Pagi itu, Sekar mematut dirinya di depan benda yang memantulkan wajahnya di depan sana. Polesan ringan menjadi pilihannya hari ini. Lipstik peach muda, bedak yellow beigh membuat tampilannya semakin sempurna. Untuk ukuran wanita secantik dirinya, riasan berat sejatinya tak ia butuhkan. Bahkan tanpa make up sekalipun sesungguhnya Sekar sudah memiliki kecantikannya sendiri.
Berdandan, adalah hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Jika bukan karena salah satu buku yang ia baca kemarin, mungkin ia tak akan tahu bahwa berdandan adalah salah satu implementasi dari ke bakti seorang istri. Memang benar kecantikan seorang wanita terletak pada kepribadiannya, tapi juga tak jadi pembenaran jika wanita baik abai pada dandanan fisiknya. Karena sejatinya lelaki adalah makhluk pengagum keindahan dan wewangian. Dan itu fitrahnya.
Buku yang ia baca kemarin membuka lebar matanya, bahwa Sekar harus bermetamorfosa menjadi wanita dewasa yang siap menyenangkan suaminya lahir dan batin. Meski itu belum tentu ia dapatkan. Namun, apa salahnya mencoba.
Sekar tak ingin disamakan dengan wanita lembek di luar sana. Yang memilik mengakhiri sebelum berperang. Katakan Sekar tak tahu diri. Namun, jika itu yang harus Sekar dapatkan untuk mengambil haknya maka akan ia lakukan. Sekar siap berperang, buka berperang dengan menyatroni Melati. Cara itu terlalu murahan. Sekar si wanita kuat itu akan berperang, menggunakan akal juga akhlak.
Tak terasa, semenjak subuh menyapa, setelah hampir setengah jam Sekar termangu di depan nakas rias. Kini sudah pukul enam pagi, syuruq hampir tiba. Bayang-bayang rumah yang merayap sudah mulai lenyap. Hasan tak juga pulang. Sekar dengan pakaian setengah transparan mulai tak tenang.
Memainkan buku-buku jarinya, wanita itu tak hentinya melihat ke arah jarum jam. Ke khawatirannya semakin bertambah saat ponsel Hasan tak bisa dihubungi.
Di tengah telapak kakinya yang terus ia hentakan tiada henti di bawah nakas rias sana. Suara ketukan terdengar di balik daun pintu. Suara sayup-sayup terdengar memanggil namanya. Tanpa Sekar lihat, wanita itu sudah tahu siapa pemilik suara bariton di luar rumah tersebut.
“Mas kamu pulang?” Hasan terlihat kusut masai, aroma alkohol menempel erat di indra penciuman. Ini bukan hal aneh lagi bagi Sekar. Semenjak hari pernikahannya, Hasan yang dulu telah hilang ditelan kedukaan.
Hati Sekar terpilin melihat kondisi Suaminya yang tersesat dengan masa lalu. Dengan perlahan Sekar memapah Hasan masuk ke kamar mereka. Kamar yang jarang sekali Hasan sambangi.
Sekar membaringkan pelan tubuh Hasan yang terlihat sangat payah. Air mata wanita muda tersebut hampir jatuh andai dirinya tak segera menahannya. Rasa bersalah muncul di hari kecil Sekar. Melihat Hasan yang begitu terluka, haruskah ia terus berada di dalam hubungan yang tak diinginkan suaminya. Kemana Sekar setengah jam yang lalu, yang begitu percaya dirinya akan mengambil apa yang menjadi haknya?
Sekar duduk di pinggir bibir ranjang. Dengan wajah sendu, tangan mungil miliknya membuka perlahan kancing kemeja yang melekat pada tubuh bidang milik Hasan. Dengan telaten dirinya membersihkan sisa-sisa muntahan yang menempel banyak tempat.
“Aku harus bagaimana, Mas?” Luruh sudah cairan bening milik Sekar, dengan isak kecil tangan Sekar masih setia mengelap setiap inci tubuh atletis milik Hasan.
“Tolong jangan siksa dirimu seperti ini. Badanmu bisa rusak jika setiap malam kamu menegak minuman haram itu.”
Gerak tangan Sekar terhenti saat tangan kokoh Hasan menariknya hingga tubuh mungil wanita itu menubruk d**a bidang Hasan.
Sekar tercekat. Mata nya melebar sempurna, tanpa aba-aba Hasan memanggut bibir ranumnya. Seperti terhipnotis, tubuh sekar meremang. Mengikuti setiap ritme yang Hasan ciptakan. Mata Sekar terpejam, aliran hangat kembali membasahi pipi mulusnya. Seperti ada ribuan kupu-kupu masuk ke dalam tubuh dirinya. Bergerilya, menari-nari menciptakan sensasi yang tak diketahui apa namanya.
Ada perasaan takut, senang, gugup, bercampur menjadi satu. Hasan seperti bukan dirinya. Meski ingin menolak, tapi tubuhnya menghianati. Sekar justru menikmati paras tampan suaminya. Mata yang sedikit coklat, hidung mancung, rahang tegas dan kulit bersih milik Hasan semakin membuat Sekar semakin tersedot oleh pesona raja lapangan tersebut.
Semudah inikah merebut perhatian Hasan? Jika semudah ini maka Sekar sangat menyesal kenapa tidak dari awal ia melekatkan lingerie itu di tubuhnya. Salahnya, ia justru memilih baju tidur lengan panjang untuk menyambut malam yang seharusnya menjadi malamnya.
Jantung Sekar berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. Sekar berusaha meraba hatinya, menyelami perasaannya. Rasa apa yang kini muncul? Perasaan yang kini Sekar rasakan begitu asing baginya. Sungguh ini tak pernah terjadi, lelaki dua puluh delapan tahun itu tak pernah tatapannya memberikan efek apapun bagi Sekar. Berbeda dengan saat ini. Netra di hadapannya bak memiliki sihir yang membuat dirinya hanya bisa terpengkur.
Berbeda untuk Hasan, saat pertama kali ia masuk ke dalam rumah yang pria itu lihat hanya wanita bersurai gelombang dengan mata indahnya. Siapa lagi jika buka Melati. Di dalam kesadarannya yang hanyut sebagian, Hasan melihat Melati begitu telaten mengurus dirinya. Bahkan Melati tak jijik membersihkan kotoran muntahan yang menempel pada tubuhnya.
Kamu datang, Mel. Aku merindukanmu.
Kamu cantik sekali hari ini, Mel. Apa ini sengaja kamu lakukan untuk menggodaku?.
Rasa rindu yang membuncah, membuat Hasan tak sabar untuk segera merengkuh tubuh wanita itu, wanita yang sudah terlalu lama menyiksanya dengan kerinduan. Membawanya ke gulungan ombak yang berasal dari surga. Jika dulu ia menolak. Persetan dengan saat ini. Dirinya sudah telanjur rusak karena wanita yang hadir di dalam bayangan Hasan.
Maka di bawah matahari yang sedikit lagi menggantung di atas rumah. Dengan berkas cahayanya yang masuk ke dalam sela-sela ventilasi jendela, merekalah saksi bahwa pagi ini sepasang suami istri sedang memadu cinta. Kumpulan-kumpulan nada yang membentuk simponi indah memenuhi kamar berukuran sedang tersebut.
Sekar terbuai. Semua Ritme yang diciptakan Hasan nembawanya terbang ke atas nirwana. Namun tidak saat di ujung kegiatan Hasan justru menyebut nama Melati.
Hati Sekar teriris habis oleh satu nama yang masih saja bertahta di benak suaminya. Yang sialnya bahkan di dalam peraduan yang seharusnya menjadi milik mereka pun nama wanita itu tak pernah luput.
Berbeda dengan Hasan yang tertidur pulas setelah mengeluarkan hormon endorfin. Sekar justru meremas guling dalam dekapannya. Deras sudah anak sungai di pelupuk wanita itu. Harga dirinya seperti tercabik. Bak seorang p*****r yang hanya dinikmati tubuhnya, tapi hati mereka tak ikut bergerilya. Sekar harus kembali merengguk kecewa. Sepanjang matahari merangkak Sekar duduk termangu menangisi dirinya yang memiliki nasib semenyedihkan ini.