Maheswati 8

883 Kata
"Mas, sekarang Mama lagi on the way ke sini loh. Kangen cucu katanya." Hesa mengangkat wajahnya saat kalimat yang diucapkan adik ipar pamannya terlontar. Mereka kini tengah melakukan sarapan pagi bersama. Pamannya tampak mengangguk di sela-sela aktivitasnya mengunyah nasi goreng. "Nyampe jam berapa? Kita jemput." "Kita nggak perlu jemput, Mas. Mama katanya mau naik taksi aja." "Ahaaaa, kebetulan banget Nenek ke sini." Tiba-tiba salah satu dari si kembar berceletuk riang. Dari reaksinya sudah dapat ditebak bahwa bocah itu akan memanfaatkan kunjungan neneknya udah mendapatkan sesuatu. "Han, Han ... nggak dibeliin kamera sama Papa lo mau mintak ke Nenek kan?" tebak salah satunya lagi. Bocah yang tertuduh langsung melengos. "Suka-suka gue! Sirik amat sih lo." Melihat tingkah kedua bocah itu, Hesa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dalam diam. "Hes, adeknya temanku ada yang ambil DFP di Surabaya lo. Recomended sih, akreditasinya sekarang udah A." Hesa yang merasa namanya disebut langsung menyambut antusias. "Iya kak. Aku juga udah dapet info dari BK." "Hesa mau kuliah di Surabaya lo, Mas. Entar biar tinggal di apartemenku aja. Punya ponakan cantik bahaya hidup sendiri di luar kota. Ya, meskipun Surabaya nggak sekeras Jakarta sih." "Aku nggak ngebolehin dia kuliah di sana Sef. Jadi cewek itu nggak perlu sekolah jauh-jauh. Lebih-lebih jika di kotanya aja udah ada kampus yang lebih berkembang ngapain masih nyari di luar." "Tuh kan! Om Hakim selalu gitu Kak," sambar Hesa. "Iya. Papa kenapa sih? Kak Hesa kan udah gedhe. Aku pengen kuliah di luar juga nggak dibolehin Te." Jihan ikut berkomentar. "Sekarang jamannya emansipasi Mas. Dari omongan Mas kok rasa-rasanya jadi cewek semua serba dibatesin." "Tanggung jawab yang diambil orang tua itu lebih besar. Gimana aku bisa menjaga mereka kalau mereka jauh dariku? Lagian, itu tadi, di sini aja udah banyak kampus yang berkembang. Kamu akan pahan saat nanti udah berkeluarga dan punya anak." "Papaaaa ...." Jinan yang sedari tadi memilih diam kini sudah berada di dekat ayahnya dan memeluk tubuh kuat itu. "Papa jangan khawatir. Kalo kak Hesa dan Jinan lebih memilih kuliah di luar biarin aja. Jinan yang akan temenin papa di rumah. Jinan nggak akan pernah tinggalin papa." "Uuutayaaang, geli gue Ji. Geli." Hesa dibuat terharu dengan perlakuan Jinan. Ya, Jinan memang si penurut dengan segala kemanisannya. "Oh sweet. Jinan memang anak Papa banget ya? Kalo gitu Hesa juga akan nurut sama Papa deh." .... Wanita paruh baya itu tampak terus mengeluarkan air matanya sembari meracau tak jelas. Mengelus bingkai foto pada genggamannya dan sesekali mengecupnya. "Anakku, anakku ...." "Mama, udah dong. Lihat, kembar jadi ikutan nangis nih. Mbak Prisa juga pasti terusik di surga sana kalau mama terus-terusan kayak gini." Si bungsu mengusap pelan bahu yang masih bergetar karena tangis. "Benar Sefia Ma, kita harus ikhlas," tambah pria yang sedari tadi turut menenangkan isakan putri kembarnya. Hati Hesa terenyuh dengan pemandangan tersebut. "Anter mama ketemu mbakmu Sef. Mama kangen sama mbakmu." "Ayok aku anter. Kita berangkat sekarang aja, mumpung langitnya cerah. Sorean dikit biasanya hujan." Lantas pria itu menepuk kedua bahu si kembar, dan melanjutkan perkataannya, "Udah nangisnya. Ayok kita ziarah ke makam mama." "Om, aku ikut ya?" Hesa mendekati pamannya. Pria itu mengangguk sambil tersenyum. "Iya." "Eh, Nggak!" seru si nenek tadi. "Ini acara keluarga. Orang luar nggak boleh ikutan." Paras Hesa langsung memerah padam. Dari dulu wanita yang tengah menatap tajam dirinya ini memang tak pernah menunjukkan sikap hangat padanya. Menganggapnya pengganggu. Menyebutnya benalu tak tahu malu. "Maaf Nek," tunduk Hesa. "Nenek nenek, nenek biahmu! Aku bukan nenekmu!" "Ma ...." "Nek ...." Semua yang ada di ruangan besar itu menegur serampak. Mereka cukup terpana dengan respon si nenek yang berlebihan. "Kenapa? Emang dia bukan keluarga kita kok. Lagian, katanya kamu anak konglomerat. Ngeluarin sedikit uang warisan buat beli rumah nggak ada salahnya kan? Masak tinggal sendiri masih nggak berani. Padahal udah gedhe. Nggak tahu diri banget dari dulu numpang di rumah orang." "Kita berangkat sekarang!" Jika saja pamannya tidak lebih dulu enyah dari sini, sudah dipastikan Hesa akan habis dengan cercaan wanita itu. Sekarang, tinggallah Hesa sendiri dengan air matanya. "Sabar Hes, sabar. Kayak nggak paham gimana Nek Warsih aja. Sabar ya Hes," gumamnya menghibur diri. .... Dunia sudah hampir petang, namun orang yang ditungguinya tak kunjung muncul. Layar ponsel yang sedari tadi hampa membuat Hesa semakin jengkel. Kenapa mereka belum kembali hingga kini? Apa yang dilakukan mereka di luar sana? Pesan untuk pamannya juga tak ada jawaban. Mungkinkah berziarah sampai membutuhkan waktu hampir satu hari penuh? Atau mereka mampir ke suatu tempat untuk bersenang-senang dulu? Ah, kenapa Hesa mendadak nelangsa mengingat satu kosa kata itu. Satu pemberitahuan muncul di layar gawainya. Dan, deg! Mata Hesa memolot sempurna. Pesan bergambar lengkap dengan keterangannya itu sukses meremas egonya. Dua insan dewasa tampak asik bergandengan tangan sambil bermain ice skating. Jangan lupakan senyum keduanya yang tanpa beban itu, mampu meremukkan sesuatu yang ada di dalam diri Hesa. Syok kan lo? Sahabatnya itu mengirim pesan lagi saat dirinya tak kunjung membalas. Elah, diread doang Woy! Lo masih idup kan, Sa? Trus kenapa? Lain di hati lain di jari. Hesa penasaran tapi ia terlalu gengsi untuk menanyakan lebih pada sahabatnya. Mereka kek keluarga bahagia gitu gasik? Mama Papa dan dua anak. B aja Singkat, padat, jelas. Hesa ingin mencegahnya, tapi air mata yang membandel terus membasahi pipinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN