05

1038 Kata
Baru Yusa ingin menghampiri kamar Sumi, wanita itu sudah keluar dengan wajah panik dan menghampiri Abdul. "Suamiku kenapa, Dul? Kenapa bisa ketabrak? Sekarang di mana?" cecar Sumi panik. "Di klinik pertigaan sana, Mbak! Ayo, Mbak!" Sumi bergegas memakai sandal, tak memedulikan penampilannya. "Ibuk ke klinik dulu, kamu bangunin adikmu!" ujar Sumi seraya berlari keluar rumah. Pagi itu menjadi pagi yang menyeramkan untuk keluarga Yusa. Panik, khawatir dan ketakutan menyelimuti tiga wanita yang kini sedang menunggu di depan ruang tindakan klinik kecil dekat tempat tinggal mereka. Dari dalam ruangan itu terdengar suara rintihan dari Yudi yang membuat kekhawatiran keluarganya semakin meningkat. Hingga seorang perawat menghampiri Sumi dan mempersilahkan keluarga pasien untuk masuk. Tangis tiga wanita itu pecah ketika melihat kaki kiri Yudi yang terbungkus gips. "Kenapa bisa gini sih, Pak? Kog enggak hati-hati?" tanya Sumi di antara tangisannya. "Sudah apesnya, Buk. Memang ada maling, tugas Bapak kan ngamanin perumahan," jawab Yudi. Ketika Sumi sudah sedikit lebih tenang, dokter memberinya penjelasan bagaimana kondisi Yudi saat ini. Yang terparah dari kondisi Yudi adalah kakinya yang patah. Mengingat dia sudah berumur, akan butuh waktu lama untuk menyembuhkan kakinya. "Untuk administrasinya tolong di urus dulu ya, Buk. Silahkan ke bagian kasir," ujar perawat yang menangani Yudi. "Risa, kamu urus administrasi Bapak kamu ya?" "Risa kan belom gajian, Buk! Mau bayar pakai apa? Uangku udah nipis," bisik Risa. "Kamu nggak punya tabungan?" tanya Yusa. "Nggak lah, kebutuhanku banyak!" jawab Risa sinis. "Mbak ... apa nggak bisa administrasinya besok pagi?" tanya Sumi. "Nggak apa, Buk. Besok pagi aja," sahut dokter yang masih berada di bibir pintu. "Pindahin dulu Bapaknya ke kamar pasien, saya yang jadi jaminan untuk mereka." "Alhamdulillah ... terima kasih, dokter!" Sahut Sumi dan Yusa. Sambil menunggu Yudi dipindahkan ke ruang rawat inap, Sumi mengajak dua putrinya untuk berdiskusi. Sumi meminta Risa untuk meminta bantuan Taka, tapi Risa lekas menolakya. "Kenapa, sih? Kamu minta berapa juga pasti dikasih sama Taka!" desak Sumi. "Aku udah putus sama dia, Buk!" "Putus?" Sumi dan Yusa sama-sama terkejut mendengar jawaban Risa. "Kenapa bisa putus sih, Nduk? Kamu bikin salah apa? Taka kelihatannya sudah berubah, nggak pernah bawa cewek-cewek ke rumah belakangan ini. Atau jangan-jangan dia cemburu lihat kamu sering diantar jemput atasan kamu?" cecar Sumi. Risa hanya memutar bola matanya, malas menanggapi pertanyaan Ibunya. "Udah bagus kamu jalin hubungan sama Taka! Kenapa malah putus, sih?" "Buk! Bukan waktunya mikirin itu!" Yusa mulai kesal dengan tingkah Ibunya. Sentakan Yusa menyadarkan sumi atas kondisi suaminya. Ia kembali dibuat bingung, dengan apa membayar biaya pengobatan suaminya? "Sa! Kamu pinjem Pak Cahyadi, ya?" pinta Sumi pada Yusa. "Mana berani Yusa lakuin itu, Buk?" tolak Yusa. "Ibuk masih punya tanggungan sama dia, Nduk. Segan kalau mau pinjem lagi," jelas Sumi. Yusa terlihat berpikir, kemudian ia menatap Risa. Tapi Risa langsung membelalakkan matanya, mengancam agar Yusa mengurungkan apapun yang ingin dikatakannya. "Kamu lebih sering ketemu Pak Cahyadi, Ri. Kenapa nggak kamu aja?" bujuk Yusa. "Kamu nggak denger kalau aku udah putus sama Taka?" sentak Risa. "Sudahlah! Jangan malah bikin Ibuk tambah pusing!" sentak Sumi. Ia menarik tangan Yusa, "kamu pergi ke rumah Pak Cahyadi, Nduk! Cepat!" "Buk, ini masih setengah empat pagi." "Kamu pulang, siap-siap buat jualan dan pinjem uang ke Pak Cahyadi. Ibuk jaga Bapakmu." Yusa hanya mengangguk pasrah. Ia beranjak pergi meninggalkan Ibu dan adiknya. Dalam perjalanan pulang, keadaan pintu gerbang masih ramai oleh beberapa orang. Yusa terpaksa menjawab pertanyaan ketika melintasi pintu gerbang. Meskipun mereka memang tetangga, Yusa punya rasa risih dan takut berada di antara pria dan langit masih gelap. Ia cepat bergegas pulang setelah menjelaskan keadaan Bapaknya. Jalanan perumahan sangat sepi, sedangkan rumah Yusa berasa di komplek paling belakang. Masih jauh Yusa menahan rasa takutnya. Hingga ia mendengar suara motor yang sangat ia kenali. Taka, batinnya. Ia menoleh ke belakang dan benar, dari kejauhan ia melihat lampu motor milik Taka. Ia mempunyai keinginan untuk menghentikannya, tapi setelah dipikir ulang lebih baik ia jalan sendiri saja. Tak baik untuknya berboncengan subuh-subuh seperti ini dengan seorang pria. Yusa membiarkan motor sport itu melintasinya begitu saja, tapi berjarak beberapa meter, motor itu justru berhenti. Pengemudi itu menoleh ke belakang dengan membuka helm full facenya. "Sa! Sedang apa?" tanya pria berjaket hitam itu dengan sedikit berteriak. Yusa masih belum menjawab dan terus berjalan ke arah Taka. "Bapak habis kecelakaan, Ka," jawab Yusa setelah sampai di dekat Taka. Bau rokok, bau parfum, dan bau aneh yang tak ia kenali dari tubuh pria itu menusuk hidungnya. "Sekarang gimana kondisi Bapakmu?" Taka ikut khawatir. "Alhamdulillah udah ditangani, Ka." Taka mengangguk. "Kamu dari mana? Rumah sakit?" tanya Taka. "Di klinik depan itu kok, Ka." "Besok pagi aku jenguk, Sa." Yusa hanya mengangguk. "Ayo naik, Sa. Bahaya jalan sendiri masih gelap gini." Yusa menggeleng, "makasih, Ka. Aku jalan kaki saja," tolaknya. Taka melihat Yusa yang mengenakan rok sepan panjang yang mungkin akan susah untuknya naik motornya. Ia melepas helm dan turun dari motor. "Aku temenin jalan, Sa!"ujarnya seraya mengaitkan helmnya di siku. "Nggak usah, Ka! Kamu langsung pulang aja!" tolak Yusa. "Udah, ayo!" Mau tak mau Yusa menuruti kemauan Taka. Mereka jalan berdua. Seperti beberapa waktu lalu, Yusa memilih jalan selangkah di belakang Taka tanpa ada pembicaraan di antara mereka. "Aku dengar dari Risa, kalian putus?" Yusa sudah tak bisa menahan rasa penasarannya. "Kenapa bisa putus?" Taka tak memberi jawaban dari pertanyaan Yusa. "Maaf ... nggak seharusnya aku ikut campur urusan kalian," sesal Yusa. "Aku mengajaknya menikah, tapi dia menolak karena lebih mementingkan karirnya." Yusa hampir menghentikan langkahnya ketika mendengar Taka ingin mengajak Risa menikah. Ia tahu dengan baik siapa Risa dan siapa Taka. Meskipun adiknya sangat menyebalkan, tapi ada rasa berat jika Risa mendapat pasangan seperti Taka. Semua orang tahu siapa Gantaka Rahagi, pria muda urakan dan sering membuat warga resah karena tingkahnya. Sering mabuk-mabukan dengan teman-temannya di komplek perumahan, balap liar, tawuran, dan masih banyak hal lainnya. Teguran dari siapapun dianggapnya angin lalu. Ia melakukan apapun sesuka hatinya tanpa memikirkan pandangan orang lain. Yusa terus memandangi punggung pria itu. Dari bau aneh yang menempel di tubuh Taka, sudah bisa ditebak jika dia baru pulang dari club malam. Hampir setiap hari menjelang adzan Subuh, Yusa mendengar suara motor Taka. Pria itu sudah sangat dekat dengan dunia malam dan wanita sejak SMA. Hal itulah yang membuat Yusa sangat penasaran. Apa yang membuat temannya menjadi berubah seperti ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN