06

1080 Kata
Kasihan Pak Cahyadi, Ka. Batin Yusa, mengingat Cahyadi yang sudah sakit-sakitan. Mungkin karena memikirkan putra semata wayangnya yang hidup berantakan, pria paruh baya itu menjadi sakit-sakitan. Beruntung Taka mau keluar dari tempat kerjanya dan menggantikan Ayahnya bekerja di toko furniture. Meskipun ia masih seenak jidat mengolah toko tersebut. "Siapa juga yang mau nikah sama berandalan sepertiku ini ya, Sa?" "Eh, Emm ... kenapa?" Yusa gugup mendengar pertanyaan Taka yang tiba-tiba. "Mana ada cewek yang mau menikah dengan cowok sepertiku. Begok, urakan, tukang mabok, playboy—" "Tapi Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan," pangkas Yusa. "Aku nggak deket sama Allah, Sa. Udah dibuang kali jodohku." "Nggak baik su'udzon sama Allah, Ka!" sergah Yusa. "Kamu udah sadar nggak deket, kenapa malah menjauh?" "Bingung mau mulai dari mana? Ninggalin yang udah jadi kebiasaan kan susah," jawab Taka. "Tergantung niatnya, Ka." "Ada niat tapi nggak ada yang dampingin juga percuma, Sa." "Kan bisa cari pendampingnya, ada itu Ustadz Mansyur, Pak Habibi. Mereka pasti—" Kalimat serta langkah Yusa terhenti ketika melihat Taka berhenti mendadak. Pria itu menatap membalikkan badan dan menatap Yusa dengan mimik wajah yang serius. "Kalau aku mau kamu yang dampingin aku gimana?" "Iya, nggak apa, Ka. Besok kalau ada waktu aku anter kamu ke Ustadz Mansyur atau Pak Habibie," jawab Yusa. Taka terkesiap mendengar jawaban Yusa. Ia diam sejenak kemudian tertawa terbahak-bahak. "Ka! Ini masih subuh! Jangan sampai kamu diamuk warga!" sentak Yusa setengah panik. "Iya iya iya ... habis kamu lucu, Sa!" jawab Taka dengan masih terkekeh. "Udah udah, yuk balik aja, Sa." Meskipun masih bingung apa yang membuat Taka tertawa, Yusa menuruti ajakan Taka untuk kembali pulang. Keduanya kembali diam hingga sampai di depan rumah Yusa. "Makasih ya, Ka. Udah nemenin jalan," ucap Yusa sebelum masuk ke dalam rumah. "Sama-sama," balas Taka. "Oh ya! Kalau Ibuk kamu jaga Pak Yudi, berarti besok kamu jualan?" Yusa mengangguk, "iya, Ka. Kami lagi butuh uang banyak untuk Bapak." "Kalian nggak ada simpanan?" Yusa menggeleng. "Sebenarnya ... besok pagi aku ingin menemui Ayahmu. Aku ingin meminjam uang," ucapnya pelan karena segan. "Kenapa?" Taka setengah membungkukkan badan untuk mendengar ucapan Yusa yang tak terdengar jelas di telinganya, namun wanita yang selalu menundukkan kepalanya itu reflek mundur selangkah. "Ah, maaf maaf ... aku bau alkohol ya," ucap Taka seraya menegakkan badannya. "Bukan begitu ... nggak enak saja kalau terlalu dekat," jawab Yusa. "Aku nggak denger. Kamu kalau ngomong pelan, nunduk lagi. Kupingku habis denger musik di klub tadi jadi rada budek, nih." Yusa menghela napas dan mendongakkan wajahnya. Jantungnya berdegub tak karuan ketika mata mereka bertemu. Lama ia hanya memperhatikan dari jauh dan sekarang ia bisa melihat wajah itu sedekat ini. "Lama banget aku nggak lihat wajahmu sejelas ini, Sa." Kalimat Taka membuat Yusa kembali menundukkan kepala. Ia meremas ujung baju untuk mengenadalikan tangannya yang bergetar. "Aku membuatmu takut, Sa?" tanya Taka. "Emm ... aku masuk dulu ya, Ka. Aku bicara besok saja." Yusa buru-buru masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Taka yang masih berdiri di depan pintu pagar. Ia tak mau memikirkan Taka. Ia segera pergi ke dapur dan mulai memasak seraya menunggu azan Subuh berkumandang. * Sinar matahari mulai masuk di sela-sela jendela dapur. Suara kendaraan juga mulai terdengar hilir mudik di depan rumah. Jarum pendek jam dinding sudah hampir berada di pertengahan angka lima dan enam tapi Yusa belum selesai mengemas masakannya ke dalam gerobak. Di antara kepanikannya, ia mendengar suara ketukan pintu rumah diiringi suara salam dari seorang pria. Ia kenal suara itu dan segera melihat ke arah ruang tamu. "Wa'alaikumussalam. Kenapa, Ka?" tanya Yusa ketika melihat Taka datang sepagi ini. Penampilan pria itu sudah berbeda dari dini hari tadi. Rambutnya diikat seperti biasa, dengan kaos oblong putih, celana kain selutut dan sandal japit yang menjadi alas kakinya. "Kubantu apa, Sa? Kamu pasti buru-buru, kan?" "Enggak usah, Ka. Aku udah hampir selesai," jawab Yusa dari arah pintu dapur. "Kalau dikerjakan berdua akan cepat selesai, Sa." Taka melangkah masuk ke dalam rumah Yusa. "Jangan masuk, Ka!" teriak Yusa panik. "Kenapa?" tanya Taka keheranan. "Aku di rumah sendirian. Kamu nggak bisa masuk seenaknya," jawab Yusa. Taka teringat, Yusa berbeda dengan Risa. Wanita itu patuh pada agama dan kedua orang tuanya. Ia mengangguk paham dan kembali ke bibir pintu. "Aku bantu dari sini. Kalau sudah bawa ke sini, aku yang susun di dalam etalase," ujar Taka. Yusa tak bisa menolak. Ia memang membutuhkan bantuan. Ia menuruti saran Taka dan mulai mengusung masakan yang sudah matang ke depan kemudian Taka yang memasukkannya dalam etalase gerobak. Setelah usai semua, Yusa memastikan ulang apa yang di susun Taka benar dan aman. "Kamu mandi sama ganti baju dulu, Sa. Aku yang bawa gerobaknya ke depan." "Nggak perlu, Ka. Kamu udah cukup ngebantu." "Udahlah—" "Kalian ngapain pagi-pagi gini udah berduaan? Mau berbuat yang nggak-nggak, ya!" Risa yang baru datang langsung menuduh kakak dan mantan mekasihnya. "Astaghfirullah, Sa! Mikir apa sih, kamu? Datang-datang malah bikin kesimpulan nggak masuk akal gitu!" sentak Risa. "Ka! Please, deh! Kalau kamu mau bikin aku cemburu, jangan ama Yusa deh. Cewek-cewekmu yang lebih cantik kan banyak!" Risa mengabaikan kakaknya dan ganti menuduh Taka. "Sa! Jaga omongan kamu! Taka lebih tua darimu!" Yusa mengingatkan adiknya. "Bodoh amat!" ujar Risa sambil beranjak pergi. "Risa!" Panggilan Taka menghentikan langkah Risa, wanita cantik itu menatap Taka dengan malas. "Apa lagi?" "Jangan berpikir macam-macam," ujar Taka. "Aku nggak butuh penjelasanmu, Ka. Kita udah nggak ada hubungan. Terserah kamu mau ngapain juga!" ucap Risa kemudian pergi. "Maafin Risa ya, Ka. Bukan pertama kalinya kan kamu mengalami hal seperti ini?" tanya Yusa, ia ingin memastikan agar Taka tidak tersinggung. Tak tersenyum dengan mengangkat kedua alisnya. "Tenang aja!" jawabnya."Ayo buruan, Sa! Langit udah terang banget, tuh." "Ya Allah, iya!" "Buruan mandi, siap-siap trus ceper susul aku, ya!" Yusa mengangguk. Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Namun ia kembali menghampiri Taka yang sudah mendorong gerobak keluar dari pagar rumah Yusa. "Ka!" Taka menoleh tanpa bertanya. "Beneran nggak apa?" tanya Yusa. Taka mengangguk dengan senyumannya kemudian lanjut mendorong gerobak. Yusa pun kembali masuk ke dalam dan segera masuk ke kamar mandi sebelum Risa mendahuluinya. Tak sampai lima belas menit, Yusa sudah selesai mandi dan ganti baju. Tak ada sedikitpun riasan yang menempel di wajahnya. Jika wanita lain sangat familiar dengan berbagai macam kosmetik, berbeda dengan Yusa. Wanita berusia 24 tahun itu hanya mengenal empat sampai lima buah jenis kosmetik. Dengan mengucap salam yang tak ia harap mendapat balasan, Yusa pergi keluar rumah menyusul Taka. Langkahnya cepat, bahkan sesekali ia berlari kecil menyusuri jalanan berpaving itu agar segera sampai di tempat jualan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN