02

1025 Kata
Ketika Cahyadi meneguk air minum, Yusa pergi membersihkan pecahan gelas di lantai. "Buk Sri ke mana, Pak? Kok tumben jam segini gak ada?" Yusa menanyakan keberadaan asisten rumah Cahyadi. "Masih nebus obat ... Taka lagi gak di rumah, pergi touring sama anak karang taruna, jadi Buk Sri yang ambil," Yusa tersenyum simpul kemudian kembali melanjutkan membersihkan pecahan gelas. "Nduk ...," panggil Cahyadi ketika Yusa hendak beranjak pergi. "Sini sebentar," pintanya. Yusa meletakan barang-barang yang dibawanya ke sudut kamar kemudian menghampiri Cahyadi. "Kenapa, Pak?" "Bapak lihat-lihat kamu sama Taka itu semakin jauuuuh sekali," Yusa tersenyum dan mengangguk, "karena kesibukan masing-masing, Pak," jawabnya. "Taka itu makin hari makin gak bener pergaulannya, Nduk. Bapak itu khawatir kalau umur bapak gak panjang dan dia masih gitu-gitu aja dengan teman-temannya," "Tapi Taka masih tetap baik dan bakti sama Bapak," Cahyadi mengangguk. "Iya ... tapi, Bapak rasa dia butuh orang yang bisa mendengarkan keluh kesah dan memberinya nasihat atau motivasi biar hidupnya jadi lebih baik." Yusa mengangguk. "Bapak minta tolong sama kamu ya, Nduk. Kamu mau ya nemenin dan bantu Taka biar hidupnya gak berantakan gini. Kamu satu-satunya wanita baik yang ada di sekitar Taka." "InsyaAllah, Pak." "Makasih ya, Nduk ... Bapak berterima kasih sekali ke kamu," "Iya, Pak. Sama-sama ...," Yusa kembali melanjutkan kegiatannya. Ia juga membantu menyiapkan apa yang diperlukan Cahyadi barulah ia bergegas pulang. Rumah Yusa di jam segini sangat sepi. Pulang dari berjualan nasi pecel, Sumi pergi bekerja sebagai buruh setrika di sebuah laundry yang masih berada di komplek perumahan mereka. Sedangkan Yudi, pastilah sedang tidur karena seminggu ini mendapat giliran jaga malam. Kedua orang tuanya harus banting tulang membayar hutang-hutang yang mereka gunakan untuk semua kebutuhan Risa terdahulu. Terkadang Yusa kasihan melihat orang tuanya, banting tulang memberikan yang terbaik untuk adiknya. Tapi, Risa tidak peka terhadap keadaan. Risa hanya membantu membayarkan kebutuhan pokok saja. Usai menyelesaikan salat Ashar, Yusa mengerjakan rutinitasnya. Seperti mencuci bekas tempat lauk pauk yang dibuat jualan ibunya, membersihkan rumah, memasak. Dan usai salat Maghrib, ia pergi ke pasar untuk berbelanja bahan masakan yang akan dibuat ibunya berdagang esok hari. Seperti itulah rutinitasnya setiap hari, hidupnya sibuk mengurusi orang lain dibanding dirinya sendiri. ??? Hari ini Yusa berangkat bekerja lebih awal. Ia membantu ibunya mendorong gerobak pecel ke tepi jalan raya sebab sang Ayah belum juga pulang. Jarak dari rumah mereka ke jalan raya yang lumayan jauh membuat Yusa tak tega jika harus membiarkan Ibunya mendorong gerobak yang berat seorang diri. Tiba-tiba saja perhatian Yusa dan Sumi teralih ketika sebuah motor berhenti di samping mereka. Pria berpakaian serba hitam membuka kaca helm fullfacenya. "Nak Taka?" seru Sumi pada pengendara motor sport berwarna hitam itu. "Buk Sumi, saya antar ke depan saja ya." Pria bernama Taka menawarkan diri. Sumi menatap putrinya, "Ibuk ikut Nak Taka ya, Sa?" Yusa mengangguk, ia pun membantu Ibunya untuk naik di motor yang tinggi itu. "Makasih ya, Ka," ucap Yusa. Taka mengangguk kemudian melajukan kendaraannya, sedangkan Yusa kembali mendorong gerobak. Baru beberapa langkah, ia harus menghentikan kakinya karena sebuah mobil yang berhenti di seberang jalan. Wanita cantik berambut sebahu dengan pakaian kantoran yang rapih berjalan menghampirinya. Wajah angkuh itu tak mengurangi kecantikannya. Risa selalu terlihat menawan, kapanpun dan di manapun. "Kunci rumah mana? Kunciku hilang!" pinta Risa. "Tunggu aja, habis ini kan bapak pulang!" tolak Yusa seraya melanjutkan langkahnya. "Jangan mulai deh, Sa! Aku dah capek habis dari luar kota." "Kalo aku kasih kamu kunciku, bisa-bisa jadi aku yang gak bisa masuk rumah!" Bukan Risa namanya jika menyerah dengan omongan kakaknya, ia menarik Yusa hingga membuat gerobak hampir terhuyung. Untungnya reflek Yusa sangat bagus dan segera menahan gerobak agar tidak sampai terguling. "Astaghfirullahaladzim, Ri!" sentak Yusa. "Ini dagangan ibuk, loh!" "Bodo amat! Kalo kenapa-kenapa yang salah tetep kamu ...." Risa merogoh saku baju Yusa dan mengambil paksa kunci rumahnya. "Ya Allah, Ri ... bisa-bisanya kamu gak ngerasa bersalah mau rusak rezeki ibuk. Dari ini ibuk banting tulang bayar hutang-hutangnya!" "Jadi ustadzah aja sana, ceramahin orang lain. Eh, tapi ... siapa juga yang mau dengerin ceramah orang yang gak lulus sekolah sepertimu?" ejek Risa ditutup dengan tawa sinis kemudian ia beranjak pergi. Yusa hanya menghela napas. istighfar diucapkannya berkali-kali dari bibir tipisnya dan kenangan buruk itu kembali terngiang di kepalanya. Jika bukan karena sibuk mengurus rumah dan menjaga adiknya, tentu saja Yusa tak akan sering tinggal kelas dan berakhir dengan dikeluarkan dari Madrasah Aliyah tempatnya menuntut ilmu. Dia sadar diri kalau memang tidak pintar, dia juga jarang belajar karena sibuk mengurus sesuatu yang sebenarnya bukan kewajibannya. Mau menyalahkan orang lain hanya membuat dendam. Mungkin sudah nasibnya untuk putus sekolah. Kecewa pasti ada, tapi hal itu tak akan merubah apapun. Wanita berhijab hitam itu kembali mendorong gerobak dengan hati-hati. Masih setengah perjalanan lagi dan ia tak mau ibunya marah karena menunggunya terlalu lama.Samar-samar ia melihat di depan sana ada seorang pria yang barusan mengantar ibunya sedang berlari menghampirinya. Yusa terus mendorong gerobaknya hingga bertemu dengan pria tersebut. "Di mana motormu, Ka?" tanya Yusa. "Di tempat ibuk kamu," jawabnya dengan napas tersenggal-senggal kemudian memberi isyarat agar Yusa menepi. "Kenapa, Ka?" tanya Yusa seraya bergeser. Taka hanya tersenyum dan menggantikan wanita itu mendorong gerobak. "Ka—" "Sebagai ucapan terima kasih karena kemarin kamu sudah bantu ayahku," jelas Taka. Ia tak memberi kesempatan Yusa melayangkan protes. Yusa pun pasrah, ia berjalan mengikuti langkah Taka. Bukan di samping, melainkan selangkah di belakang pria tersebut. "Terima kasih sudah membantu ayah kemarin, Sa." "Iya, Ka ... sama-sama." Tak ada pembicaraan lagi di antara keduanya. Yusa hanya terus menatapi punggung Taka. Pria itu tinggi, meskipun sedikit kurus ia mempunyai punggung yang lebar dan bidang. Rambutnya khas anak muda jaman sekarang. Sisi kanan,kiri dan belakannya dipangkas tipis, menyisakan rambut lebat diatas yang selalu ia kuncir. Taka bukan orang yang tampan, tapi wajahnya mampu membuat orang lain betah memandangnya. Termasuk Niyusa Bina. Sejak kecil Yusa sudah dibuat kagum dengan sosok Gantaka Rahagi yang pintar dan selalu memberinya semangat. Sampai sekarang rasa itu masih tetap sama meskipun Taka sudah berubah menjadi sosok yg jauh berbeda. Namun, ia tidak bisa mempunyai perasaa lebih pada Taka. Ia sadar seperti apa dirinya dan seperti apa wanita-wanita yang sering dikencani Taka. Terlebih wanita yang dikencani Taka saat ini. Parisa Bina, adik kandunhnya sendiri. ?Bersambung?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN