07

1076 Kata
Sampai di tujuan, Yusa sedikit terkejut karena pelanggan nasi pecel Ibuknya sudah berkumpul. Taka terlihat menata tenda. Dan ia pun segera menyiapkan menu-menu masakannya. Yusa hanya membantu Ibuknya jualan jika dia sedang libur. Dan ia tak pernah mendapati pelanggan seramai ini. Mungkin Allah sedang berbaik hati pada keluarganya yang memang sedang membutuhkan tambahan rejeki. Karena tidak tega melihat Yusa berjualan sendiri, Taka membantu Yusa sampai nasi yang ada di dalam termos habis tak tersisa. Keduanya melepas lelah dengan duduk di kursi pelanggan. Berhadapan sambik menertawakan bagaimana sibuknya mereka beberapa jam lalu. "Rekor, Ka! Baru jam sembilan udah habis! Alhamdulillah," pekik Yusa senang. Taka mengangguk, ia membuka segel botol air mineral dan memberikannya pada Yusa. "Capek, Sa?" tanyanya. Yusa mengambil botol yang diberikan Taka dan meneguk airnya seraya menganggukkan kepala beberapa kali. "Nggak nyangka banget. Allah bener-bener tahu kalau kami sedang butuh uang. Jadi dikasih rejeki lebih pagi ini," ujar Yusa. Bibirnya tak berhenti mengulas senyum bahagia. "Butuh uang? Buat Bapak kamu?" tanya Taka. Mimik wajah Yusa berubah mendengar pertanyaan Taka. "Yang subuh tadi kamu bicarakan tentang ini?" tanya Taka lagi. "Kamu nggak ke Toko, Ka? Udah jam sembilan lebih, nih?" Yusa berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia segan membicarakan hal ini dengan Taka. Terlebih lagi, baru dua hari ini ia dan Taka sedikit lebih dekat lagi. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Sa. Jawab saja, iya apa enggak. Ini berhubungan dengan keselamatan Bapak kamu. Jangan banyak berpikir!" Yusa mengangguk ragu. Ia meletakkan botol air mineralnya kemudian menatap Taka. "Maaf, Ka. Aku tidak enak mengatakannya. Tapi aku memang berniat meminjam uang ke Ayahmu," ujarnya. "Kita beres-beres sekarang, Sa. Gerobaknya tinggal di sini dulu. Aku temenin kamu ke klinik urus administrasinya," ajak Taka. "Tapi ... kamu nggak ke toko? Kamu nggak capek? Kamu belum tidur, kan?" "Udah tidur setengah jam tadi. Udah cukup, Sa," jawab Taka. "Nggak usah pikirin aku, pikir Bapakmu dulu, Sa." Usai membereskan tempat jualan, Yusa bersama Taka menuju ke klinik tempat Yudi di rawat. Taka langsung menuju ke bagian administrasi untuk menanyakan biaya awal yang harus diselesaikan keluarga Yudi. Petugas memberikan total biaya yang harus dibayar dan Taka memberikan sebuah debit card pada petugas. "Sa, nanti kalau butuh apa-apa bilang aja ke aku," ujar Taka usai menyelesaikan administrasi Yudi. "Bukti pembayarannya mana, Ka?" pinta Yusa, "aku takut lupa nominal yang aku hutang." Taka melipat kertas di tangannya dan memasukkan ke saku celana. "Urusan nanti, biar ngumpul dulu. Kalau banyak ya aku minta, kalo cuma dikit aku lupain." "Nggak bisa gitu dong, Ka. 'Kan aku pinjam ...," sanggah Yusa. "Kamar Bapak kamu mana, Sa?" Taka mengalihkan perhatian. "Masih di ujung belakang. Dapatnya di sana," jawab Yusa. "Ya sudah, ayo!" "Tapi—" "Nggak usah tapi-tapi." Taka melangkah mendahului Yusa karena tak mau membahas urusan hutang piutang. Mau tak mau wanita berkerudung coklat tua itu menyusul langkah temannya. Sampai di kamar rawat inap Yudi, tanpa basa basi Taka menanyakan kronologi kejadian dan apa yang dirasakan Yudi sekarang. Pria itu memang terlihat urakan, tapi dia tak pernah melupakan bagaimana menjaga tata krama pada orang yang lebih tua. Taka menjanjikan pada Yudi dan Sumi jika akan membantunya membayar biaya pengobatan pria paruh baya yang malang itu. Sumi mengangguk tanpa basa basi, dan hal itu membuat Yusa semakin segan pada Taka. Setelah cukup lama bercengkrama, Taka mengajak Yusa untuk pergi mengambil gerobak dan pulang, sebab ia juga harus segera pergi ke toko furniture Ayahnya. "Maafin kami ya, Ka. Kami merepotkanmu," ujar Yusa dalam perjalanan pulang ke rumah. "Namanya tetangga, Sa. Harus saling membantu," jawab Taka seraya mendorong gerobak nasi pecel Sumi. "Kalau aku sudah dapat gaji pertama dari pekerjaan di Surabaya, aku akan cicil sedikit-sedikit, Ka." "Serius kamu mau ke Surabaya, Sa? Kota gedhe loh itu. Kamu di sana nggak punya keluarga," "Memangnya kenapa kalau kota gedhe? Aku udah terbiasa mandiri," Taka menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Yusa yang ada di belakangnya. "Gini loh, Sa. Dengerin aku baik-baik!" tegas Taka serius. "Selama di sini kamu pergi paling jauh ke pasar aja kan? Jaraknya nggak ada satu kilo dari sini. Kerja juga deket. Ya ... ibaratnya lingkunganmu yang gini-gini aja itu buat kamu polos banget. Sedangkan di Surabaya, kamu dapat lingkungan baru yang nggak kamu kenal. Ketemu orang-orang baru yang sifatnya nggak bisa kamu kenalin dalam sekejap. Kalo misal ada yang jahatin kamu, gimana? Kamu mau minta tolong sama siapa?" "Ya aku nggak akan keluar rumah, Ka. Kan jagain orang tua cuma di dalam rumah aja." Taka menghela napas berat. Sepertinya dia sudah menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti, tapi wanita di depannya itu masih tak memahami maksudnya. "Kamu yakin bisa jaga dirimu di sana?" tanya Taka. Yusa mengangguk. Taka menatap Yusa yang selalu berusaha menghindari matanya kemudian kembali melanjutkan mendorong gerobak. Tak ada lagi suara di antara mereka kecuali menjawab sapaan warga yang mereka lewati * Tiga hari sudah Yudi mendapat perawatan di klinik dan selama itu pula Yusa yang menggantikan Ibuknya berjualan. Entah beruntung atau tidak, dalam tiga hari itu Taka selalu membantunya berjualan. Ia sangat terbantu, namun gunjingan dari tetangga membuatnya merasa risih. Sampai saat usai pengajian malam ini, ia mendapat teguran dari beberapa Ibu-ibu. "Nggak baik, Sa. Kamu itu muslimah, tapi sejak langit masih gelap sudah ada pria yang bukan mahram di rumah kamu." "Maksud Ibu, Taka?" tanya Yusa dan mendapat anggukan dari beberapa Ibu-ibu di depannya. "Tapi saya tidak sampai kelewat batas, Bu. Taka hanya membantu saya," jelas Yusa. "Kamu bisa minta bantuan adik kamu kan, Sa? Dilihat orang juga nggak enak, kamu jualan berdua sama Taka. Nggak baik, Sa. Kami mengingatkan untuk kebaikan kamu" Usai mendapat teguran dan nasihat itu membuat Yusa pulang ke rumah dengan berpikir ulang mengenai dekatnya dia dan Taka beberapa hari ini. Tidak bisa dipungkiri, ia merasa senang ketika Taka kembali masuk dalam kehidupannya. Ia mempunyai teman untuk berbicara lagi. "Udahlah ... kasian dia, nggak tega aku. Anaknya polos banget." Yusa mendengar suara Taka. Ia melihat beberapa pemuda sedang bergerombol di gazebo yang ada di sudut persimpangan jalan utama perumahannya.. "Kau kan belum sampai berhasil ngajak dia keluar. Belum dianggap selesai tuh hukumanmu!" sahut pemuda bertato di lengan tangannya. "Sumpah! Nggak tega aku. Dia kakak mantanku juga. Kalo kakaknya kubuat mainan, bisa-bisa Risa nggak mau kuajak balikan." "Haalaaaah, bilang aja kau malu jalan sama cewek gituan?" "Bukannya itu memang rencana kalian buat bikin aku malu? b*****t emang kalian! Udah tahu si Boby ngincer dia malah dikasih aku!" Mendengar percakapan dan gelak tawa Taka bersama gengnya membuat air mata Yusa menetes. Ia ingin melewati jalan lain, tapi ini adalah jalan satu-satunya dari masjid menuju ke rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN