08

1010 Kata
Berdirinya Yusa beberapa meter dari Gazebo mulai disadari salah seorang dari gerombolan pemuda tersebut. Ia memberi isyarat untuk tidak melanjutkan percakapan dan memberitahu keberadaan Yusa. Taka yang menyadari itu sedikit kaget ketika melihat wanita berhijab itu berlari melewatinya. "Dia denger deh, Ka!" "Jadi hukumanku selesai nih, ya?" Taka terlihat senang terbebas dari tantangan teman-temannya. "Gila kau, Ka! Nggak ada rasa bersalahnya nih Cecunguk!" "Lah, dia kan pasti denger obrolan kita. Aku buat gini gegara siapa?" "Savage banget Cecunguk satu ini!" Baru saja ia merasakan sedikit kebahagiaan, ia harus berteman lagi dengan lara dan kecewa. Taka benar-benar bukanlah orang yang ia kenal dulu. Pria itu baik padanya hanya karena permainan teman-temannya. Meskipun sedang tidak ada orang di rumah, Yusa tetap menangis dalam diam di kamar. Ada sedikit penyesalan, kenapa ia harus mendengar semua itu. Bukankah lebih baik jika dia tidak mendengarnya dan menerima kebaikan Taka tanpa berpikir macam-macam. Meskipun pada akhirnya pria itu akan meninggalkannya lagi. Dari tempat tidur, ia memandang pantulan dirinya di cermin lemari. Kedua alisnya tak terlalu tebal, matanya tak terlalu lebar juga tidak terlalu sipit berhias rambut-rambut pendek yang lentik di kelopaknya. Hidungnya tak terlalu mancung dan bibirnya tipis, polos dan sedikit kering. Semua itu terbingkai rapi di wajah lusuh tak berseri, seperti layaknya wanita seumurannya. Selama apapun ia mengamati dengan jeli, ia tak menemukan sesuatu yang menarik pada dirinya. Pasti Taka benar-benar menahan malu sudah berada di dekatnya beberapa hari ini. Tangisnya kembali pecah. Kali ini bukan karena rasa sakit atas perlakuan Taka. Namun, lebih kepada rasa insecure karena tak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan pada dirinya. Malam itu ia menenggelami kesedihanya, hingga lelah dan tertidur. * Pagi ini Yusa masih dengan kegiatan yang sama seperti sebelumnya, bersiap untuk berjualan nasi pecel. Bedanya kali ini tidak ada Taka yang membantunya. Ia tak mengharapkan apapun lagi. Lebih baik memang dia menjaga jarak dengan pria itu. Pelan ia mulai melangkah mendorong gerobak, berat memang jika dilakukan sendiri. Namun ia harus tetap melakukannya dengan hati-hati. Ia tak boleh melakukan kesalahan sedikitpun. Ia juga harus menjaga tubuhnya untuk tetap bugar karena sore hari ia tetap harus bekerja di minimarket. Ini hari keempat, namun tubuhnya sudah sangat lelah. Ia hanya mempunyai sedikit waktu untuk tidur beberapa hari ini. Langkahnya terhenti ketika baru sampai seperempat dari perjalanannya. Ia beristirahat, jongkok tanpa meninggalkan gerobaknya. Ia menarik napas sejenak sebelum akhirnya cepat-cepat berdiri ketika mendengar suara motor sport yang sangat ia kenali. Yusa mulai mendorong gerobaknya lagi. Sesuai dugaannya, tak ada sapa di antara mereka. Kembali asing dalam sekejap mata. Meskipun sudah ia prediksi, tetap saja rasa kecewa itu masih menyisa. Beberapa menit ia mendorong gerobak. Ia mendapati Taka sedang berlari menghampirinya. Tak banyak bicara, pria itu lekas mengambil alih pegangan gerobak dan mendorongnya. "Aku cuma bisa bantu bawa ini ke depan," ucapnya. "Kamu nggak perlu melakukannya. Kamu juga nggak perlu merasa bersalah padaku, Ka," sahut Yusa. "Aku minta maaf sudah memanfaatkanmu." "Anggap saja itu upah karena kamu sudah membantuku beberapa hari ini," jawab Yusa. Taka tidak memberi respon dari kalimat Yusa. "Tapi ... kuharap ini terakhir kali kita saling menegur, Ka." Yusa tak mendengar jawaban dari Taka. Pria berkaus putih dan celana jeans hitam yang robek di beberapa sisi itu tak menunjukkan tanda-tanda ingin memberikan respon. Yusa hanya menghela napas pelan dan mengikuti langkah Taka sampai di tempatnya berjualan. Taka tak lantas pergi begitu saja, ia masih membantu Yusa mendirikan tenda barulah kemudian ia pergi tanpa sepatah katapun. Bahkan Yusa tak sempat untuk mengucapkan terima kasih. "Tumben nggak ditemani suaminya, Mbak?" "Bukan, Buk. Itu tetangga saya, bukan suami saya," jawab Yusa. Entah sudah berapa kali ia memberikan jawaban seperti itu pada pelanggannya pagi ini. "Oh, saya kira suaminya. Ganteng Masnya, bikin warung ini rame." Yusa hanya mengulas senyum tipis sambil membungkus nasi pecel di tangannya, kemudian memberikan pada pelanggan usai dimasukkannya dalam kantong plastik. "Terima kasih ya, Mbak." Pelanggan tersebut memberikan beberapa lembar uang pada Yusa. "Sama-sama, Buk." Yusa menghela napas panjang setelah melihat tak ada lagi pelanggan di warungnya. Ia duduk menopang dagu di balik gerobaknya. Ia sedang memikirkan beberapa pertanyaan pelanggannya yang seakan-akan terlihat seperti senang mengetahui jika Taka bukanlah suaminya. Ia tertawa kecil. Membayangkan bagaimana orang-orang itu menggunjingkan Taka, mengapa mau dengan perempuan macam begini? ??? Hari ini memang tak terlalu ramai seperti sebelumnya. Menjelang azan Dzuhur Yusa baru sampai di rumah. Belum ia selesai membereskan barang-barang di gerobak, ponselnya berdering. Ia melihat nama 'Ibuk' muncul di layar. Sang Ibu memberitahu jika Ayahnya sudah diperbolehkan pulang besok pagi, tapi uang untuk melunasi biaya perawatan masih kurang. "Kamu bilang ke Taka ya, Nduk! Dia kan yang bilang kalau ada apa-apa suruh bilang." Yusa mencoba mencari alasan agar Ibunya tak menggantungkan diri pada Taka. Namun percuma, Yusa justru mendapatkan lebih banyak tekanan. Panggilan telepon itu berakhir dengan sebuah keputusan sepihak dari sang Ibu yang harus dituruti oleh Yusa. Tidak mungkin ia menghubungi Taka setelah apa yang terjadi di antara mereka. Terlebih lagi ketika Yusa meminta untuk tidak saling bertegur sapa lagi. Usai melaksanakan salat Dzuhur. Yusa pergi ke rumah Cahyadi. Ia memberanikan diri untuk meminjam uang pada pria tua yang sakit-sakitan tersebut. "Nggak usah dipikirin mau dikembalikan kapan. Bawa saja dulu, Nduk." Pria berwajah pucat dengan mengenakan sweater itu memberikan sebuah amplop coklat pada Yusa yang sudah menjelaskan maksud kedatangannya. "Maaf kalau saya lancang sampai pinjam uang ke Bapak," ucap Yusa segan. Ia menerima amplop yang baru saja dibawakan Cahyadi. "Nggak usah dipikirkan, Nduk. Justru Bapak ini senang bisa bantu kamu." Yusa mengangguk dan senyuman. "Bapak juga senang lihat kamu dan Taka kembali dekat. Alhamdulillah ... beberapa hari ini Taka pulangnya malam. Nggak sampai pagi-pagi," ujar Cahyadi, matanya yang redup termakan usia itu berbinar senang, "pasti itu karena bantuan kamu, Nduk." "Saya nggak berbuat apa-apa, Pak." Cahyadi tak berhenti mengulas senyum, membuat garis keriput di kedua ujung matanya semakin terlihat jelas. "Gini bapak makin yakin, memang kamu cocok nemenin dan bantu Taka buat jadi lebih baik," ujarnya. "Kamu masih nggak berubah pikiran 'kan, Nduk?" Berat Yusa harus mengangguk. Tapi, untuk menolak dan menjelaskan apa yang terjadi dengan mereka juga tak mudah. "InsyaAllah ya, Pak." Kalimat itulah yang akhirnya keluar dari mulut Yusa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN