Dengan uang hasil pinjaman dari Cahyadi, akhirnya Yudi bisa pulang juga ke rumah pagi ini. Gerobak nasi pecel terparkir rapi di halaman, Sumi menyuruh kedua putrinya untuk di rumah hari ini. Pasti akan banyak tetangga yang datang menjenguk Ayah mereka.
Kompleks perumahan tempat tinggal mereka memang bukan perumahan mewah, hanya sebuah perumahan lama tapi sangat luas dan terletak di pinggiran kota Malang. Warga-warganya guyub dan saling tolong menolong. Jika ada salah satu warga yang tertimpa musibah, ya seperti ini, tiap blok pasti mengirim perwakilan untuk menjenguk dan memberi bantuan. Apalagi Yudi adalah orang yang sudah bertahun-tahun menjaga lingkungan mereka, pasti mendapat perhatian lebih dari para warganya.
Ramainya tamu yang datang silih berganti itu mulai berangsur mereda menjelang Magrib. Yusa dan Sumi yang lelah langsung merebahkan badan di karpet ruang tengah. Yudi tetap di dalam kamar, sejak habis Ashar tadi sengaja Sumi paksa untuk beristirahat dan tidak mengijinkan tamu bertemu dengan suaminya. Sedangkan Risa yang hanya disuruh menjaga Ayahnya malah uring-uringan dan sering mengabaikan permintaan Yudi.
"Salat dulu, Nduk. Keburu nanti ada tamu yang datang lagi," ujar Sumi pada putri bungsunya.
"Iya, Buk." Yusa bergegas bersiap diri untuk melaksanakan salat Magrib.
Memang, di keluarga ini yang paling taat beribadah hanya Yusa. Yudi sebagai kepala keluarga hanya melaksanakan salat Jum'at saja, Sumi salat jika sedang terbelit masalah, sedangkan Risa ... tak perlu dijelaskan. Ada masalah atau tidak, ia hanya asyik dengan dunianya. Yusa tak mau ambil pusing memaksa keluarganya, ia hanya sesekali mengingatkan akan kewajiban seorang muslim, tapi ia tidak pernah sekalipun berhenti meminta agar keluarganya mendapat secercah hidayah dari Sang Pemilik Kehidupan.
"Assalamu'alaikum,"
Mendengar ada suara tamu, Yusa keluar kamar dengan masih mengenakan mukenah. Ada Cahyadi dan Taka berdiri di depan pintu rumahnya yang terbuka.
"Wa'alaikumussalam ... masuk, Pak." Yusa menghampiri Ibunya yang tertidur di depan televisi. "Buk, ada tamu ... Pak Cahyadi."
Sumi lekas membuka mata dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia duduk mengumpulkan nyawa yang baru saja berpencar, kemudian menghampiri tamunya.
"Buatin kopi, Nduk."
"Iya, Buk."
Yusa kembali ke kamar, melepas mukenahnya dan pergi ke dapur untuk membuatkan kopi Cahyadi dan Taka. Namun, ketika ia membawa teh ke ruang tamu, Cahyadi dan Taka sudah berpindah ke kamar Bapaknya. Diletakkan saja dua cangkir kopi itu di meja.
"Nggak perlu sungkan-sungkan lah, Pak Yudi. Toh sebentar lagi kita jadi besan."
Kalimat Cahyadi membuat langkah Yusa terhenti tepat di bibir pintu kamar orang tuanya. Niatnya untuk memberitahu tentang kopi yang ada di ruang tamu urung begitu saja.
"Loh, bukannya mereka sudah putus, ya?" Sumi mengernyit heran.
"Bukannya gimana ya, Bu Sumi. Tapi sejak dulu saya lebih srek ke Yusa. Apalagi setelah Risa kemarin nolak lamaran Taka karena duluin karirnya."
Jawaban Cahyadi membuat Yudi, Sumi bahkan Yusa terperangah.
"Alhamdulillah, Yusa mau terima Taka," lanjut Cahyadi.
Yudi dan Sumi yang menyadari kehadiran Yusa hanya menatap bingung, mata kedua orang itu seakan menunggu jawaban dari pernyataan Cahyadi.
Belum lagi ketika Yusa menatap Taka, pria itu terlihat marah padanya.
"Eh, Nduk. Ada di sini toh, kamu?"
"Kamu diam-diam suka sama Taka, Sa?" hardik Risa yang tiba-tiba muncul.
"Tunggu-tunggu! Memang kapan Bapak tanya ke saya mengenai pernikahan, Pak?" tanya Yusa.
Cahyadi ikut bingung dengan pertanyaan Yusa. "Waktu kamu nolongin Bapak di rumah kapan hari itu, Nduk," jawabnya, "kemarin Bapak tanya lagi ke kamu, jawabannya masih sama, 'kan?"
"Maksudnya nemenin dan bantu Taka itu, menikah, Pak?" Yusa terbelalak.
Cahyadi mengangguk, "apa kamu salah mengartikannya, Nduk?"
Yusa mengangguk cepat dan ketakutan. "Maafkan Yusa salah mengartikan permintaan, Bapak. Yusa pikir hanya sebagai sahabat."
Mendengar jawaban Yusa membuat Cahyadi kecewa dan tubuhnya sedikit terhuyung hingga membuat semua khawatir. Taka segera menahan tubuh Ayahnya dan membantunya duduk di tepian kasur Yudi.
Yusa yang merasa bersalah menghampiri Cahyadi dan bersimpuh di lutut pria itu. "Maafkan Yusa, Pak!" ucapnya menyesal.
"Kamu gimana toh, Nduk? Ngasih harapan palsu ke orang," tegur Sumi.
"Enggak, Bu Sumi. Ini salah saya, saya yang kurang jelas membicarakannya dengan Yusa. Saya yang salah," sahut Cahyadi dengan suaranya yang parau. Mata tuanya menunjukkan sebuah kesedihan dan kekecewaan.
"Makanya, Sa! Pinteran dikit, napa? Bikin orang lain riweh aja!"
"Risa!" sentak Yudi dan Sumi.
"Lagian keenakan banget sih kalau Yusa dapat Taka! Kebagusan banget!" cibir Risa.
"Risa!" Yudi meninggikan suaranya dengan mata terbelelak.
"Justru aku yang bakal beruntung kalau dia benar-benar mau menikah denganku, Ri."
Kalimat Taka menyita perhatian semua orang.
"Nak Taka mau menikah dengan Yusa?" Sumi memperjelas maksud Taka.
"Iya, Buk."
Yusa menggeleng cepat. "Enggak! Aku nggak mau!" Yusa berdiri dan pergi ke kamarnya.
"Kamu beneran mau, Ka?" tanya Cahyadi.
"Taka yakin pilihan Ayah nggak pernah salah," jawab Taka seraya melirik Risa yang sedang bersedekap di kusen pintu.
"Sebaiknya kamu bicarakan niat kamu ini dengan Yusa dulu, Nak Taka," pinta Yudi.
Taka mengangguk. "Saya cari waktu yang tepat buat ngobrolin ini dengan Yusa, Pak."
"Maaf kalau kedatangan kami kemari malah membuat suasana tidak nyaman seperti ini, Pak Yudi, Bu Sumi," ucap Cahyadi.
"Kalau tidak begini, kami jadi tidak akan tahu, Pak," sahut Sumi.
Tiga orang tua itu melanjutkan percakapannya, sedangkan Taka melirik kesal pada Risa yang terus menatapnya acuh.
"Gitu banget ya kalau gagal move on!" gumam Risa seraya pergi.
*
Dua hari sudah gerobak nasi pecel Sumi berdiam di sudut halaman rumah. Sumi masih harus mengurus suaminya, sedangkan Yusa harus membantu Sumi jika ada tamu yang datang menjenguk Yudi. Memang tak sebanyak tamu di hari pertama pulang dari klinik, tapi tetap saja Sumi takut tak bisa menghandle suami dan tamunya.
Karena esok Sumi menyuruh Yusa mulai berjualan, malam ini usai salat Isya dia pergi berbelanja ke pasar malam yang berjarak beberapa kilometer dari rumahnya. Sepeda keranjang hadiah dari lomba menulis cerpen di salah satu tabloid remaja beberapa tahun lalu itu menjadi armadanya menuju ke pasar.
Pasar malam di tempat Yusa memang lebih ramai ketimbang pasar pagi, karena sayur mayur dan produk hewani lebih segar dan lebih komplit. Karena itu, banyak pembeli terutama pedagang masakan matang lebih memilih belanja malam hari.
Setelah berkeliling pasar yang cukup besar itu, semua list yang ada di catatannya sudah tercoret semua, ia kembali ke sepedanya. Menyusun barang-barang belanjaannya di sebuah obrok kain berukuran sedang yang ada di boncengan sepeda. Ia memastikan semuanya rapi dan tak sampai ada yang rusak. Barulah ia beranjak meninggalkan tempat tersebut.
"Dari pasar, Sa?" sapa seorang pria muda yang tengah duduk di tepi pintu gerbang perumahan.