Langit Bathshire pagi itu berwarna pucat seperti kelopak bunga apel yang jatuh di jalanan batu. Udara musim semi masih dingin, tapi aroma tanah basah dan bunga liar mulai menyebar di antara kabut tipis, membawa kesan segar sekaligus sunyi.
Di depan rumah keluarga Wycliffe, sebuah kereta kuda hitam berlapis perak bersiap berangkat. Suara gemerincing tali kekang berpadu dengan embusan napas kuda, meresap ke udara pagi dan menorehkan rasa perpisahan yang getir.
Di dalam kabin, Evelina Grace Wycliffe duduk diam di pojok kursi beludru hijau tua. Tangannya menggenggam sapu tangan renda yang lembap oleh air mata. Ia tidak berbicara, tidak menatap jendela, hanya membiarkan tubuhnya berguncang seiring langkah kuda seperti boneka yang kehilangan jiwa.
Seorang suster tua duduk di seberang, memegang rosario dan berdoa. Doanya menyertai setiap dentum roda di jalan batu kruk-kruk… kruk-kruk…
Hari Pertama
Kereta melewati jalanan berliku, diapit pagar batu dan padang hijau muda. Ranting pohon willow menjuntai di tepi sungai, menari pelan mengikuti angin.
Di kejauhan, kebun apel baru bersemi, putih dan merah muda seperti kabut bunga. Evelina menatapnya sejenak, lalu menunduk lagi. Tangisnya tersedak, tertahan di tenggorokan, namun tawa getir pecah di bibirnya, hatinya remuk oleh patah hati. Semua keindahan itu justru memperburuk lukanya. Ia teringat taman kastanye tempat Vale membaca cerita, setiap kelopak bunga yang jatuh mengingatkannya pada mimpi manis yang hilang.
Saat suster menawarkan roti hangat dan teh, ia hanya menggeleng. Tenggorokannya kering, hatinya terlalu penuh untuk menerima apa pun. Evelina menatap pantulan wajahnya di kaca jendela lelah, asing, dan basah oleh air mata.
“Aku merindukanya,” bisiknya pelan. “Sangat rindu.”
Hari Kedua
Mereka berhenti di penginapan di tepi jalan menuju utara Oxfordshire. Langit sore memerah redup, menandai berlalunya hari dengan sunyi. Dari halaman terdengar kicauan burung robin yang riang, melompat dari ranting ke ranting, mengepakkan sayap kecilnya dengan cepat.
Kuda-kuda menunduk, leher mereka terikat di tiang halaman, diberi makan dan disisir bulunya. Kusir menyalakan lentera di sisi kereta, sementara suster menuntun Evelina untuk beristirahat.
Di ruang makan penginapan, aroma roti panggang dan madu memenuhi udara. Tapi Evelina tetap diam. Matanya bengkak dan kosong, keheningan memenuhi setiap sudut ruangan.
“Kau tidak lapar, Nak?” tanya suster lembut.
“Lapar bukan untuk tubuhku, Suster,” jawab Evelina. “Yang kosong ada di sini.” Ia menyentuh dadanya.
Suster hanya menghela napas dan merapalkan doa pendek. Malam itu, Evelina keluar sebentar ke beranda. Udara musim semi terasa menyegarkan, bulan terlukis sempurna di antara awan tipis. Ia menatap jalan yang telah mereka lalui, berharap, meski tahu tak akan ada yang menyusul.
Hari Ketiga
Kereta melaju kembali saat fajar. Embun menempel di rerumputan, cahaya pagi menembus kabut lembut di dataran tinggi Yorkshire. Ladang hijau terbentang luas, pohon-pohon muda mulai menumbuhkan daun. Burung camar melintas di udara, menandakan sungai tak jauh dari sana. Tapi bagi Evelina, semua itu hanyalah warna yang lewat tanpa makna.
Ia menatap langit dan berbisik dalam hati
“Andai aku lahir di dunia yang sama dengannya… mungkin ia tidak akan menolak.”
Saat matahari condong ke barat, lonceng gereja terdengar di kejauhan Dong… Dong… Dong… Biara tua St. Agnes muncul dari balik kabut, menara batu abu-abu menjulang, halaman dipenuhi bunga lili putih.
Kereta berhenti di depan gerbang besi besar. Suster turun lebih dulu, membantu Evelina keluar. Angin membawa aroma bunga dan dupa, tapi bagi Evelina, harum itu seperti doa bagi jiwa yang telah mati.
“Selamat datang di St. Agnes, anakku,” ucap suster.
Evelina menunduk. “Apakah di sini Tuhan menerima orang bodoh yang mencintai…?” Bibirnya bergetar, d**a terasa sesak.
Suster menggenggam tangannya dengan lembut. Evelina menatap kosong, hanya bayangan satu pria yang memenuhi matanya. Kereta kuda pun berbalik, suara sepatu kuda hilang di antara nyanyian burung.
Di halaman biara yang sunyi, Evelina berdiri di bawah cahaya sore lembut. Rambut pirangnya berkilau pucat diterpa sinar matahari, air mata membasahi pipi dan ujung jubah yang kini tampak kusam oleh debu perjalanan. Angin musim semi membawa aroma bunga apel dari kejauhan, mengembalikan bayangan seseorang yang berjanji akan datang lagi.
Ia menatap langit, berbisik lirih
“Apakah kau juga memikirkanku, Julian pujaan hatiku?”
Hanya dentingan lonceng biara yang menjawab, menggema ke desa, melintasi lembah dan ladang…
.... hingga ke Bathshire, tempat seorang pria menatap jendela ruang kerjanya, ditemani cahaya yang menyilaukan.
Ruang kerja Vale
Sore itu, cahaya dari jendela besar memantul di meja yang penuh laporan, surat, dan selembar kertas gading yang belum disegel. Surat itu sudah tiga kali ia tulis, tiga kali dibakar.
Tinta masih basah saat ia menulis
“Kau baik-baik saja di sana, Evelina?”
Ia menatap kata itu lama, seperti menatap kenangan paling indah sekaligus paling menyakitkan. Api perapian memantulkan cahaya di wajahnya, di matanya tajam dan lelah.
Vale berdiri di jendela, bayangan gadis itu menari di antara dahan kastanye muda. “Evelina…” Kata itu keluar perlahan, diseret dari d**a yang sesak.
Ia kembali ke meja, menatap surat yang belum selesai. Dalam d**a tumbuh keraguan antara ego dan kerinduan, antara logika dan perasaan yang tak bisa ia ingkari. Satu surat darinya cukup untuk menghancurkan ketenangan gadis itu.
“Aku berharap setiap malam kau menemukan kedamaian di tempat barumu. Percayalah, suatu saat kau pasti menemukan lelaki terbaik untukmu, Lady kecil. Segala yang tampak seperti perpisahan kadang hanyalah jalan Tuhan untuk menunjukan keselamatan.”
Tinta mengering sebelum ia sempat menulis nama. Vale tersenyum getir. “Keselamatan bagi siapa?” gumamnya. “Bagiku, atau baginya?”
Ia melipat surat itu, membakarnya di perapian. Kobaran api memantulkan cahaya di matanya yang basah. Abu beterbangan, ringan seperti salju musim dingin, menghilang bersama kata-kata yang tak pernah sampai.
Ketika api padam, hanya keheningan yang tersisa. Vale berdiri lama, mencoba menemukan makna dari keputusannya. Yang tersisa hanyalah kekosongan yang tak dapat ia jelaskan, bahkan pada dirinya sendiri.
Evelina menatap langit malam, bayangan Julian masih menari di pikirannya. Angin dingin membawa nama yang ingin ia dengar, dan di dadanya tersimpan rindu yang mendalam, sebuah pertanyaan membara apakah hatinya akan menemukan jawaban?
.