Bab 5

1009 Kata
Bila berkenan silahkan tap love sebelum membaca. Terimakasih Happy reading *** Kopi digiling dengan kehalusan 'Fine / halus'. Kemudian dituangkan air panas dengan suhu 90-92⁰C sebanyak 2x berat kopi selama 10 detik untuk proses blooming. Setelah itu baru ditambah air panas 90-95⁰C sekitar 120ml. Maka espresso, yang dibuat dari kopi robusta dengan tingkat roasting 'dark roast' spesial untuk espresso menjadi racikan yang sangat cocok untuk seseorang yang duduk di depan table bar tersebut. Dengan seringai sinting lelaki dengan tubuh tinggi serta rambut panjang sebahu yang diikat, menyerahkan satu gelas kopi kepada pria yang sedari tadi hanya sibuk menyugarkan rambutnya. Tanpa menuggu lama, Hasan yang sedari tadi tampak frustasi menyambar kopi yang ia pesan. Baru satu tegukan membasahi tenggorokannya, mata Hasan menyipit, ekspresi tak nyaman terlihat jelas di iris wajahnya. “Racun apa yang kamu buat, hah?!” kesal, Hasan mendorong paksa gelas berisikan minuman hitam di hadapannya hingga sebagian isinya tertumpah-tumpah di atas meja bar. “Itu sesuai dengan apa yang kamu pesan.” Pelayan itu nampak santai menanggapi amarah pria yang menghardiknya. Entah kemana sopan santunnya. “Aku meminta kopi. Bukan racun! Sialan pahit sekali.” Hasan segera menyambar air mineral pada soft case yang tak jauh dari tempatnya duduk. Tanpa diketahui Hasan, Rofiq justru menahan tertawa telah mengerjai suami dadakan sahabatnya itu. Rofiq cukup tahu bahwa Hasan membenci kopi pahit. Dia terlalu terbiasa meminum kopi yang terasa manis di lidah. Menurutnya, untuk hidupnya yang kini terlihat pahit, tak ada salahnya dia juga mencicipi kopi yang pahit. Barista dengan celemek di tubuhnya masih berusaha menahan kikikan nya meskipun Hasan menatapnya dengan tatapan menghunus tajam di sebrang meja sana. “Menurut kamu ini lucu?!” Bukan menjawab, Rofiq hanya mengangkat bahunya. Lelaki itu seolah berusaha memancing kobaran api di dalam diri Hasan. “MENURUT KAMU INI LUCU!?” Suara Hasan memekik bersamaan dengan suara gebrakan di meja. Amarah Hasan terlukis di rahangnya yang mengeras, juga buku-buku yang memutih milik lelaki bertubuh tinggi tersebut semakin memperlihatkan betapa marahnya Hasan saat ini. Bara-bara api yang berhasil membakarnya malam ini bukti bahwa bahwa Hasan begitu lelah mencari Melati seharian hingga memudahkan emosinya tersulut. Katakanlah malam ini adalah malam kesialan Hasan. Berniat mendinginkan kepala di sebuah kedai kopi langganannya justru menambah kobaran angkara di dalam jiwanya. Rofiq lelaki gaya khas seniman tersebut menyulutkan percikan api dengan siraman bensin hingga membuat kobarannya semakin membesar. “Lalu menurutmu apa yang kamu lakukan ke Sekar juga lucu? Suami macam apa yang sering meninggalkan istrinya melewati malam seorang diri?!” Tak gentar, Rofiq justru menyudutkan Hasan dengan sudut bibir mencibik, merendahkan. Dengan gaya elegannya Rofiq memainkan sendok di jemarinya. Seakan memperlihatkan kepada Hasan bahwa Hasan bukanlah tandingannya. Mendengar ucapan itu membuat d**a Hasan semakin naik turun dengan cepat, “Tau apa kamu tentang rumah tanggaku?!” “Pfffffff... Rumah tangga?” Tahan tawanya tak lain hanya sebuah ejekan untuk Hasan. Lelaki dengan seragam barista tersebut menaikan halisnya, semakin menantang lelaki dengan d**a membusung “Rumah tangga main-main menurutmu? Berhentilah membual.” “Sialan!” BRAK Satu gebrakan kembali terdengar. Riuh suara obrolan di dalam ruangan, serta kelenting sendok dan gelas yang beradu mendadak sunyi. Pandangan mereka beralih kepada dua orang yang sedang saling tatap dengan bersitegang. Di hadapan Hasan, Rofiq tak sama sekali gentar. Dia justru keluar dari bar nya dan mengayunkan tungkai ke arah Hasan. Lelaki dengan rambut diikat itu melipat dua tangannya di d**a. “Kalau nggak menginginkan Sekar, nggak usah susah-susah menyia-nyiakanya. kamu bisa ngasih dia sama aku. Aku akan sangat bersenang hati menerimanya meski janda. Oh, bukan! Aku ralat. Tanpa kamu serahkan juga bakal aku ambil Sekar dari laki-laki b******k macam kamu!” Senyum smirk Rofiq rupanya cukup mendidihkan ubun-ubun kepala Suami Sekar itu. Dengan gelapnya angkara beserta rasa sesak yang sedari tadi di tahan. Akhirnya satu bogeman mentah berhasil mendarat di rahang milik Rofiq. Beberapa wanita yang berada di tempat itu memekik ketakutan melihat Rofiq yang terjungkal ke bawah lantai. Di bawah sana, Rofiq justru tertawa seraya jempolnya mengusap ujung bibirnya yang berdarah. "Cuma gini saja?” tantang Rofiq. Hasan hendak kembali meriksak maju, kembali melayangkan tangannya yang mengepal, tapi terlanjur seseorang di belakangnya menarik paksa tubuh lelaki berparas tampan itu. “b******n kamu!” Hasan melepas paksa tangan orang yang melerainya. “Lepas, biar aku habisin anak bau kencur itu.” “Pak tolong jangan membuat ribut di cafe kami. Ini tempat umum, bukan area tinju,” ucap lelaki di belakang punggung Hasan. Hasan mendengkus napas kasar, lalu memilih melangkah keluar dari dalam cafe. Rofiq melihat punggung bidang yang hendak menghilang dari tangkapan netranya. Dalam hati Rofiq berjanji akan merebut Sekar dari Hasan apapun yang terjadi. Baginya Sekar adalah cinta sejatinya. Seperti pendekar siang bolong, Hasan rela melakukan hal gila apapun demi Sekar. Seperti saat ini, menciptakan kegaduhan hingga Ia bisa saja terancam dipecat oleh pemilik cafe tersebut. *** Hasan memacu sepeda motonya dengan kecepatan tinggi, hingga sampai di sebuah tempat, Hasan membanting sepeda motornya. Gemerlap serta riuh tempat tersebut sudah terlihat hanya dari luar gedungnya. Dengan langkah memburu, Hasan masuk ke tempat tersebut. Di dalam sana Hasan langsung duduk kembali di depan meja bar. Kali ini bukan tampilan alat-alat untuk meracik kopi yang tampak berjejer di depan pandangannya, melainkan botol-botol berbagai jenis warna minuman yang tertata rapih nan elegan. Bukan pemandangan aneh lagi bagi Hasan, sudah sebulan ini tempat tersebut menjadi melepaskan beban di pundaknya. Hasan memesan satu minuman ke seorang bartender yang sedang asyik memainkan atraksinya. Masih dengan hawa kesal yang membumbung tinggi, segelas tequila menjadi pilihan Hasan. Hasan menandaskan minuman hanya dengan satu tegakan saja. Semua yang ada di dunia ini dapat berubah. Hasan yang tidak pernah sekalipun menyentuh minuman itu akhirnya terjerumus pada minuman tersebut. Dan sialnya, minuman itu menjadi candu bagi laki-laki yang mengalami patah hati paling berat tersebut. Tegakan demi tegakan ia masukan ke dalam mulutnya. Membasahi tenggorokan. Ia ingin melupakan semuanya. Melupakan semua kerumitan yang terjadi. Hasan membenci dirinya sendiri. Andai ia punya kemampuan untuk menolak pernikahan itu. Mungkin keadaan tak akan sehancur ini. Di dalam kesadarannya yang setengah menghilang. Hasan melihat Melati sendang duduk seorang diri. Memeluk kedua lututnya dengan linangan air mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN