BAB 01.1

1118 Kata
YANG tak kusukai di umur dua puluh dua tahunku hanyalah satu. Aku masih dianggap seperti anak kecil yang ke manapun membutuhkan teman yang bertugas melindungiku. Bahkan aku memiliki tiga pelayan, sopir yang mengantar-jemput, dan juga pengawal pribadi yang senantiasa mengawasi tingkah lakuku setiap hari. Aku sampai tidak habis pikir dengan keluargaku sendiri. Apakah aku terlihat selemah itu, hingga membutuhkan semua yang sebenarnya tidak terlalu perlu? Aku tidak lemah. Aku bisa beladiri. Aku bisa memukuli orang lain dengan alasan menjaga diri. Aku bahkan tidak pernah ragu melukai siapa pun yang berani menggangguku. Nyatanya, semua itu tidaklah cukup untuk mereka—keluargaku. Mereka masih memandangku sama. Memperlaku-kanku seperti anak kecil yang tidak bisa apa-apa. Jelas, aku pernah memrotes hal ini pada Papa. Namun pada akhirnya, Papa hanya mengurangi jumlah pelayan yang semula lebih dari sepuluh orang hingga tersisa tiga. Aku cukup bersyukur akan hal itu, walaupun terasa kurang, karena aku masih merasa berada dalam tali kekang. Aku mendesah kasar dan turun menuju ruang makan. Aku mengambil tempat duduk di sebelah Daniel setelah memberinya ciuman selamat pagi di pipi kiri. Daniel adalah anak pertama di keluargaku. Dia tenang, tidak banyak bicara, dan jarang berekspresi. Ia juga pekerja keras, karena telah mengikuti Papa berusaha sejak lulus kuliah delapan tahun lalu. Sama seperti jarak usianya denganku. Daniel bukan orang yang tak acuh, sekalipun wajahnya terlihat datar dan dingin, tapi ia orang pertama yang akan peduli padaku jika terjadi sesuatu. Ia pun pandai menyimpan emosi, membuat kami semua berpikir dua kali sebelum membuatnya marah hingga lepas kendali. Berbeda jauh dengan Axa kakak keduaku. Laki-laki dengan mulut ternyinyir yang pernah kutahu. Ia tidak akan ragu menatapku sinis tanpa alasan yang jelas. Ia juga tidak punya belas kasihan. Sedangkan Papa duduk di ujung meja makan. Ia terus menatapku sedari tadi tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Kau tahu, siapa anak yang paling menuruti sifatnya satu ini? "Airish!" panggilnya dengan suara rendah yang tegas. Ia memang bijaksana, terkadang, jika perintah mengekangnya belum keluar. "Ya." "Kau hampir membunuh sopirmu kali ini. Apa yang tengah terjadi?" Daniel langsung memiringkan tubuhnya agar bisa menghadap dan menatapku dengan jelas. Sedangkan Axa mendengkus dan memelototiku dari seberang meja. Aku mendesah kasar. Mataku terpejam. Ini semua berawal sejak sopirku sebelumnya dialihtugaskan menjadi sopir Papa dan pengawal pribadiku mendadak mengundurkan dirinya sebulan yang lalu. Daniel yang selalu menjadi tong sampahku pun mulai menyuarakan pendapatnya. Ia meminta sopir dan pengawal pribadiku diubah menjadi satu orang saja. Axa setuju, karena ia berpikir hal itu akan menghemat biaya. Aku? Tentu saja setuju. Karena aku terlalu muak pergi ke manapun bersama orang-orang yang bertugas mengawasi pergerakanku. Awalnya, semua berjalan lancar. Tiada masalah apa pun. Hingga seminggu kemudian, sopir sekaligus pengawal muda yang usianya tiga puluhan itu mengajakku b******a. Pertama kali mendengarnya. Aku berpikir ia hanya bercanda, tapi tak lama ia mengajakku menepi ke pinggir jalan dan menatapku dengan seringai mesumnya. Tanpa aba-aba, aku langsung menghajarnya sampai babak belur. Lalu sopir kedua, ia pun mengatakan hal yang sama setelah dua minggu bekerja padaku. Ia berkata, aku terlalu seksi dan terus membangkitkan gairahnya ketika kami bertemu. Aku langsung menampar dan memakinya habis-habisan, sebelum memukulinya sampai pingsan. Dan yang terakhir adalah sopirku beberapa hari lalu. Penipu yang usianya dua tahun lebih tua dariku. Kuakui dia tampan, mempesona dengan kulit putih pucatnya. Masalah terbesarnya, aku tak tertarik dengan laki-laki yang mau menjebakku di sebuah kamar hotel dengan alasan, "Papamu ingin bertemu denganmu di dalam." Lalu setelahnya ia mengajakku b******a di sana. Kurang ajar. Aku menghajarnya sampai ia kehilangan kesadaran, lebih parah dari dua sopirku sebelumnya. Aku bahkan sampai menyayat sebagian tubuhnya dengan pisau yang saat itu kusembunyikan di paha. Karena ia cukup hebat daripada dua orang sebelumnya. Aku tidak tahu, kenapa pengawal-pengawal itu kurang terlatih. Terbukti, aku bisa mengalahkan mereka dengan mudah. Hanya saja ... mereka sama-sama kurang ajar, tidak tahu diri, otak m***m, dan ingin sekali dihabisi. "Airish," panggil Daniel pelan, ketika aku terdiam cukup lama, tanpa membalas pertanyaan Papa sebelumnya. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Ia menipuku dan mengajakku b******a di sebuah kamar hotel. Apa salah jika aku melawannya, bahkan sampai menyayat tubuhnya?" Axa yang baru saja minum langsung menyemburkan minumannya sambil memelototiku. "Mengajakmu b******a?" "Iya. Kau bayangkan sendiri bagaimana wajah menyebal-kan orang sok tampan itu saat mengatakannya." Papa mengerutkan dahinya, sedangkan Daniel memilih mengabaikan percakapan dan kembali melanjutkan acara makannya. "Papa tidak akan melarangmu, jika kau b******a dengan sopirmu sendiri," ucapan Papa berhasil membuat Daniel berdehem dan menatap Papa dengan pandangan tidak terima. "Bukan begitu maksudku Niel. Dia bukan orang biasa yang memang bekerja untuk kita. Orangtuanya salah satu rekan bisnis kita dan anaknya tertarik pada Airish yang katanya—" "Sebaiknya Papa tidak perlu melanjutkannya," bisik Axa memotong ucapan Papa, ketika kakak keduaku melihat Daniel yang wajahnya menggelap perlahan-lahan. "Sebaik, setampan, atau sekaya apa pun orangnya. Aku tidak akan setuju, jika dia tidak punya urat malu," ucapan Daniel membuat Papa terdiam. Aku tersenyum tipis dan mulai mengambil roti. Axa menghela napasnya kasar, tapi tak kupedulikan dan memilih sarapan. "Airish memerlukan sopir dan pengawal baru. Apa kau memiliki kenalan yang bisa melakukan dua tugas itu dengan baik, Niel?" "Aku tidak memerlukan sopir dan pengawal lagi, Pa. Aku yakin bisa menjaga diriku sendiri, bahkan aku merasa tidak memerlukan pelayan lagi," sahutku cepat-cepat yang membuat Axa mendengkus. "Putri manja kita tidak tahu dunia apa yang menjadi tempat tinggalnya." Desis Axa. Aku menatapnya tajam dan Axa membalasku dengan mata cokelatnya yang memandangku murka. "Aku tidak peduli dan aku tidak takut mati." "Oh ... aku akan mendoakan nyawamu segera melayang sebentar lagi," balasnya sinis. "Axa!" lerai Papa segera. "Ya?" "Kau memiliki pekerjaan yang baik, kan?" pertanyaan Daniel membuat keningku mengernyit. Sedangkan Axa menatapnya meminta penjelasan. "Carikan pengawal yang bisa melindungi Airish dua puluh empat jam." "APA!!" bentakku tidak terima. "Aku bisa mencarinya, tapi aku tidak tahu, apakah dia sanggup menjadi babysitter dari bocah manja ini atau tidak." "Carikan saja. Koneksimu di dunia kotor itu lebih tajam dan jauh daripada koneksiku. Aku yakin kau bisa menemukan orang yang tepat dalam waktu dekat," ucapan lanjutan dari Daniel membuat Papa menatap Axa penuh harap. Dunia kotor. Dunia gelap di mana manusia lain mencari keuntungan dengan cara yang salah. Pedagang illegal, penyelundup senjata, perdagangan n*****a, minuman keras, dan juga penjualan/pembunuhan manusia. Dunia para mafia bengis dan keluargaku menjadi salah satu dari bagian mereka. Namun setahuku, hanya Daniel dan Papa yang masuk ke dalamnya. Sedangkan Axa? Dia tak ubahnya pengangguran yang suka ke sana-kemari menghabiskan waktu dan uang. "Aku akan mendapatkannya besok." Axa menatapku tajam. "Dan kuharap, kau tidak menghajarnya lagi seperti yang telah kau lakukan kepada tiga orang sebelumnya." "Asalkan dia bukan penggoda menjijikkan yang berniat meniduriku atau manusia payah tidak berotak lainnya. Aku akan menerimanya dengan senang hati," balasku dengan dengkusan yang membuatnya balas menyeringai. "Aku harap, kau tidak menjadi jalang setelah bertemu dengannya." __
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN