Sebuah rasa tanpa nama

1613 Kata
BRAK! Lord Cedric Montague Vale memukul meja dengan keras. Beberapa kertas dan pena jatuh berserakan. Urat-urat di pelipisnya menegang. “JULIAN!!” suaranya bergemuruh seperti halilintar di dalam ruangan yang sunyi. Tinju keras menghantam pipinya. BUGH! Tubuhnya oleng. “Setengah aset keluarga disita kerajaan karena kecerobohanmu!” Lord Cedric mencengkeram kerah kemeja anaknya dan menariknya ke atas hingga wajah mereka hampir bersentuhan. Napasnya panas dan berat. “Perusahaan raksasa yang dibangun tiga generasi, hancur di tangan satu anak bodoh!” Ia menampar Vale keras sekali, dua kali, tak bahkan ia sudah tak ingat ini tamparan ke berapa. PLAK! … PLAK! … PLAK! Suara itu memecah udara. Pipi Vale langsung memerah, bibirnya pecah, matanya berair menahan perih. “Aku mempercayaimu, Julian! Aku menyerahkan nama keluarga Vale padamu!” Suara Lord Cedric bergetar marah. Ia menuding ke arah kepala anaknya, jari telunjuknya menusuk dahi Vale. “Apa yang kau pikirkan, hah?!” suaranya naik lagi, parau. “Kau pikir kekayaan dan kehormatan yang selama ini dijaga tiga generasi ini mainan?!” Ia mengebrak meja dan membanting gelas teh di atasnya. “Lihat aku!” hardik Lord Cedric, suaranya pecah. “Lihat ke mataku, dan katakan apa kau sadar apa yang telah kau lakukan?” Di mata ayahnya, Vale tak melihat kemarahan dan kebencian. Lord Cedric melepaskan cengkeramannya dengan kasar hingga Vale hampir terjatuh. Ia mengusap wajahnya sendiri. “Kau memalukan,” katanya lirih namun tajam. “Mungkin karena terlahir dari wanita rendahan itu...” Ia menatap Vale untuk terakhir kali, dingin dan berat, sebelum berkata pelan, “Keluar… sebelum aku benar-benar menganggapmu bukan anakku lagi.” Vale berdiri gemetar. Wajahnya basah oleh air mata yang tak bisa ia tahan. Ia membungkuk dalam, suaranya serak, “Ampuni aku, Ayah…” Namun Lord Cedric tak menjawab. Ia hanya membelakangi anaknya, menatap jendela besar yang menampilkan langit suram. Vale melangkah keluar dari ruang baca dengan tubuh terhuyung-huyung. Pintu besar di belakangnya tertutup perlahan, mengeluarkan suara berat. Wajahnya pucat, pipi kirinya memerah menyala dengan jejak lima jari yang membekas jelas. Bibir bawahnya pecah dan ada darah mengering di sudutnya. Rambut coklatnya berantakan, beberapa helai menempel di kening karena keringat dingin. Matanya merah dan basah. Kerah kemejanya masih kusut, setengah terbuka akibat cengkeraman ayahnya tadi. Ia mengusap wajahnya dengan punggung tangan. Langkah Vale terhenti mendadak di lorong panjang. Di ujung sana, berdiri Evelina, diam, anggun, dan tampak rapuh dalam gaun polos berwarna biru lembut. Cahaya jingga yang menembus kaca patri membuat sosoknya tampak seperti lukisan hidup. “Lord Vale…” suara Evelina pelan dan hati-hati. “Apakah Anda… baik-baik saja?” Vale terdiam. Ia menunduk cepat, menyembunyikan wajahnya yang berantakan pipi memerah karena tamparan, bibir pecah, mata yang masih basah. Ia tak sanggup menatapnya. Ia tak sanggup memperlihatkan sisi yang memalukan ini kepada Evelina. “Aku baik-baik saja,” ujarnya datar. Gadis itu melangkah pelan, rok birunya bergoyang lembut seiring langkahnya. Tatapannya menelusuri wajah Vale yang menunduk, melihat luka. “Tidak,” katanya pelan tapi tegas, menyentuh pipi Vale yang memerah dengan lembut. “Aku mendengar semuanya,” Evelina lirih meraba bibir berdarah Vale. “Tentang apa yang terjadi dengan ayah Anda.” Vale terdiam. Matanya menatap lantai, suaranya parau ketika menjawab, “Kalau begitu… kau juga tahu bahwa aku pantas mendapatkannya.” Evelina menggeleng perlahan. “Saya tidak tahu orang sebaik Tuanku pantas mendapat…” Suaranya melembut, “…tidak ada seorang pun yang pantas dipukul seperti itu.” Evelina menggenggam tangan Vale menuju kamarnya. Vale merasakan jemarinya kaku saat menyentuh tangan gadis itu. Ada sesuatu yang bergejolak di dadanya. Pintu kamar itu berderit pelan saat ia mendorongnya. Aroma lembut mawar segera memenuhi hidung Vale samar, manis, dan anehnya menegangkan. Mata Vale melihat sosok gadis itu berdiri di depan meja kecil, punggungnya menghadap ke arahnya, bahunya bergerak perlahan, sibuk mengelap noda merah di dahi dengan kain putih. Rambut Evelina yang jatuh memantulkan kilau keemasan halus. Seketika, sebuah ide muncul di kepalanya sedikit licik. Dengan langkah pelan, ia menggigit bibir bawah, lalu pura-pura meringis. “Ah… ah…” serunya lirih, cukup untuk membuat Evelina menoleh. Tatapan panik Evelina langsung berpindah ke mata Vale. “Ya Tuhan, apakah sakit!” meniup kecil jari-jarinya yang mungil menyentuh kulit di dekat luka itu. Setiap sentuhan terasa seperti percikan hangat yang merambat ke seluruh tubuh Vale. Ketika Evelina meniup perlahan luka di dahinya, ia hampir kehilangan napas. “Apa masih sakit?” tanyanya lembut, begitu dekat hingga napasnya menyapu kulitnya. Ia hanya bisa menatap, berpura-pura meringis kecil, padahal di balik semua itu, jantungnya berdetak tak karuan karena menikmati perhatian yang akhirnya ia dapatkan. Vale menunduk perlahan dan dahinya bersandar lembut pada perut Evelina. Evelina tertegun, kedua tangannya terhenti ragu dan mencoba mendorong bahu Vale. “Tuanku… mohon… jangan seperti ini,” ujarnya dengan suara pelan. “Tuan telah bertunangan. Aku akan menjadi buah bibir jika ada yang melihat.” Plak… Plak… memukul bahu dan punggung Vale. Namun Vale tidak bergeming. Ia menarik napas berat sebelum akting selanjutnya. “Jangan pergi dulu,” katanya lirih. “Kepalaku sungguh terasa sakit.” Kini kedua lengan dengan berani melingkari pinggang Evelina. Evelina terkejut, matanya membulat tak percaya dengan apa yang sekarang dia lakukan dengan pria yang sudah bertunangan di dalam kamar. Satu helaan napas panjang. “Baiklah… hanya sebentar, Tuanku,” mencoba mentolerir. Makin lama tubuh Evelina makin didorong hingga tertidur di atas ranjang. Detak jantung pria itu berpacu cepat, sementara jemari Evelina menggenggam punggung Vale. “Eh… tunggu… Tuanku… Tuan…” mencoba membangunkan dengan cengkraman kuat membuat baju Vale kusut. Di balik kepalanya yang bersandar, Vale menyeringai mengetahui taktik ini berhasil. Vale tinggal mencari cara agar ayahnya memukulinya lagi kalau perlu hingga patah tulang agar mendapat perhatian dan menahan Evelina. Evelina terdiam menatap kamarnya dengan perasaan bingung, tak sanggup bergerak tubuh Vale yang lebih besar. Vale terbaring di atas perutnya. Ia dapat merasakan berat tubuhnya, hangat napasnya yang turun naik di perutnya sendiri. Udara di kamar menjadi sesak oleh keheningan yang panjang. Sementara itu Vale di atasnya tak berkata apa-apa, menikmati akting tertidur. Ia hanya diam, matanya terpejam, tengah menahan debar yang nyaris membuatnya kehilangan kendali dan gila. Rasa hangat yang ia rasakan seperti menenangkan, bisa membuatnya bernafas dengan semua masalah yang baru dilalui. Ada ketenangan aneh di sana. Vale ingin waktu berhenti. Rasanya pinggang Evelina terlalu kecil dan ramping. Vale merasa harus memberitahu dapur agar menyiapkan cemilan ekstra. Jemari Vale sedikit bergerak, merasakan setiap inci sentuhan yang mendebarkan. Lamunan dan kesenangannya terganggu ketika pintu yang setengah terbuka menampilkan sosok sahabat Evelina sekaligus pelayan, Marianne, dengan wajah terkejut. “…M… My… Lord?” suaranya tercekat. Marianne membungkuk memberikan hormat dan tidak berani menatap ke arah lain kecuali lantai marmer, kedua tangannya gemetar meremas celemek setengah basah yang ia kenakan. Evelina berusaha bangun dan mendorong Vale. “Marianne! Ini tidak seperti yang kau…” Namun sebelum sempat ia bangun, tangan Vale sudah naik hingga bahu Evelina, menariknya kembali ke posisi semula. “Diam,” bisik Vale dengan nada tegas, masih setengah menutup mata. “Aku baru saja tertidur nyenyak setelah merasakan sakit. Jangan buat keributan.” Ia menggesekkan kepalanya di perut Evelina sambil mendengus manja, membuat Evelina terkejut serta menggeleng menatap sahabatnya. Evelina menatap Vale tak percaya. “Tuanku…! Ini bukan saatnya berpura-pura tidur!” memukul kembali punggung Vale. Pelayan muda di ambang pintu, Marianne, terdiam, merasa jika salah langkah maka pekerjaannya bisa saja hilang. Tatapannya beralih antara Tuan-nya yang tadi ditemui di ruang baca dengan aura dingin dan mengintimidasi, namun kini memeluk sahabatnya seperti anak kucing kecil pada induknya, dan sahabatnya yang berjuang melepaskan diri dengan wajah semerah tomat matang. “Bawakan cemilan dan teh,” suaranya seperti perintah lembut. “Katakan kepada Colette, untuk menambahkan cemilan dua atau tiga kali dalam sehari untuk Lady.” Marianne melihat lagi tatapan itu, di ruang baca membuatnya bergidik ketakutan. “Apa?! Kau yang…” Evelina mencoba menepis pelukannya, tapi semakin keras ia mendorong, semakin erat tenaga Vale mengunci pinggangnya. “Marianne, dengar aku! Ini salah paham besar!” seru Evelina dengan nada tinggi. Namun Vale hanya tersenyum samar di atasnya, suaranya rendah dan tajam, “Jika kau belum berangkat ke dapur, aku akan memecatmu tanpa surat rekomendasi.” Ancaman itu berhasil. Marianne akhirnya menunduk dalam-dalam, wajahnya merah padam sampai ke telinga. “S-saya… akan ke dapur, Tuanku.” Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik cepat, hampir menabrak pintu sebelum menutupnya rapat-rapat. Begitu suara langkah Marianne menjauh, Evelina langsung menatap Vale dengan tatapan menyala. “Kau sadar apa yang baru saja terjadi?! Sekarang dia pasti mengira…” Terhenti ketika menyadari sedari tadi Vale menatap dengan jarak sedekat ini. “Bahwa aku menyukaimu?” potongnya santai, masih enggan melepaskan pelukannya. “Bukan itu maksud saya, Tuanku!” Evelina mendesis, kedua tangannya mendorong d**a Vale yang keras seperti batu. “Lepaskan saya!” untuk kesekian kalinya Evelina mencoba. “Tidak mau,” jawabnya lembut, diiringi senyum. “Kalau aku lepaskan, kau pasti kabur dan terbang menjauh ke tempat di mana tak terjangkau olehku.” Tatapan sendu seorang pria yang baru pertama kali Evelina lihat selain dari mendiang ayahnya. “Tapi anda sudah memiliki semuanya bahkan sudah bertunangan?” sindir Evelina, sudut bibirnya terangkat dingin. Pria itu menahan tawa yang tertahan di tenggorokannya. “Dengan semua yang aku miliki, masih tidak bisa menjangkaumu,” bibirnya menyinggung senyum kecil. Evelina menatap tajam. “Saya terlihat seperti gundik sekarang.” “Kalau kau katakan begitu, kedengarannya seperti kita melakukan sesuatu yang buruk.” “Karena memang begitu!” Evelina mencengkram lengan Vale. Evelina kembali berusaha mendorongnya, tapi lengannya terlalu kuat. Semakin ia marah, semakin Vale menatapnya dengan sorot mata yang aneh. “Lepas,” bisik Evelina, kali ini suaranya tidak setegas tadi. “Tunggu sebentar saja,” balasnya pelan. “Setelah semua keributan ini, pelukanmu rasanya menenangkan.” Vale hanya tersenyum puas, masih menahan pelukannya... ​
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN