Tiga Jiwa di Bawah Cahaya Lilin

1505 Kata
Ketua sidang mengenakan jubah hitam dengan lambang kerajaan di dadaa berdiri di podium utama. Suara palu yang berat menggema di aula memaksa anggota parlemen terdiam dan menatap ke arah podium. “Rapat hari ini resmi dibuka,” Nadanya terdengar keras dan tegas. “Topik utama yang akan kita bahas adalah nasib Baron Julian Roderick Vale serta kasus kapal The Selene. Semua anggota diharapkan menyampaikan pendapat dengan jelas dan penuh pertimbangan.” Seorang anggota parlemen dari Partai Konservatif berdiri, suaranya lantang. “Kapten Rowley telah bersaksi bahwa 98 peti berisi senjata, peluru, dan misil adalah miliknya. Namun dengarkan baik-baik logikanya, satu peti saja bernilai setara gaji tahunan seorang kapten. Apakah masuk akal seorang kapten bisa membeli semua ini dari gajinya sendiri? Tentu tidak!” Ia menatap aula dengan mata menyala, nadanya semakin lantang. “Tidak ada cara seorang kapten memiliki sumber daya sebesar itu. Semua ini menandakan satu hal, Baron Vale dengan kekayaannya yang luar biasa harus berada di balik semua ini. Mengabaikan fakta ini sama saja membiarkan pengkhianatan terhadap kerajaan tanpa hukuman.” Seorang anggota parlemen lain dari Partai Buruh menegur dengan tenang. “Walaupun benar Kapten Rowley mengakui kepemilikan peti-peti itu, kita tidak bisa melihat kasus ini hanya dari sisi materi. Lord Vale dikenal luas karena amalnya, panti asuhan, rumah jompo, dan beasiswa bagi rakyat miskin. Menjatuhkan hukuman mati saat opini publik mendukung Baron akan memicu kemarahan rakyat dan propaganda musuh akan semakin mudah.” Anggota Partai Konservatif memotong dengan suara bergetar. “Opini publik bukan hukum yang berlaku. Apakah kita akan membiarkan rakyat percaya bahwa seorang kapten sendirian bisa membeli senjata dan misil senilai ratusan kali gajinya? Mustahil. Ini bukti bahwa Baron Vale mengendalikan operasi ini dari belakang.” Anggota Partai Buruh tetap tenang, menatap kolega mereka. “Kita bisa membingkai kasus ini sebagai sabotase dari luar kerajaan. Tampilkan seolah-olah operasi ilegal ini dilakukan oleh pihak ketiga yang ingin menjatuhkan kerajaan dan Baron. Dengan begitu, kita melindungi reputasi kerajaan dari publik, mengamankan opini rakyat, dan tetap menegakkan hukum tanpa menimbulkan protes yang meluas.” Ketua sidang mengetuk palu lagi. Debat di aula parlemen mencapai puncaknya. Suara anggota dewan bersahutan, tangan terangkat, dokumen terlempar ke meja, dan beberapa anggota berdiri sambil menunjuk rekan mereka. Aula yang luas itu kini dipenuhi napas terengah, bisik-bisik, dan gemuruh langkah kaki. Ketua sidang mengetuk palu memaksa ketenangan. “Cukup. Sidang akan melanjutkan ke pemungutan suara. Semua anggota diminta menentukan sikap apakah kasus Baron Julian Roderick Vale akan diteruskan atau ditutup demi kepentingan kerajaan dan opini publik.” Sekilas hening menyelimuti. Semua mata tertuju pada meja utama, sementara anggota mulai memberikan suara satu per satu. Jantung mereka berdebar, beberapa menahan napas, menyadari bahwa keputusan ini akan menentukan nasib Baron dan persepsi rakyat terhadap kerajaan. Seorang anggota Partai Konservatif mencoba berseru. “Kita tidak bisa menutup mata terhadap bukti logis. Baron pasti berada di balik semua peti senjata.” Seorang anggota Partai Buruh menatapnya tajam. “Kita berbicara tentang opini rakyat. Jika kita melanjutkan kasus, kemarahan rakyat bisa membakar citra kerajaan. Prioritas kita sekarang adalah menjaga stabilitas dan ketertiban.” Satu per satu suara anggota tercatat. Tangan terangkat, dokumen dicatat oleh panitera, dan bisik-bisik berubah menjadi tegang menunggu hasil akhir. Ketua sidang menepuk palu sekali lagi. “Hasil pemungutan suara telah dicatat. Lebih dari 70 anggota parlemen menyetujui penutupan kasus untuk meredam opini publik dan mencegah amarah rakyat yang semakin membesar.” Anggota Partai Buruh saling menatap lega, beberapa tersenyum tipis. Sementara kubu Partai Konservatif terlihat kesal, beberapa menutup mulut dan menundukkan kepala, menyadari bahwa logika dan bukti yang mereka pegang kalah dengan pertimbangan politik dan publik. Ketua sidang berdiri tegak, suaranya bergema di aula. “Sidang resmi mencatat keputusan, kasus Baron Julian Roderick Vale ditutup. Semua anggota diharapkan menghormati keputusan ini demi stabilitas kerajaan. Keputusan ini tidak meniadakan fakta hukum, namun dipilih demi ketertiban, opini rakyat, dan kepentingan kerajaan.” Aula perlahan kembali tenang. Di luar gedung, kabar penutupan kasus mulai menyebar. Rakyat yang selama ini berspekulasi, sebagian lega, sebagian penasaran, sementara kerajaan dan parlemen berhasil menahan gelombang kemarahan yang hampir membakar opini publik. Keputusan parlemen telah diambil. Nama Baron Julian Roderick Vale kini resmi dibersihkan dari tuduhan, namun bukan dari kecurigaan. Lima hari berlalu sejak kabar terakhir tentang The Selene. Setiap di balkon mansion tua milik keluarganya, Lord Vale menatap hamparan langit yang kosong, berharap munculnya postman yang tak kunjung datang. Namun pagi itu, langkah seekor kuda Thoroughbred terdengar di halaman. Seorang utusan kerajaan tiba Royal Messenger Dari punggungnya, seorang pria berseragam biru tua perlahan turun gerakannya tenang, penuh wibawa. Mantel panjangnya terbelah oleh angin, memperlihatkan kilau kancing logam berukir mahkota. Sepatu bot kulitnya menjejak genangan air, menimbulkan suara berat yang menggema di antara dinding batu. Di pundaknya tergantung tas kulit hitam bersegel lilin merah, lambang rahasia kerajaan yang hanya segelintir orang boleh menyentuhnya. Ia menundukkan kepala sejenak, menepuk leher kudanya yang basah oleh embun, mantel basah oleh embun. Di tangannya tergenggam selembar surat resmi Writs Lord Julian menerima surat itu tanpa sepatah kata. Segel lilin merah berlogo kerajaan terbelah ketika ia membukanya perlahan “Kepada Lord Julian Roderick Vale, Baronet yang terhormat, Dengan ini Anda dipanggil untuk hadir di hadapan Pengadilan Kerajaan guna memberikan keterangan terkait kasus kapal The Selene dan seluruh muatannya. Kehadiran Anda diwajibkan pada hari dan tanggal yang tercantum oleh pengadilan, tanpa pengecualian. Kegagalan hadir akan dianggap sebagai pelanggaran hukum dan dapat berakibat pada tindakan lebih lanjut oleh kerajaan.” Surat itu menutup dengan bunyi lembut, Lord Vale menggenggam surat itu erat, lalu berjalan perlahan menuju perpustakaan keluarga tempat yang menjadi saksi segala perenungan dan rahasia sejak masa leluhurnya. Rak-rak buku menjulang tinggi, menampung pengetahuan yang terselubung dalam sejarah keluarga Vale. Tangga kayu geser berderit halus saat angin malam menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka. Lilin-lilin di atas meja memancarkan cahaya lembut, menari di permukaan buku-buku tua, menebar aroma hangat kertas dan lilin yang menenangkan. Inilah sanctuary Lord Julian Roderick Vale tempat di mana kesunyian menjadi teman setia dan rahasia Di salah satu sudut ruangan, Evelina Grace Wycliffe tertidur di kursi tinggi. Rambut pirang keemasan yang bergelombang terurai di bahunya, sebagian menutupi punggung kursi. Kulitnya pucat dan halus seperti porselen, diterangi cahaya lilin, menambah kesan anggun dan cantik seolah ia adalah sosok dari lukisan klasik yang hidup di antara bayangan dan cahaya. Apa yang telah terjadi padaku…? Aku lelaki terhormat, namun pikiranku kini ternoda oleh keinginan yang bahkan tak layak disebutkan di hadapan Tuhan. Langkahnya bergeser nyaris tanpa suara, Dengan langkah setenang kabut pagi, ia mendekat pada sang Lady yang tertidur dalam keheningan lembut. Jemarinya terulur ragu, hampir menyentuh wajah yang tampak bagai porselen di bawah cahaya lilin. Ia terhenti antara keberanian seorang pria dan kesopanan seorang bangsawan menyadari bahwa bahkan sentuhan sekecil itu pun dapat membangunkan seluruh dunia yang ingin ia lindungi. Namun suara lembut, sehalus bisikan kain sutra, memecah udara malam itu. “Ah… rupanya Tuanku menemukan ketenangan baru di tengah kesunyian,” ucap suara yang begitu dikenal. Lord Vale berdiri tegak. Di ambang pintu berdiri Lady Isolde de Montclair, tunangannya, dalam gaun ungu tua yang berkilau redup di bawah cahaya lilin. Senyum yang menghiasi wajahnya lembutnamun mata birunya menyimpan tajam yang nyaris tak terlihat. “Tak kusangka,” katanya sambil melangkah perlahan ke dalam ruangan, “bahwa seorang lelaki yang baru saja dibersihkan namanya oleh parlemen akan mencari kedamaian di sisi seorang gadis lain ” Nada suaranya tidak meninggi setiap katanya terucap terasa dingin. Ia berjalan mendekat, jemari berbalut sarung renda menyentuh punggung kursi tempat Evelina tertidur. “Lima hari,” katanya lirih. “Sudah cukup lama, bukan? Cukup bagi seorang tunangan menahan gadis lajang di bawah atap yang sama dengan alasan yang begitu indah hingga nyaris terdengar masuk akal. Tuanku berkata, untuk melindungi. Tapi ini… seperti seseorang yang menangkap burung liar dan menaruhnya di kandang emas.” Ia tersenyum samar, senyum yang nyaris tak bisa disebut manis. “Dan anehnya, burung itu tampak begitu tenang di sana… seolah tidak sadar bahwa kebebasannya sudah Tuanku tukar dengan sangkar emas yang disebut kasih.” Lord Vale menatap dingin "Hubungan pribadiku tidak ada hubunganya dengan pernikahan kita Lady," Beralih menatap wajah Evelina Isolde mengangkat tangan menyentuh pelan lengan tunanganya, menahan kata-katanya dengan keanggunan seorang wanita “Jadi sekarang Tuanku tak sungkan mengakui Lady Evelina ini sebagai Mistress,” ucapnya lembut, “setiap dosa selalu lahir dari niat yang tampak mulia.” Ia menatap Evelina sejenak, lalu beralih kembali pada Julian. “Aku harap burung kecil itu terbang bebas suatu hari nanti. Sebab sang pemilik kandang… tampaknya mulai lupa bagaimana caranya membedakan antara melindungi dan memiliki.” Senyumnya mengabur, tinggal tatapan dingin “Selamat malam, Tuanku. Tidurlah dengan tenang dan mimpikan pernikahan indah kita .” Lord Vale berdiri diam di tempatnya. Matanya terpaku pada Evelina yang masih tertidur Kata-kata Isolde masih bergema dalam pikirannya burung liar di kandang emas. Ia tersenyum samar Jika kebebasan membuatnya menjauh, maka lebih baik sayapnya ku patahkan. "Sebab burung yang kehilangan sayap akan belajar mencintai sangkar tempat ia tingal Biarlah ia tak lagi terbang" Vale tersenyum tipis "Biarlah ia tetap di sisiku, meski dengan sayap yang tak utuh, bahkan burung tanpa langit pun masih bisa bernyanyi…dengan indah" gumamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN