Pengalaman pertama membuat gugup

1260 Kata
“Kamu suka ya sama alat musik ini?” Mirai mengangguk tanpa ragu, kedua matanya pun tidak bisa berbohong, penuh binar menatap alat musik klasik yang sedang di mainkan oleh salah seorang dari teman Aksa, lelaki yang tadi mengajaknya berkenalan dan menarik dia sampai bergabung dengan  yang lain. “Mau coba main?” Mirai menoleh ke arah Aksa, tampak ragu karena selama ini pun ia belum pernah mencoba untuk memainkan alat musik tersebut. Mirai belum mampu membeli dan masih mengumpulkan uang jajannya, ia hanya menonton lewat internet sambil belajar tentang notasi yang di gunakan untuk alat musik tersebut, sulit sekali memang. “Aku belum pernah coba,” ucapnya. Aksa tampak tersenyum, tidak ada tatapan merendahkan atau meremehkan karena gadis di hadapannya belum pernah memainkan alat musik tersebut, senyumnya begitu tulus kepada Mirai, “Tapi aku yakin kalau kamu belajar dari internet kan, jadi apa lagi, sekarang tinggal prakteknya saja,” ucap Aksa. Tanpa menunggu jawaban Mirai, Aksa lebih dulu meminta alat musik tersebut pada temannya, kemudian memberikannya kepada Mirai, “Ayo, aku yakin kamu penasaran banget buat main biola secara langsung,” ucapnya. Aksa merasa gadis di hadapannya ini memang begitu tertarik kepada alat musik ini, mudah sekali di tebak ketika ia melihat sorot mata Mirai yang tampak berbinar melihat biola yang tengah di mainkan oleh salah satu temannya. Mirai yang semula tampak ragu dan malu-malu akhirnya menerima biola yang Aksa sodorkan kepadanya. Gugup sekali karena pertama kalinya ia memegang biola secara langsung seperti ini, memang selama ini hanya menonton saja, tidak pernah memegang alat musik yang selama ini ia kagumi dan ingin sekali ia kuasai. “Kalau biolanya rusak gimana? Aku nggak pernah pegang, ini pertama kali banget,” ucap Mirai jujur. Padahal mereka baru saja bertemu, baru saja berkenalan hari ini bahkan baru beberapa saat, tetapi karena Aksa yang memang begitu welcome membuat Mirai merasa sudah seperti teman lama saja. Tidak tampak canggung satu sama lain.  Aksa terkekeh mendengar perkataan Mirai dengan wajah yang begitu menggemaskan di hadapannya kali ini. “Nggak apa-apa, kamu nggak banting biolanya juga kan.” “Nggak lah!” seru Mirai. Mereka tergelak melihat wajah panik Mirai membuat gadis itu malu karena banyak yang memerhatikannya, lupa kalau ia sedang bersama yang lain di sini, bukan hanya ada dia dan Aksa saja. “Ya udah. Santai aja,” balas Aksa yakin. Mirai dengan masih diliputi kegugupan mengangkat biola tersebut, menaruh di pundaknya bak pemain biola profesional. Sementara tangan kanannya sudah memegang bow (alat geseek untuk biola), Mirai tampak menarik napas lalu mengembuskannya dan perlahan tangan kanannya bergerak dengan bow tersebut yang menggesek satu senar biola bagian paling atas. Hanya sekali, kemudian mulai dengan nada di senar ketiga dari atas.  Mirai menghentikan permainannya, hanya mengeluarkan nada doremi saja dan Mirai sudah malu karena dilihat orang-orang. Mengembalikan biola kepada Aksa, seperti itu saja sudah membuat Mirai senang sekali. “Kenapa berhenti?” tanya Aksa menerima kembali biola tersebut. “Nanti aja, malu banyak orang,” jawab Mirai. Aksa mengangguk mengerti kemudian tangannya mulai memainkan biola yang diberikan oleh Mirai kepadanya. Satu lagu dari penyanyi RAN berjudul dekat di hati mulai dimainkan dengan piawai menggunakan biola tersebut membuat orang-orang yang mendengarkan terhipnotis dengan permainan biola yang Aksa tunjukkan, pun dengan Mirai yang terpaku melihat bagaimana tangan lelaki itu menggesek biolanya. ** Wajah Mirai tampak berseri setelah bergabung dengan lelaki bernama Aksara dan teman-teman lelaki itu, meski tidak begitu lama karena ibunya melepon dan mengatakan kepadanya untuk segera pulang tetapi hari ini Mirai senang karena dia bisa mencoba untuk memainkan biola, alat musik yang selama ini selalu dia pelajari lewat online. Mirai juga tidak menyangka bahwa Aksa ternyata pandai bermain alat musik tersebut, bahkan sepertinya beberapa alat musik lain juga di kuasai dengan begitu baik oleh lelaki itu dan Mirai salut sekali pada Aksa. Tidak hanya tadi saja Mirai bisa bermain musik dengan Aksa dan teman-temannya, lelaki itu bilang Mirai bisa datang kapan saja terutama saat hari libur seperti ini bahkan tadi mereka sempat bertukar nomor telepon agar Mirai bisa menghubungi Aksa dan bertanya di mana lelaki itu dan yang lainnya konser, begitu yang Aksa katakan menyebut mengamen dengan istilah konser. Katanya sih biar lebih keren saja. Selepas pulang dari taman dan kembali pulang dengan menggunakan angkutan umum, sengaja tadi Mirai pergi tanpa membawa si kitty –nama dari motor kesayangannya, karena motornya habis dicuci dan sudah kinclong, sayang kalau di bawa keluar rumah. Mirai pun sudah berada di rumah, melihat ibunya sedang berada diluar menata bunga yang akhir-akhir ini menjadi sebuah hobi baru sang ibu. “Kamu kok lama banget, memangnya habis dari mana sih? Lari itu ya di sini juga bisa kan,” tanya Bu Gita saat melihat Mirai yang baru saja sampai. “Tadi kan Mirai sudah bilang, Ma. Mirai mau ke taman kota.” “Pasti habis jajan, bukan lari.” “Iya gitu deh,” balas Mirai tersenyum kecil. Bu Gita menggeleng, masih sibuk dengan bunga yang sedang ia sukai. Karena teman-temannya memang kerap membahas tentang tanaman hias, jadi lah ikut-ikut menanam bunga di rumah. Alhasil Mirai juga yang selalu kebagian membeli beberapa pot bunga kalau ia pulang dari kampus. “Harusnya kamu itu kalau ada waktu luang pakai buat belajar, awas loh ya nilai kamu kalau sampai turun. Contoh Kakak kamu itu loh, jangan sampai nanti ada nilai merah. Malu-maluin banget nanti,” cerocos Bu Gita kembali membuat Mirai mengembuskan napas pelan, selalu seperti ini ujungnya. Kenapa ia selalu saja menjadi pembanding dengan kakaknya sendiri, padahal kemampuan setiap anak berbeda kan. Tidak harus selalu di sama ratakan antara anak pertama dan kedua, atau pun yang lainnya. “Iya, Ma. Habis ini Mirai belajar kok,” jawabnya pelan. “Ya sudah masuk sana, jangan lupa mandi terus makan. Habis itu belajar,” suruh Bu Gita kepada Mirai, membuat gadis itu mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah. Padahal niatnya ingin membantu ibunya lebih dulu, tetapi kalau sudah begini Mirai tidak bisa membantah lagi. ** Mirai kembali bergelut dengan buku bahasa Jepang, setelah tadi mandi, berganti pakaian dan makan. Sesuai dengan apa yang di perintahkan oleh ibunya, Mirai pun pergi kembali ke kamar dan mulai belajar. Tidak ada tugas, Mirai malah bingung belajar apa. Membuka buku kanji sama saja membuat otaknya jadi lelah, Mirai kan tidak pernah belajar kanji kecuali kalau memang ada test dan seminggu sebelumnya baru ia belajar. Lagipula kalau tidak seperti itu, Mirai malah sering lupa. Otaknya ini sudah biasa dengan SKS alias sistem kebut seminggu sebelum ujian atau test mingguan. Jangan tanya nilainya berapa di mata kuliah kanji, dapat B saja sudah membuat Mirai bernapas begitu lega. Nilai B artinya bagus kan. Mirai menutup bukunya, ia hanya mencoret-coret saja, tidak tentu. Malah pikirannya berkelana ke kejadian beberapa waktu lalu di mana ia bisa memegang biola, alat musik yang sekarang sedang ia pelajari meski masih online, anggap saja ia ketinggalan jaman karena baru memegang biola, tetapi memang begitu faktanya. Lagipula kapan Mirai bisa bertemu dengan alat musik tersebut, di toko alat musik pun hanya melihat saja tanpa menyentuh. “Tapi Aksa jago juga ya mainnya,” gumamnya mengingat kembali permainan biola yang Aksa tunjukkan. “Apa belajar dari dia aja ya?” “Eh tapi, malu banget tadi aja di lihat teman-temannya.” “Tapi penasaran dari mana dia belajar.” Mirai terus berbicara dengan dirinya sendiri. Ia juga penasaran sekali dari mana lelaki itu belajar bermain alat musik sampai semuanya bisa Aksa kuasai. Tidak hanya pandai bermain gitar dan bernyanyi seperti saat perama kali Mirai melihat Aksa sedang mengamen, tetapi lelaki itu ternyata pandai bermain biola. Mirai jadi membayangkan saat ia bisa sepandai itu memainkan alat musik tersebut. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN