Gedung serbaguna salah satu yayasan pendidikan ternama di kota Jakarta itu sudah dipadati oleh peserta wisudawan wisudawati. Mereka telah duduk rapi di barisan kanan, sementara para orang tua wali berjejer di sebelah kiri. Lain halnya dengan pria itu, yang duduk di bagian para petinggi dan ketua yayasan.
"Anak-anak, kita juga perlu belajar dari seseorang yang bisa mengembangkan kecanggihan teknologi sebagai batu loncatan untuk meraih kesuksesan. Dapat memanfaatkan gadget dan media sosial pada mestinya, terutama kalian yang mengambil jurusan Teknik Komputer Jaringan. Kepada Teknopreneur ternama di Asia Tenggara Bapak Hakim Lazuardi Rahman, S.Kom, M.Sc., PDEng dipersilakan untuk memberikan ilmu dan sambutannya."
Pria itu lantas beranjak dari kursinya dan menerima sebuah mikrofon yang diberikan oleh sang moderator. "Suatu kehormatan sekali bagi saya diminta untuk berdiri di sini memberikan sambutan, sementara saya sendiri juga masih tahap belajar.
Ngomong-ngomong, dalam dunia teknologi itu sangat luas, kita bisa mendapatkan keuntungan apabila digunakan dengan benar. Tapi tak jarang pula orang dewasa bahkan anak dibawah umur kecanduan dan terjerumus pada pergaulan bebas yang didasari dari media sosial. Penyebaran konten yang berbau pornografi sangat mudah dilakukan. Apakah itu artinya kecanggihan teknologi telah memberikan dampak yang buruk dan mendegradasi moral anak? Nah, itu PR kita untuk mencegahnya. Saya tidak ingin berbicara banyak di sini, bagi adik-adik yang memiliki cita-cita menjadi programmer bisa langsung datang ke kantor saya."
Di bawah sana, di barisan para audiens, Hesa menatap pria itu tak berkedip.
"Perfect!" gumam gadis di samping Hesa. "Lo bilang katanya om lo nggak bisa dateng. Tuh apa, malah ngasih sambutan."
"Eh serius. Gue nggak bohong. Gue juga nggak tau kalo dia mau ngasih sambutan."
"Makanya apa gue bilang, tanya ke om lo apa alesan dia sok nggak bisa dateng. Ternyata dia mau ngerjain lo doang kan?"
Hesa menghembuskan napas lelah. Si Salmon tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Tadi Edzard nanyain lo ke gue."
Hesa menoleh ke arah sahabatnya itu. "Trus lo bilang apa?"
Sahabatnya mengendikkan bahu tak acuh. "Gue suruh nemuin lo langsung. Gue nggak mau ikut campur."
"Emang dia ngomong apa ke lo?" desak Hesa.
"Alasan lo yang nggak masuk akal mutusin dia. Edzard nggak terima."
Hesa memijit keningnya, ia bingung dengan hatinya sendiri. Kenapa putus dengan laki-laki itu tak membuatnya sedih sama sekali? Sungguh ini tak adil bagi Edzard yang selama ini sudah setia dengannya.
"Lo sebenarnya cinta nggak sih sama dia?" tanya sahabatnya lagi penuh selidik. "Lo nggak cinta kan sama Edzard? Wah! PARAH lo mainin ati banget! Awas karma."
Hesa mengangguk lemah. "Lo emang bener. Gue emang jahat. Makanya gue nggak sanggup ketemu dia. Gue nggak bisa liat dia sedih."
"Ya nggak masalah sih, perasaan-perasaan lo sendiri. Nggak ada yang bisa maksain. Tapi minimal lo jelasin dong, alasan lo mutusin dia. Tentunya dengan alesan yang logis!"
Hesa kehilangan kata.
"Gini aja deh, kasih tau gue apa alesan lo. Biar gue bantu ngomong ke dia, kalo emang lo nggak tega ngadepin dia secara langsung," lanjut Salma terdengar geregetan.
"Gue ...."
"Lo kenapa? Lo ada gebetan baru?"
Hesa kembali diam. Ia tak mampu melanjutkan perkataannya.
"Ck! Gue tau lo cantik, Sa. Tapi please, gue mohon jangan gunakan kecantikan lo untuk mainin orang."
Ini bocah mulutnya! Hesa mengumpat lirih sebelum menghela napasnya panjang dan mengabaikan ocehan sahabatnya. Tidak ada manfaat berdebat dengan ikan Salmon!
....
"Om bo'ongin aku." Hesa merengut samar seraya memalingkan wajahnya ke arah jalan raya. Rasa jengkelnya semakin menjadi-jadi kala pamannya hanya menanggapi dengan senyum manis. "Selamat karena rencana om bikin aku kaget udah berhasil."
"Om hanya nggak bilang ke kamu. Bukan berarti bohong."
"Na itu, kenapa om nggak bilang ke aku kalo mau kasih sambutan? Om niat kan mau bikin aku speecless."
Pria yang kini tengah mengendalikan setir itu sontak tertawa. "Eh, kamu pede sekali."
"Iih jangan sentuh! Masih kesel nih." Hesa menampik tangan pamannya saat akan menjangkau pipinya.
"Ada ya cewek yang lagi manyun tapi malah kelihatan cantik."
Hesa melengos lagi, masih pura-pura kesal. "Nggak mempan."
Pria itu malah semakin tergelak.
Tanpa terasa mobil mereka kini sudah memasuki garasi rumahnya. Hesa menerima uluran tangan sang paman dengan paras tertekuk.
"Kak Hesa! Selamat yaaa." Jinan yang menyambut kedatangan mereka langsung menubruk tubuhnya. "Tadi aku liat di tv kakak dapet juara satu tata busana ngewakilin sekolahan. Selamat Kak."
"Makasih, Ji."
"Aku bangga punya kakak hebat."
Hesa membalasnya dengan senyum simpul.
"Ini apaan sih pake pegangan tangan segala kek mantenan aja." Di belakang Jinan, Jihan tiba-tiba menyerobot dan melepaskan tautan tangan Hesa dengan ayah dua anak itu. Keduanya sampai tak menyadari jika sedari tadi tangan mereka belum terlepas.
"Han, jangan kasar-kasar dong. Nggak sopan banget!"
Jihan mengabaikan teguran Jinan. Gadis itu malah menarik lengan sang ayah dan bergelayut manja di sana. "Papa, Jihan mau ngomong. Jihan mau minta duit buat beli kamera baru ya Pa?" Jihan memang hobi memotret. Setiap ada keluaran terbaru dia merasa wajib membelinya.
Hesa hanya diam saja melihat interaksi ayah dan anak itu. Ia sangat paham dengan sifat kedua putri tirinya. Mereka memiliki sifat yang bertolak belakang. Jihan tak seperti Jinan. Jihan anaknya manja, sensitif dan jika suasana hatinya sedang buruk dia akan sering meluapkan emosinya pada siapapun termasuk pada Hesa. Lain halnya dengan Jinan, yang kalem dan lebih bersahabat dengannya.
"Jangan beliin, Pa. Baru juga dibeliin minta baru lagi," sahut Jinan membuat sang sodara langsung melotot sebal.
"Kamera lamamu kenapa? Bukannya masih bagus?"
"Udah ada yang lebih canggih Pa. Fiturnya kurang lengkap. Temenku udah pada beli yang baru, dan hasilnya bagus banget."
Pria itu menatap putrinya sekilas, menghelas napas pelan sebelum menjawab lugas. "Nggak akan Papa beliin sebelum kamu memperbaiki nilai-nilaimu. Papa lihat semester ini nilaimu menurun. Papa nggak nuntut banyak. Cuma nilai dan sekolah yang bener."
Sang putri menghentakkan kakinya kesal. "Ekskul motret Jihan dapet A, Paaaaa! Itu kan juga prestasi."
"Prestasi apanya, cuman ceprat-cepret doang semua juga bisa keles!"
Hesa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kedua bocah itu.
....
Aku yang ke situ apa kamu yang ke sini?
Tak lama Hesa langsung mengetikkan pesan balasan.
Aku yang ke situ aja, di sini ranjangnya kan kecil om.
Kan malah enak.
Gadis itu tak berniat membalas dan langsung melangkah menuju kamar pamannya yang berada di paling ujung lantai atas.
"BAAA!"
"Aduh! Jantung aku." Hesa memegang dadanya, pura-pura kaget. "Terkedjeut saya!" Bukan hal yang asing gadis ini mendapati tingkah iseng sang paman.
"Ck! Bohong, nggak kaget kan?"
Hesa terkikik melihat muka kesal pamannya, lucu. "Om dari dulu selalu annoying."
Pria itu berbalik mendahului Hesa dan langsung merebahkan badannya di ranjang. Hesa ikut merebahkan diri di sampingnya. Keduanya serempak bergerak miring saling berhadap-hadapan.
"Tidurlah," bisik pria itu lirih.
Hesa menurut, ia mulai memejamkan mata. Tetapi, sentuhan lembut di bibirnya membuat gadis itu terpaksa memenggal mimpinya lagi. Hesa menangkap iris hitam di depannya yang kini tengah menatapnya lekat. Tatapan mereka beradu untuk sekian detik sebelum pria itu menarik tangannya menjauh dari bibir Hesa.
"Udah malem, tidurlah!"