Maheswati 9

903 Kata
"Kalo numpang itu mbok ya tahu diri dikit. Yang punya rumah keluar seharian. Capek-capek pulang bukannya makan malam udah siap, eh ini masih harus masak dulu!" "Ma, udah dong. Hesa kan masih anak-anak. Mana bisa masak." Sembari memasukkan irisan sawi ke dalam penggorengan, perempuan itu terus membelanya. "Segedhe gini kamu bilang anak-anak? Dulu jaman mama seumuran dia nggak gini-gini amat tuh. Nenekmu itu udah biasa nyuruh-nyuruh mama ngramut katering sendiri. Masak banyak menu sampai acara hajatan. Mbakmu dan kamu, apakah kalian dulu seumuran dia masih kagok begini? Nggak kan?" "Ya jangan samain anak sekarang sama jaman dulu dong Ma. Udah beda keadaan, dulu hidup susah yang apa-apa harus dilakukan sendiri." Perempuan itu beralih mendekati Hesa. "Udah sayang, biar kakak yang lanjutin. Kamu tunggu di meja makan sana sama om dan si kembar." "Eh, ENAK AJA! Sini kamu yang goreng ikan. Kalau nggak bisa BELAJAR, biar bisa. Bukan malah menghindar. Gimana besok kamu menghadapi mertuamu kalau nggak paham masalah dapur!" "Ma, tolonglah. Biar aku aja yang lanjutin." Perempuan itu menyambar cepat wadah ikan dari tangannya. Hesa yang sudah tidak tahan langsung pergi meninggalkan dapur. "Hey, hey. Kamu kenapa?" Di pertengahan anak tangga Hesa bertemu dengan pamannya. Pria itu langsung menyongsong tubuhnya. "Om, Nek Warsih udah keterlaluan banget sama aku. Dia terus-terusan marahin aku Om. Dia ngata-ngatain aku ini itu. Ngatain aku nggak becus masak, nggak becus apa-apa. Nek Warsih ...." "Cup cup, Om ngerti Om ngerti." Pertahanan Hesa runtuh juga di d**a pamannya. "Kenapa aku seburuk itu di mata Nek Warsih Om? Apa salahku sama dia?" "Ayok ke kamarmu. Cerita di sana." Setelah sampai kamar dan duduk di ranjang, pamannya mengusap pelan lelehan air yang tersisa di pipinya, sebelum mendaratkan kecupan ringan. "Cantik-cantik jangan nangis. Nanti cantiknya hilang." "Apaan sih Om!" Hesa melengos. "Nggak lucu!" Pria itu terkekeh. Salah satu tangannya masih betah memainkan pipi Hesa. "Dari dulu kan Nek Warsih emang gitu. Kayak kamu baru kenal dia aja. Nggak usah diambil hati omongannya Hes." "Tapi nyelekit banget Om. Ya meskipun aku nggak bisa masak tapi harusnya dia nggak gitu. Kata-katanya jahat banget." "Oke. Kamu mau om gimana? Ngusir dia?" Lalu, tawa pamannya terdengar aneh meremehkan. "Om! Aku lagi nggak becanda ya!" Hesa memukul d**a keras di depannya. "Ya bukan diusir juga," lanjutnya bergumam. "Ya makanya biarin aja. Maklumin udah tua Hes. Anak-anaknya nggak ada yang tinggal bareng sama dia. Jadi pas ketemu kamu dia kangen ngomel-ngomel." "Iiih Om!" Hesa berdiri menghentakkan kakinya kesal. "Udah sana, Om mending keluar dari kamarku." "Lah, kok jadi Om yang diusir?" Hesa menatap mata pamannya dan mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. "Om sadar nggak, hari ini Om udah bikin aku kesel. Om minta kita harus jaga sikap di luar sana. Tapi Om malah melanggarnya." "Apa?" "Pikir aja sendiri!" "Apa?" Pamannya menahan langkah Hesa untuk menghindar. "Kasih tahu nggak?" Pinggangnya direngkuh sampai ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh di pangkuan pria itu. "Om ih!" Hesa berontak. "Kasih tahu dulu!" "Nggak!" "Kasih tahu nggak?" "Om barusan ngapain sama Kak Sefia? Pegang-pegangan tangan segala? Om harusnya nggak boleh gitu sama cewek lain saat istrimu cemas nunggu di rumah." Sejenak pria itu tampak tertegun, sebelum gelak tawa menyusulnya. "Kok kamu tahu kalo tadi Om ngajarin Sefia main ice skating?" "Tahu lah. Aku kan punya mata-mata!" "Tahu dari siapa?" Pamannya semakin mengencangkan pelukannya dari belakang dan berbisik lirih di tengkuk Hesa. Gadis itu langsung merinding dong! "Ra-rahasia!" Krucuk! "Eh, suara apa tuh?" Hesa membalikkan badannya. "Hehe, Om laper Hes. Belum keisi dari siang." Gadis itu memutar bola matanya ke atas. "Salah siapa keluar seharian nggak sekalian beli makan." .... "Hes, aku udah dikabari sama penjahitku loh, dress buatanmu udah jadi. Besok mau Kakak pake." Hesa menatap perempuan itu dan mengangguk. "Iya kak, semoga langsung cocok ya. Biar nggak perlu bolak-balik ke tukang jahit," jawabnya. "Dress buatan dia?" Tiba-tiba si nenek yang diharapkan Hesa tidak mengeluarkan suaranya ikut nimbrung. Membuat gadis itu hampir kesedak makanannya sendiri. "Iya, Ma. Yang pas aku ada acara gathering. Yang waktu itu fotonya aku kirim ke Mama. Itu bikinan Hesa. Yang Mama puji-puji bagus." Seharusnya Hesa tidak penasaran dengan ekspresinya. Seharusnya ia tetap fokus dengan sepiring nasinya. Tapi Hesa tetaplah Hesa, matanya sudah terlanjur menangkap kilat sinis itu. "Ya baguslah kalo masih ada yang bisa dikerjakan. Biar nggak terlalu payah-payah amat." Hesa menghentikan kunyahannya, pria yang di sampingnya pun begitu. Bahkan ia yakin semua yang ada di ruangan ini memandang kaget ke arah si nenek yang masih terus menggerutu seolah tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengata-ngatai Hesa. "Besok acaramu jam berapa, Sef?" tanya si nenek tiba-tiba mengalihkan topik. Sadar akan sikapnya yang menjadi pusat perhatian. "Malem sih Ma," jawab Sefia. Lantas perempuan itu menatap pamannya. "Kalo malem bisa nggak Mas?" Eh, eh, apa ini maksudnya. Hesa melirik pamannya sekilas sebelum kembali menunduk. "Sepulang ngantor bisa aja. Jam ber ...." Seperti telah menyadari sesuatu pria itu tak melanjutkan kalimatnya. "Nah itu, Masmu bisa. Biar nggak dikira jomlo kalo ada yang nemenin," celetuk si tua. "Pura-pura punya pasangan gitu ya Ma? Itu namanya membohongi diri sendiri." "Ya nggak papa toh, dianggep aja pasangan beneran. Papa jomlo Tante jomlo. Kalian cocok." Jihan menimpali dengan mulut terisi penuh. "Naaaah, anaknya aja udah ngasih restu, Sef. Kalo kalian mau cari mama baru nggak usah jauh-jauh Nduk, ada tantemu. Belum tentu ada perempuan mbeneh yang telaten ngurus kalian seperti tantemu ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN