"Minimarketnya Abah Sukri masih rame, Sa?" tanya Taka.
"Makin sepi semenjak ada minimarket baru itu, Ka," jawab Yusa.
"Gak niat pindah? Bosen kan pasti jaga toko sepi?"
"Iya," jawab Yusa singkat. Ada sedikit sesal di benaknya ketika tak ada lagi pertanyaan dari Taka.
Mereka menyusuri jalanan berpaving itu hingga sampai di tempat biasa gerobak nasi pecel itu mangkal.
Sumi terlihat sedang menyapu tempat jualannya. Yusa segera membantu menyiapkan meja lipat dan bangku plastik untuk pelanggan yang nanti akan menyantap nasi pecel di sana. Sedangkan Taka meraih gilungan terpal dan membantu memasang peneduh di atas tempat makan pelanggan.
"Kamu gak telat ke toko, Ka?" tanya Yusa.
"Masih pagi. Tadi sebenarnya niat jemput Risa, tapi ternyata dia pulang bareng temannya," jawab Taka seraya mengikat terpal pada tiang penyangga.
Yusa hanya mengangguk dan beralih menghampiri gerobak dan merapikan tempat lauk pauk yang ada di dalam etalase.
"Nak Taka, Ibuk bawain bekal nasi pecel, ya? Buat sarapan di toko?" tanya Sumi.
Tanpa menunggu jawaban dari Taka, Sumi mengambil selembar kertas bungkus dan menyiapkan seporsi nasi pecel spesial untuk Taka.
"Ibuk belum dapat pelanggan tapi udah ngasih ke saya," ucap Taka segan.
"Enggak apa, wong buat calon mantu sendiri," goda Sumi sumringah.
Yusa melihat binar kebahagiaan di mata ibuknya ketika mengatakan hal itu. Harapan bapak dan ibuknya memang hubungan Taka dan Risa bisa berakhir di pelaminan. Pasti kehidupan mereka akan lebih baik karena Taka pasti akan membantu perekonomian keluarga.
"Buk, Yusa udah selesain semua," ujar Yusa.
"Iya, Nduk. Kamu buruan berangkat, nanti telat," sahut Sumi.
Yusa meraih tangan sumi dan mencium punggung tangan itu. "Assalamu'alaikum," salamnya.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati, Sa."
Yusa menatap Taka sebelum pergi. "aku tinggal dulu ya, Ka. Makasih udah bantu ibuk," ujarnya.
"Santai aja," jawab Taka.
Yusa beranjak pergi menuju ke tempatnya bekerja yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat ibuknya berjualan. Sebenarnya ia masih punya banyak waktu sambil menunggu minimarket buka. Tapi, menunggu di warung bersama Taka tidak membuatnya terlalu nyaman. Karena itu Yusa lebih memilih menunggu di depan toko saja.
Baru setengah jalan, Yusa mendengar suara motor Taka yang semakin mendekatinya. Motor itu berhenti di bahu jalan.
"Mau bareng, Sa?" tanya Taka dari balik helm fullface-nya.
Yusa tersenyum tipis dan menggeleng. "Makasih, Ka. Aku jalan aja," jawabnya. Ia tahu jika Taka hanya berbasa-basi.
"Aku berangkat dulu, Ya."
"Taka!" panggil Yusa sebelum pria itu benar-benar beranjak pergi.
"Hm?"
"Punya waktu sebentar?" tanya Yusa.
Pria itu mengangguk kemudian menepikan motornya di halaman ruko yang masih tertutup. Ia membuka helm dan meletakkan di atas tangki bensin. Kedua tangannya berpangku di atas helm, menatap Yusa dan mendengar apa yang ingin dibicarakan Yusa.
Yusa masih terlihat ragu, terlebih lagi ketika pria itu terus menatapnya. Sangat membuat canggung.
"Ayah bicara apa padamu?"
Yusa terkejut mendengar pertanyaan Taka. Ia tidak menduga jika Taka bisa menebak apa yang ingin dibicarakannya.
"Ayahmu mengkhawatirkanmu, Ka," jawab Yusa, "bukannya aku ingin menasihatimu. Aku sadar sebenarnya nggak pantas bicara hal ini. Tapi aku punya amanah dari Pak Cahyadi yang harus kusampaikan."
Taka mengangguk, "sampaikan saja."
"Ayahmu sebenarnya ingin kamu lebih fokus dengan masa depanmu. Beliau takut tidak punya banyak waktu dan kamu masih saja bermain-main dengan temanmu, tanpa fokus ke toko," jelas Yusa.
Tak tersenyum kecil, "itu aja yang ingin kamu sampaikan?"
Yusa mengangguk. "Maaf jika membuatmu tersinggung,"
Taka tertawa kecil. "Kamu masih saja polos, Sa."
Yusa mengernyit heran.
"Bukan itu yang dimaksud ayahku."
Penjelasan Taka membuat Yusa semakin heran.
"Kamu aku tahu sendiri nanti," jelasnya. Ia kembali memakai helmnya dan menyalakan mesin motornya. "Aku pergi dulu," ucapnya kemudian pergi meninggalkan Yusa dalam keadaan bingung.
Yusa hanya bisa memandang kepergian Taka dengan keharanan. Apa yang dimaksud Taka barusan? Apa dia kurang memahami permintaan Cahyadi?
Gadis berkerudung hitam dengan seragam merah berlogo minimarket itu menghela napas panjang. Untuk sekian lama ia tak bicara sepanjang ini dengan Taka. Namun, sekalinya mereka berbicara, Yusa malah membuat Taka kecewa karena kebodohannya.
"Yusa!"
Panggilan seorang pria yang memakai seragam yang sama membuat Yusa mengalihkan perhatian dari sosok Taka yang sudah tak terjangkau.
Itu Bagas, anak kampung sebelah yang juga bekerja di tempat yang sama dengan Yusa sebagai pramuniaga. Mereka satu shift pagi ini. Ia berlari menyusul Yusa.
"Pagi banget, Sa?" tanya Bagas dengan napas yang tersenggal-senggal.
"Bantuin ibuk dulu tadi," jawab Yusa.
Keduanya mulai berjalan menuju tempat kerja mereka.
"Sa! Ibukku lagi nyari orang nih buat kerja di Surabaya. Gajinya gedhe banget!" ujar Bagas.
"Kamu mau keluar?" Yusa memperjelas maksud Bagas.
"Bukaaaan! Aku tuh nawarin kamu!" jelas Bagas yang mulai gemas.
"Kenapa nggak kamu aja?" tanya Yusa.
Bagas menggeleng, "mau sih. Tapi kata ibukku butuhnya cewek."
"Kerja apa sih, Gas? Aku cuma punya ijasah SMP, loh."
"Gak butuh ijasah. Kerjanya cuma jagain nenek tua aja. Anak-anaknya sibuk kerja di luar kota!" Bagas terlihat sedikit emosi menjelaskan.
"Pasti kesepian banget, ya?"
Bagas mengangkat kedua bahunya sambil mencebik. "Mau nggak, kamu? Gajinya lima kali lipat dari gajimu di toko, Sa."
"Serius?"
"Ntar pulang kerja kamu ke rumahku deh, tanya langsung ke ibukku."
Yusa mengangguk. Ia sudah membayangkan gaji yang lima kali lipat dari gajinya di minimarket. Tak sebesar Risa, tapi ia bisa membantu melunasi hutang bapak dan ibuknya.
???
Karena sangat penasaran dengan pekerjaan yang ditawarkan Bagas, pulang dari tempat kerja Yusa pergi ke rumah rekan kerjanya itu.
Riani, ibu Bagas membenarkan penjelasan putranya pada Yusa. Riani menjelaskan lebih detail lagi pada Yusa. Wanita muda itu merasa pekerjaan yang ditawarkan Riani tak terlalu sulit dan dia bisa melakukannya.
Yusa meminta waktu pada Riani untuk meminta ijin pada kedua orangtuanya. Jika diperbolehkan, ia ingin menerima tawaran itu.
Malam harinya, pulang dari belanja rutin. Yusa mencoba membicarakan rencananya untuk bekerja di luar kota pada bapak dan ibuknya. Ia menyampaikan ulang apa yang didengar dari Riani tadi pada kedua orang tuanya.
"Bapak sih setuju aja, Nduk," sahut Yudi yang sibuk menggosok sepatunya di kursi ruang tamu, "tapi Ibukmu itu pasti berat nanti," lanjutnya.
Benar, Yusa baru teringat tugas-tugasnya di rumah ini. Jika ia tidak ada, siapa yang akan membantu ibuknya mengurus rumah?
"Ibuk pikirin dulu ya, Nduk. Minta waktu bentar sama Bu Riani buat mikir," sahut Sumi.
Yusa mengangguk, ia tak berani mendebat dan melanjutkan membantu ibuknya memotongi sayuran yang akan dimasak besok.
"Ibuk sebenernya seneng kalau kamu punya gaji lebih, bisa bantu keuangan di rumah. Tapi Ibuk bingung juga, nanti siapa yang bantu-bantu, Nduk?" Sumi justru balik bertanya pada Yusa.
"Gimana kalau kamu berhenti dari laundry, Buk? Jualan pecel aja. Jadi kamu bisa ngurus rumah. Toh, nanti gaji Yusa cukup buat tambah-tambah keuangan kita." Yudi mencoba membujuk istrinya.
"Iya, Buk. Biar Ibuk nggak kecapekan kerja dari subuh sampai sore. Yusa yakin bisa bantu keuangan keluarga kita," bujuk Yusa.
Sumi terlihat berpikir. Sambil menunggu jawaban dari ibunya, Yusa melanjutkan memotong sayur-mayur.
"Ya sudah, Nduk. Terima saja tawarannya," jawab Sumi.
"Serius boleh, Buk?" tanya Yusa berbinar.
Sumi mengangguk.
"Alhamdulillah, makasih ya, Buk." Yusa memeluk ibunya erat-erat.
"Iya, Nduk. Jaga diri di sana. Kalau diajak ngomong orang didengerin baik-baik, biar nggak disalah-salahin," ujar Sumi.
"Iya, Buk. Yusa bakalan inget pesen Ibuk," sahut Yusa.
Ia tak henti berucap syukur. Memotong sayur dan menyiapkan bahan masakan untuk besok pagi ia lakukan dengan lebih semangat. Yusa sudah sangat tidak sabar untuk memberitahu kabar ini pada Riani.
???
Pagi sebelum Yusa berangkat ke tempat kerja, ia mampir terlebih dahulu ke rumah Bagas untuk memberitahu jika ia sudah mendapat ijin dari kedua orang tuanya. Tentu saja Riani sangat senang mendengar hal itu.
"Kamu segera minta ijin resign dari toko, Sa. Kalau sudah beres, baru kuantar ke Surabaya. Kalau bisa jangan lebih dari seminggu ya, Sa." jelas Riani.
"Iya, Buk. Nanti saya bilang ke Abah Sukri."
"Ya sudah, Ibuk ngabarin orangnya dulu."
"Iya, Buk. Kalau begitu saya berangkat ke toko dulu ya, Buk. Assalamu'alaikum," pamit Yusa.
"Iya, Sa. Wa'alaikumsalam."
Yusa pun bergegas menuju ke rumah pemilik minimarket tempatnya bekerja. Tak jauh, hanya berjarak beberapa meter dari minimarket. Ia meminta ijin untuk berhenti bekerja. Abah Sukri sebagai pemilik tempat kerja merasa berat jika Yusa berhenti, sebab dia adalah pegawai terlama yang berkerja di tempat mereka.
"Nunggu beberapa hari dulu ya, Sa. Abah cari pegawai baru buat gantinya kamu," usul pria tua bernam Sukri itu.
Yusa mengangguk. "Tapi saya tidak bisa lebih dari seminggu ya, Bah."
"Semoga cepat dapat ganti kamu, Sa."
"Aamiin. Kalau begitu saya pamit ke toko dulu, Bah. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam."
Yusa keluar dari rumah Sukri dengan senyum merekah. Senyum yang sejak semalam terus mengembang di bibirnya. Bahkan ketika Risa mencari masalah dengannya tadi pagi, ia bisa mengabaikannya begitu saja.
"Nggak biasanya kamu jalan sambil senyum-senyum gitu, Sa?"
Yusa mengangkat kepalanya, melihat ada Taka yang berjalan di sampingnya.
"Sejak kapan kamu di sini, Ka?" Yusa balik bertanya.
"Aku dari sana tadi." Taka menunjuk arah depan, "aku nyapa, kamu cuekin. Malah senyum-senyum sendiri."
"Maaf, Ka. Kepikiran yang lain," jawab Yusa menyesal.
"Punya cowok, kamu?"
Yusa sedikit kaget dengan pertanyaan Taka.
"Bercanda ...," sahut Taka dengan senyum jahil ketika melihat perubahan wajah Yusa. "Memangnya kamu mikirin apa?"
"Aku dapat kerjaan di Surabaya, Ka."
"Surabaya?"
Yusa mengangguk.
?Bersambung?