Surat yang Tak Pernah Dikirim

1669 Kata
FLASHBACK – Lima Belas Tahun Silam, Bathshire, 1917 Ruang baca keluarga Wycliffe sore itu dipenuhi aroma kayu manis dan debu buku tua. Di dekat perapian, Vale (32 tahun) duduk bersama Sir William Wycliffe, membahas politik dan tambang batu bara di utara Inggris. Cahaya api menyorot wajah Vale yang muda namun serius, sementara Sir William meminum tehnya dengan tenang. Dari balik tumpukan buku, muncul sosok gadis berambut pirang panjang, Evelina Grace Wycliffe (15 tahun). Gaun birunya sedikit kebesaran, dan pita di rambutnya miring ke samping. Tapi senyum manisnya, serta cara ia berjalan sambil memeluk boneka lusuh, membuat ruangan yang kaku itu tiba-tiba terasa hangat. “Daddy Julian datang lagi!” serunya riang sambil berlari kecil mendekati Vale. Sir William tertawa pelan. “Evelina, sayang, jangan ganggu tamu ayah.” Namun Vale hanya tersenyum lembut dan membuka tangannya, membiarkan gadis kecil itu duduk di pangkuannya seperti dulu saat Evelina berusia tiga tahun. “Tidak apa, Sir William,” katanya dengan nada hangat. “Aku rasa aku merindukan sambutan seperti ini.” Evelina menyandarkan kepalanya di bahu Vale. “Ayah selalu bilang Daddy Julian sibuk sekali. Padahal aku ingin Daddy bermain bersamaku,” ujarnya dengan suara manja. Julian tersenyum samar, menatap wajah muda yang dulu hanya ia anggap lucu, kini mulai menunjukkan kecantikan samar. “Daddy Julian cukup sibuk, sayang,” jawabnya pelan. Evelina menggembungkan pipinya. “Daddy bohong, kemarin aku lihat Daddy di perkebunan.” Sir William menatap mereka berdua sambil tersenyum penuh kasih, tanpa menyadari sesuatu sedang tumbuh di antara mereka, sesuatu yang bahkan Vale sendiri tak menyadarinya. Sore itu, dalam cahaya perapian yang lembut, tawa Evelina menggema di dinding ruang baca. Vale menatap gadis kecil itu lama, terlalu lama, sampai senyumnya berubah samar. Ia tidak berani menamai rasa ini. Sebelum Vale pulang, Evelina menggenggam ujung jasnya. “Daddy Julian, janji ya, Daddy akan datang lagi?” Julian menunduk, menatap mata biru cerah yang jernih. “Daddy Julian akan selalu datang, sayang,” katanya dengan suara pelan. Dan ia memang datang lagi dan lagi. Setahun berlalu tanpa terasa. Di antara musim dingin yang panjang dan kunjungan-kunjungan singkat, Evelina tumbuh, bukan hanya tubuhnya, tapi juga caranya memandang Julian. Musim semi datang dengan lembut ke Bathshire. Udara membawa wangi bunga apel dari kebun belakang rumah keluarga Wycliffe, dan di antara pepohonan yang sedang berbunga, suara tawa seorang gadis muda bergema lembut. Evelina Grace Wycliffe (16 tahun) berlari kecil di jalan berbatu menuju gerbang taman, gaun putihnya berayun, pita biru di rambutnya tertiup angin. Di tangan kirinya tergenggam sebuah buku puisi, di tangan kanan setangkai bunga liar yang baru ia petik. Ia tahu siapa yang sedang duduk menunggu di bangku taman di bawah pohon kastanye tua, Julian Vale (33 tahun). “Julian,” sapanya dengan senyum malu-malu yang tak bisa disembunyikan. Julian menoleh, tersenyum ringan seperti biasanya, tatapan matanya teduh tapi dalam. “Kau datang lebih awal, Lady kecil. Bukankah seharusnya kau membantu ayahmu menulis laporan tambang, Julian?” Evelina menggeleng, duduk di sampingnya. “Ayah selalu sibuk dengan angka dan surat. Aku lebih suka bermain dengan Julian, karena aku sudah dewasa, aku akan memanggil Julian, bukan Daddy.” Julian tertawa pelan, menerima buku di tangannya. “Aku sudah berjanji membacakan satu buku setiap musim semi, bukan?” katanya. “Ya, tapi kali ini aku ingin mendengarnya bukan sebagai anak kecil,” bisik Evelina lirih. “Aku sudah 16 tahun…” Nada suaranya membuat Julian terdiam sejenak, antara terkejut dan tidak tahu bagaimana menanggapinya. Ia kemudian membuka buku dan mulai membaca. Ia membaca halaman demi halaman, namun yang menatapnya bukan lagi anak kecil dengan boneka di tangan, melainkan gadis muda dengan mata yang berani memandangi lelaki dewasa seolah ia adalah dunia itu sendiri. Hari-hari berikutnya, Evelina kerap mencari alasan untuk datang ke mansion keluarga Vale. Kadang untuk mengantar surat ayahnya, kadang hanya untuk “meminjam buku dari perpustakaan yang besar itu.” Ia akan duduk di dekat jendela besar sambil berbicara dengan Julian yang sibuk memeriksa dokumen. Kadang ia pura-pura membantu, padahal hanya ingin mendengarnya bicara. “Julian,” katanya suatu sore, “apakah wanita seperti aku bisa menjadi istri bagi lelaki seperti kamu?” Vale menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Kau akan tumbuh menjadi wanita yang menawan, Lady kecil. Tapi untuk saat ini, kau terlalu muda untuk memikirkan hal-hal seperti itu.” “Tapi aku ingin menjadi seseorang yang bisa menemani kamu,” bisik Evelina. “Bukan hanya anak kecil yang bermain boneka.” Julian terdiam. Beberapa minggu kemudian, Sir William Wycliffe mendengar kabar dari para pelayan bahwa putrinya kerap mengunjungi mansion keluarga Vale seorang diri. Sore itu, ia memanggil Evelina ke ruang tamu. Cahaya lilin menyorot wajahnya yang tegas, dan surat-surat berserakan di meja kerja. “Evelina,” suaranya berat, “aku mendengar kau sering pergi ke rumah keluarga Vale.” Evelina mengangguk perlahan. “Aku hanya ingin belajar, Ayah. Pada Julian dan selalu bersikap baik saat di sana.” Sir William berdiri, tatapannya tajam namun penuh kesedihan. “Kau masih terlalu muda untuk memahami apa konsekuensi tindakanmu. Ia lelaki baik, tapi dunia tempat ia berdiri… bukan dunia kita.” Evelina menunduk, air mata menitik di sudut matanya. “Ayah tidak tahu apa-apa. Julian berbeda. Aku ingin menjadi istrinya suatu hari nanti.” PLAK! Suara tamparan itu memecah udara. Pipi kirinya langsung panas, berdenyut seperti terbakar. Rasa logam memenuhi mulutnya, dan pandangannya sempat buram sejenak oleh air mata yang tak tertahan. Pipi Evelina masih perih, tapi rasa marah di dadanya lebih menyengat. “Ayah nggak ngerti!” teriaknya, air mata menetes tanpa bisa ditahan. Ia mundur selangkah, menatap sosok ayahnya dengan campuran takut dan benci. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Evelina merasa sendirian di dunia ini. “Berhenti bermimpi seperti anak kecil!” suara Sir William gemetar, antara marah dan takut. “Nama kita terlalu kecil untuk menembus tembok bangsawan. Aku tidak akan membiarkan putriku menjadi bahan ejekan dunia mereka.” Evelina menatap ayahnya dengan mata berair. “Kalau Ayah tak mengerti.” Ia berlari keluar dari rumah, diterpa angin malam yang dingin, hujan mulai turun menembus gaun tidurnya. Kakinya berlari tanpa alas, hanya tahu satu tempat yang ingin ia tuju, mansion keluarga Vale. Hujan deras mengguyur halaman ketika Julian membuka pintu besar rumahnya. Evelina berdiri di ambang pintu, basah kuyup, rambutnya menempel di wajah. Air mata bercampur hujan di pipinya. “Evelina?” Julian menatapnya kaget. “Apa yang kau lakukan di sini?” Gadis itu terisak, memegang d**a. “Ayah menamparku. Ia tak mengerti, Daddy. Ia bilang aku tak pantas… tapi aku hanya ingin bersamamu.” Julian berdiri terpaku. Antara iba dan bingung, ia menuntunnya masuk, memberikan selimut, menyalakan perapian. Tapi saat Evelina mendekat, menggenggam tangannya, ia menarik diri dengan hati-hati. “Evelina, dengarkan aku,” katanya pelan. “Kau adalah gadis yang berharga, dan aku menyayangimu… tapi bukan seperti yang kau pikirkan. Hubungan kita.” “Jangan bilang hanya menganggapku anak kecil,” potong Evelina, suaranya bergetar. Julian menunduk, matanya redup. “Aku tak ingin melukaimu dengan kebohongan. Aku lelaki dewasa, dan kau masih remaja. Suatu hari nanti kau akan mengerti, dan mungkin berterima kasih karena tidak membalas perasaanmu.” Keheningan panjang mengisi ruangan. Evelina menatapnya lama, lalu melepaskan tangannya. Ia melangkah ke luar tanpa sepatah kata. Di luar, hujan mengguyur semakin deras. Langkah kecilnya menjauh di jalan berbatu, meninggalkan jejak air dan hati yang retak. Vale berdiri di depan jendela, menatap bayangan gadis itu perlahan menghilang dalam kabut hujan. Ia ingin berlari mengejarnya, tapi ini semua demi kebaikan bagi impian gadis berusia 16 tahun yang impulsif. Hujan malam itu belum juga berhenti hingga fajar. Bathshire terbungkus kabut tebal, dan rumah keluarga Wycliffe tampak sunyi. Sehari setelah Evelina berlari pulang dengan pakaian basah dan mata bengkak, Sir William berdiri lama di depan jendela ruang bacanya. Ia tak berkata apa-apa ketika putrinya datang memohon ampun. Hanya tatapan kosong, antara kasih sayang seorang ayah dan ketakutan akan masa depan anak gadisnya. Malam berikutnya, ia menulis surat panjang dengan tangan gemetar, surat yang ditujukan kepada Suster Agatha, pemimpin biara tua di wilayah Yorkshire, tiga hari perjalanan dari Bathshire. “Putriku, Evelina Grace, memerlukan ketenangan dan bimbingan rohani. Aku percaya biara St. Agnes dapat menuntunnya kembali pada kesederhanaan dan kebajikan yang selama ini nyaris ia lupakan.” Dua hari kemudian, kereta kuda berhenti di depan rumah. Evelina berdiri di tangga batu dengan koper kecil di tangan. Gaun krem sederhana membungkus tubuh mungilnya, dan topi jerami menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Tak ada tangisan. Tak ada perlawanan. Hanya keheningan yang panjang. Sir William berdiri di ambang pintu, menatap putrinya yang hendak pergi. “Maafkan Ayah, sayang. Dunia luar terlalu keras bagi gadis sepertimu.” Evelina menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Mungkin Ayah benar… mungkin aku memang terlalu bodoh untuk memahami cinta.” Kereta itu melaju perlahan meninggalkan halaman rumah, roda-rodanya membelah genangan air hujan yang belum sempat mengering. Dari jendela, Sir William hanya bisa menatap bayangan putrinya menjauh hingga menghilang di tikungan. Beberapa hari setelahnya, kabar keberangkatan Evelina sampai ke telinga Julian Vale (33 tahun) melalui pelayan tua yang dulu sering mengantarkan surat keluarga Wycliffe. Vale terdiam lama di ruang kerjanya, memegang pena tanpa menulis sepatah kata pun. Di mejanya masih tergeletak buku cerita yang pernah ia baca bersama Evelina di taman kastanye. “Dikirim ke biara…” gumamnya lirih. “Mungkin itu yang terbaik.” Ia menatap jendela besar, di luar langit tampak kelabu akan hujan malam ini. Dalam hatinya, ia tahu keputusan Sir William benar. Evelina harus belajar hidup tanpa bayang-bayangnya. Seorang gadis berusia 16 tahun tak seharusnya memelihara cinta yang terlarang untuk seorang pria sepertinya. Namun, di balik segala logika dan kehormatan yang ia junjung, ada satu hal yang tak mampu ia lakukan, menulis surat. Ia takut satu kalimat saja darinya bisa mengguncang ketenangan gadis itu. Maka ia memilih diam. Hari berganti bulan. Musim semi datang dan pergi. Evelina tetap di biara St. Agnes, jauh dari Bathshire, jauh dari dunia bangsawan, jauh dari dirinya. Dan Julian Vale, dalam kesepiannya yang tenang, meyakinkan diri bahwa itu adalah keputusan yang benar. Ia tidak tahu bahwa keheningan itu, justru menjadi luka pertama yang tak pernah sembuh dalam hati Evelina Grace Wycliffe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN