Biola dan lelaki bernama Aksara

1548 Kata
Kanji.  Selain pola kalimat yang membuat kepala berputar-putar karena memang dalam bahasa Jepang bukan seperti dalam bahasa Indonesia yang menggunakan subjek, predikat dan objek. Tetapi pola kalimat dalam bahasa Jepang di akhiri dengan predikat, rumusnya subjek objek dan predikat. Semakin banyak objek, semakin ujung posisi predikat tersebut.  Dan Kanji ini, percayalah tidak akan mudah hanya menghapalnya dalam semalam, kecuali orang jenius, mungkin.  Karena Kanji memiliki dua cara baca, yaitu cara baca jika huruf kanji tersebut berdiri sendiri dan cara baca jika huruf kanji tersebut berdampingan dengan kanji lainnya. Seperti kali ini. Mirai tengah menghapal beberapa huruf kanji karena ada test mingguan yang kerap kali di lakukan oleh Dosen mata kuliah kanji.  Mirai sendiri sudah menghapalnya dari dua minggu yang lalu. Karena jujur saja mata kuliah ini yang belum terlalu dia kuasai -meski yang lain juga tidak begitu di kuasai- karena mata kuliah yang lebih rumit. Mungkin seperti rumus fisika dan kimia saat sekolah menengah atas dulu. “Rai, hapal gak?” tanya seseorang. Itu Fani, teman satu kelasnya yang sering duduk di samping Mirai. Mirai menoleh lalu menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa yang bikin pusing, lihat ni kanjinya ribet banget padahal di bacanya cuma Ki doang terus artinya mesin. Tapi coretannya subhanallah sekali, Fan.” Mirai menunjukkan huruf kanji yang tampak berbelit. Entah di mulai dari mana coretannya namun kanji ini yang paling menyusahkan. “Ah kalau itu sih aku juga nggak hapal-hapal apalagi pas di tulis. Malah bingung mulainya dari coretan mana dulu, kok ada ya huruf yang begini bikin kepala mumet,” balas Fani. Mirai mengedikkan bahunya. Lalu mereka pun kembali fokus pada buku kanji dengan tebal yang luar biasa seperti kamus. ** “Gilla! Bener-bener dah tu Pak Dosen. Kasih soal test nggak kira-kira. Masa sampe tiga puluh soal. Biasanya kan lima belas doang, kayanya si Bapak bener-bener mau test kita sampe kanji di materi selanjutnya pun ada.” Cerocosan Fani malah membuat Mirai tertawa kecil. “Ya malah ketawa kamu, Rai,” ucap Fani. “Maaf, Fan. Habisnya kamu sih baru keluar kelas selangkah udah nyerocos nggak berhenti kaya kereta api. Tarik napas dulu coba, menurut aku ya tiga puluh itu biasa. Masa kamu nggak inget kalau ulangan semester ada berapa soal kanji tu yang kita harus kerjain. Anggap aja ini pemanasan ujian semester,” jelas Mirai. Test tadi memang tidak seperti biasa. Tetapi Mirai maklumi karena sebentar lagi akan masuk ujian semester. Jadi Dosen tadi memberikan sedikit pemanasan kepada mahasiswa. Lagi pula soal test yang ada sekarang selalu ada di ujian semester bahkan semuanya hampir sama tetapi di satukan dari soal test yang di lakukan dua kali menjadi soal ujian semester di satu hari ujian. Mirai sudah paham dengan apa yang di lakukan Dosen mata kuliah kanji. Karena bukan kali ini saja beliau mengajar di kelas Mirai, tetapi sudah dua semester dan ini menjadi ke tiga kalinya.  Bosan?   Tentu tidak, karena cara mengajar sang Dosen begitu menyenangkan -kecuali cara memberikan test- yang kadang di selingi dengan permainan di dalam kelas seperti tebak kanji, meski tetap tebakannya seputaran kanji. Tetapi setidaknya pembelajaran kanji tidak begitu menegangkan. “Hari ini kamu mau ke mana dulu, Rai.” Mirai dan Fani sudah berada di lantai dasar kampus mereka. Hari ini memang hanya ada dua mata kuliah. Satu di pagi hari dengan mata kuliah kebudayaan Jepang dan satu lagi ya mata kuliah kanji tadi. Sekarang baru pukul 12 siang. “Pulang deh. Harus bantuin Mama buat acara syukuran Kak Ayu yang sukses restorannya,” balas Mirai. “Wah keren banget Kakak kamu, Rai.” “Iya Kak Ayu emang dari dulu keren.” “Lancar terus ya buat Kakak kamu bisnisnya, masakannya juga enak. Aku pernah datang sama keluarga ke restoran Kakak kamu. Kak Ayu langsung terjun di dapur ya? Soalnya pas aku makan sama orang tuaku, Kak Ayu yang langsung layaniin gitu.” “Iya, sesekali Kak Ayu terjun langsung sih. Apalagi kalau restoran lagi rame.” “Kelihatannya rame terus sih.” “Alhamdulillah.” Mirai tersenyum tulus. ** Mirai mengendarai sepeda motornya -yang dimilikinya sejak sekolah- melewati jalanan yang sering kali ada pertunjukan dari pengamen jalanan. Biasanya mereka bermain musik di pinggir jalan dekat lampu merah. Seperti sekarang ada pertunjukan dari beberapa anak jalanan yang Mirai lihat salah satunya tampak laki-laki yang bisa di perkirakan umurnya sama dengan dia. Lampu merah menyala. Mirai berada di samping tidak jauh dari para pengamen yang tengah bermain musik. Lebih tepatnya laki-laki tadi yang tampak menjadi pusat di antara yang lain. Tengah memainkan gitar di tangannya, dengan suaranya yang merdu. Laki-laki itu menyanyikan lagu “tanpa batas waktu” yang sekarang memang sedang viral karena banyak di nyanyikan, pun mejadi soundtrack salah satu sinetron di TV nasional. Lagunya memang enak di dengar. Suara laki-laki itu pun enak di dengar. Tidak lama lampu merah berubah menjadi hijau membuat Mirai melajukan sepeda motornya meninggalkan tempatnya tadi, dengan suara laki-laki yang kian mengecil karena jarak yang melebar. Musik. Mirai sangat menyukainya. Apalagi suara yang berasa dari alat musik klasik, seperti alat musik gesek -Biola- yang ingin sekali dia miliki dan pelajari. Ya, diam-diam Mirai mempelajari alat musik itu dengan mengandalkan video dari jejaring sosial dan juga dari youtubee. Uang tabungannya sebentar lagi terkumpul dan dia akan membeli Biola dengan uang tersebut. Meski memang uang itu dari orang tuanya juga tetapi ada usaha dia mengumpulkannya dengan tidak terlalu banyak membeli barang-barang dan hal lain yang memang tidak terlalu di butuhkan. ** Acara syukuran untuk kesuksesan restoran baru milik Ayu berjalan dengan lancar. Sebenarnya acara ini hanya kumpul keluarga besar saja, di tambah teman-teman Ayu saat sekolah dan kuliah. Hitung-hitung sebagai reuni mereka juga.  Mirai tampak berbaur dengan teman-teman kakaknya. Karena tidak ada yang di ajak bicara juga sih, jadi tadi Mirai ikut saja saat di ajak oleh Ayu menghampiri teman-temannya. “Jadi adek kamu ini masuk jurusan bahasa? Keren banget dong bahasa asing, mana bahasa Jepang. Setahuku itu kan bahasa asing yang level sulitnya lumayan.” “Iya, baru masuk tingkat dua. Lagi sibuk-sibuknya sama mata kuliah yang udah mulai penuh tiap hari, ya kan, Dek?” Mirai mengangguk. “Iya, hampir seminggu jadwal full sampe sore,” katanya. Teman-teman Ayu tampak antusias dan menatap dengan penuh kekaguman. Karena bahasa asing apalagi bahasa Jepang sangat jarang di kuasai oleh masyarakat umum. Lebih bermasyarakat dengan bahasa inggris. Mereka pun tampak larut dalam obrolan. Lebih mengenang masa-masa sekolah dulu. Mirai hanya menjadi pendengar saja, sesekali menimpali saat salah satu dari mereka bertanya kepadanya. ** Satu minggu kemudian… Mirai tengah berjalan-jalan di sekitar tama kota. Minggu pagi yang selalu dia isi dengan berjalan ke taman kota. Ikut larut dengan orang-orang yang juga tengah jalan-jalan,  olah raga pagi atau pun sekedar mencari jajanan. Mirai hanya sendirian. Dia memang suka sekali menikmati waktunya sendiri di hari libur seperti ini. Atau kadang bersama dengan kakaknya, tetapi tadi sang kakak harus mengecek restoran di cabang lain karena baru saja di buka beberapa waktu lalu. Masih harus terus di pantau sekali pun ada orang yang di percaya untuk mengatur restoran, tetapi sebagai pemilik tentu saja harus tetap memantau. Selesai membeli beberapa jajanan. Ada sosis bakar, tahu bulat dan minuman dingin. Mirai mencari tempat duduk untuk menikmati makannya sambil menatap keramaian di sekitarnya. Tengah menikmati makanannya. Indera pendengarnya menangkap suara yang tidak asing. Mungkin karena suara itu memiliki ciri khas atau dia hanya kebetulan tahu saja menebaknya.  Tatapan yang mengarah ke sekeliling lalu matanya menangkap kerumunan orang-orang yang seperti tengah menonton. Suara gitar berpadu dengan suara nyanyian yang sepertinya memang menggunakan speaker sampai terdengar meski duduknya jauh dari kerumunan itu. Mirai larut dalam musik yang mengalun indah apalagi setelah mendengar gesekan biola yang begitu menyentuh hati. Mirai segera menghabiskan makanannya. Lalu berjalan ke arah kerumunan yang sekarang tampak lenggang. Merasa penasaran dengan suara yang menyanyikan sebuah lagu yang sama seperti beberapa waktu lalu. Mirai melihat seorang laki-laki. Ingatannya kembali ke satu minggu lalu di mana dia yang baru saja pulang dari kampus. Laki-laki itu yang mengamen di pinggir jalan dekat lampu merah. Ya, Mirai yakin dia adalah oran yang sama. Laki-laki itu selesai bernyanyi bersama dengan anak-anak lain. Orang-orang pun mulai berpencar karena konser dadakan tadi sudah selesai.  Mirai berdiri tak jauh dari laki-laki tersebut dengan mata yang tampak berbinar menatap sebuah biola yang di mainkan oleh salah satu anak di sana. Tak lama. Mirai tertangkap basah. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Mirai yang seolah masih belum sadar dengan sekeliling karena matanya masih fokus pada gesekan biola tersebut. “Hey!” Mirai terlonjak. Dia menoleh ke samping dan mendapati laki-laki tadi sudah ada di dekatnya. Sejak kapan laki-laki itu di samping aku, batinnya bergumam. “Maaf,” ucap Mirai. Berpikir mungkin laki-laki itu menegurnya karena sudah berani memperhatikan mereka diam-diam. “Mau bergabung?” tanya laki-laki yang sukses membuat Mirai terperangah. Dia kira laki-laki itu akan mengusirnya. Mirai masih diam mencerna pertanyaan laki-laki tersebut. “Nggak apa-apa kalau mau gabung, lagian bebas juga,” katanya karena Mirai masih juga tidak mengatakan apa-apa. “Oh, ng-nggak kok,” balas Mirai yang tampak ragu. “Nggak usah sungkan. Ayo gabung sama anak-anak. Aku lihat kamu tertarik sama biola ya?” “Hah?! Oh itu …” Mirai tampak berpikir lalu mengangguk yang berhasil membuat laki-laki itu tersenyum tipis. “Kenalin aku Aksara,” laki-laki itu mengulurkan tangannya. “Ayo gabung sama kita, seru-seruan,” lanjutnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN