berusaha mengindari tatapan Alaric
“Tidak ingat?” Alaric mengangkat alis tinggi.
“Lalu bagaimana dengan lambang keluarga di setiap dinding? Atau moto keluargamu yang bahkan menghiasi piring roti di dapur? Apa kau juga lupa kalau sup semalam pakai sendok bertanda inisial ‘J.R.V.’?” berjalan maju hendak menutup akses Vale keluar
Vale menunduk cepat, pura-pura sibuk merapikan selimut di ranjang. “Mungkin hanya kebetulan. Banyak keluarga punya gagak bermahkota, tahu?” berjalan menyisiri tembok menghindari blokade Alaric
“Benar,” balas Alaric senyum seram. “Dan aku juga yakin banyak keluarga kebetulan menamakan diri mereka Vale, membangun penampungan, dan lupa pernah membangunya.” berdiri di dinding ke 2 tanganya memblokade Vale
Vale berdiri tak bisa kabur lalu melihat ke atas, pura-pura mengamati langit-langit. “Ah, lihat itu plafon kayunya bagus sekali. Kayu pinus, kalau tidak salah .” alis bergetar dengan senyum yang di paksakan
“Jangan alihkan pembicaraan, Tuan.” semakin mendekat
“Bukan mengalihkan. Menghargai arsitektur.” mundur dan mencoba bergeser ke arah meja meski tidak bisa
Alaric memutar mata, lalu mendekatkan wajahnya. “Tuanku tahu apa yang paling menyedihkan? Aku lapar setengah mati, dan satu-satunya orang yang bisa kumarahi atas hal ini adalah ” ia melihat Vale, “ Tuanku sendiri!” wajahnya kian dekat
"Sudahlah,” kata Vale dengan nada bijak yang dibuat-buat, “tak ada gunanya terus mempermasalahkan sarapan.”
“Tidak bagi orang yang sudah makan tadi malam,” balas Alaric cepat di iringi senyum mengerikan
Vale menghela napas panjang, baru hendak membuka mulut ketika pintu tiba-tiba terbuka.
Masuklah 2 lelaki muda berpakaian lusuh
“Oh! Maaf, kami kira kamar ini kosong,” kata salah satu, tersenyum sopan namun matanya penuh curiga.
Pandangan mereka bergantian menatap Vale yang berdiri terlalu dekat dengan Alaric, sementara selimut di atas ranjang tampak berantakan, dan satu di antaranya menjuntai ke lantai seperti habis terjadi sesuatu semalam
Membeku dan penuh praduga lalu, yang satu lagi seorang pemuda dengan rambut keritingberdeham gugup. “Kami… uh… tidak ingin mengganggu. Kalian berdua… sepertinya… yah, sedang… berbincang pribadi.”
Mata Vale membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar.
. “Apa maksudmu ‘berbincang pribadi’?”
Namun sebelum Alaric sempat bicara, pemuda yang satu lagi dengan cepat menambahkan, “Tak apa, Tuan. Kami akan ambil selimut lain saja. Kami mengerti… cinta tak kenal waktu dan tempat.” tersipu malu
“Cinta?” seru Alaric, wajahnya langsung memerah. “Hei, tunggu kami bukan...” berusaha menjelaskan tapi seperti kata-kata tersangkut di tengorokan
Vale spontan mengangkat tangan, hendak menahan pintu, tapi dalam kegugupan ia mundur satu langkah terlalu jauh. Tumitnya tersangkut kaki meja kecil di belakang.
Dan sebelum sempat menahan diri, ia terpeleset, tangan refleks mencengkeram apa pun yang bisa digapai dan sayangnya yang terdekat adalah pinggiran celana Alaric.
Srak...celana Alaric turun di gendam erat jemari Vale
Alaric menatap ke bawah dengan wajah antara kaget dan merah padam, sementara Vale tersungkur ke lantai, masih memegangi celana bawahanya
Kedua lelaki pembawa selimut menatap dengan mulut terbuka. Salah satu menutup wajahnya dengan tangan, berusaha menahan tawa. “Oh Tuhan di surga…” bisiknya, “Baiklah kami akan pergi.” tersenyum dan berlalu meningalkan Vale dan Alaric yang membatu sesaat
“Ini bukan!” Alaric berseru, buru-buru menarik kembali celananya dan memandang Vale dengan tatapan tajam seperti elang. “Lepaskan, Tuan, sebelum aku benar-benar menghantammu dengan meja ini!”
Vale, yang masih tersungkur di lantai, berusaha bangkit dengan wajah merah merona. “Ini kesalahpahaman total! Aku hanya....meja itu...kaki... oh, lupakan!”
Namun para pemuda itu sudah melangkah mundur ke pintu, menunduk sopan dengan ekspresi yang jelas menahan tawa. “Tak apa, Tuan-tuan. Kami tidak akan mengganggu urusan… pribadi kalian.”
Begitu pintu tertutup, Alaric memandang Vale dengan wajah kosong beberapa saat, sebelum akhirnya berkata datar
“Lain kali, kalau Tuanku ingin memberikan penjelasan kepada orang lain agar tidak salah paham, jangan mulai dengan menarik celana bawahanku.” mendengus dengan hentakan kaki
Vale menatapnya lama, lalu menutupi wajahnya dengan tangan tak lama dengan wajah polos “Yakobus pasal 5 no 8 Kamu juga harus bersabar dan menguatkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat.,” gumamnya lemah tapi Alaric masih bisa mendengar. “Roma pasal 12 no 12 Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.” Vale tersenyum cerah
Alaric mendengus, setengah marah, setengah menahan tawa. “Tuanku yang seharusnya banyak berdoa, Karna mungkin ada seseorang di luar sana yang ingin Tuanku menghadap Tuhan secepatnya" ia berjalan keluar kamar dengan raut wajah ingin membunuhh seseorang