Maheswati 6

814 Kata
Ditemani kopi hitam yang tinggal separuh, Hakim masih menatap serius layar Macbooknya. Kode pemrograman yang ia ketik beberapa kali gagal mengkompilasi, sehingga ia harus mengoreksi kembali bagian mana yang kurang dari awal. Sedangkan malam sudah semakin meninggi. Matanya terasa berat dengan kepala nyut-nyutan. Sepertinya ia butuh rehat sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya kembali. Hakim urung merebahkan tubuhnya di ranjang saat pendengarannya menangkap ketukan pintu. Dahinya mengernyit heran. Tidak biasa ada yang mendatangi kamarnya tengah malam begini. Si kembar tentu sudah terlelap sejak tadi. Lantas siapakah gerangan? "Kamu!" Hakim nyaris berteriak mendapati keponakan yang kini telah berganti status berdiri di hadapannya. Terlebih gadis itu mengenakan pakaian yang tak lumrah. "Om, aku ...." "Masuk!" Ia langsung menarik gadis itu ke dalam kamarnya. Menutup pintu dan kembali menatapnya saksama. "Apa yang kamu lakukan dengan pakaian seperti ini heh?" "Aku ...." "Apa?" tuntutnya tak sabar. "Ma-maafin aku om. Aku cuma pengen minta maaf tapi aku bingung harus dengan cara apa lagi supaya om mau maafin aku." "Astaga!" Hakim membuang napas cepat. Tak habis pikir dengan arah pikiran gadis di depannya ini. Memangnya ia serendah itu harus dirayu dengan cara begini? "Kamu sadar apa kesalahanmu?" Dalam tunduknya gadis itu mengangguk. "Sebelum kamu minta maaf om sudah maafin kamu. Hanya saja om ingin memberimu sedikit pelajaran." Hakim meraih blazer yang teronggok di atas sofa dan memakaikan benda itu di badan sang keponakan. "Dingin Hes. Kamar om ac nya kenceng," katanya sambil berbalik dan menghempaskan badannya di sofa. "Kamu masih mau di situ? Sini duduk." Gadis itu menurut, bergerak mendekatinya meski masih membisu. Matanya tampak berkaca-kaca sebelum isakan lirih ikut menyusul. Diraihnya pundak yang tampak bergetar itu ke dalam pelukannya. Sungguh Hakim sangat menyayangi gadis ini. Dulu mereka sangat dekat sebelum ada ikatan yang membuat keduanya menjadi canggung. Gadis ini yang tak sungkan-sungkan mencium pipinya saat mendapatkan hadiah. Gadis ini yang sering merengek bila keinginannya tak dituruti. Gadis ini yang selalu membawa suasana ceria di rumahnya, seolah hilang dalam 3 bulan terakhir ini. Dan Hakim sangat merindukan momen-momen tersebut. "Hesa, dengarkan om. Om tahu ini akan sangat sulit buat kita. Terlebih untuk kamu. Posisi kamu yang kini menjadi pendamping om. Kamu harus mengimbangi om. Tapi kamu jangan khawatir, om nggak akan pernah meminta atau pun memaksamu untuk bisa dewasa sebelum waktunya. Om hanya pengen kamu menjaga sikapmu di luar sana. Ingat statusmu sekarang. Hanya itu saja." Gadis itu kembali mengangguk dengan sisa-sisa isakannya. "Keputusan papamu memang terbilang ngawur, dan om tahu resikonya saat menyetujui permintaannya. Akhirnya yang om khawatirkan terjadi. Kamu marah dan semakin menghindari om. Om bingung harus menempatkan diri om ini sebagai apa di hadapanmu. Kamu nggak bisa dinasehatin baik-baik saat itu. Tapi om juga nggak berdaya Hes. Papamu adalah orang yang berpengaruh dalam karir om. Om sangat menghormatinya. Om nggak bisa membantahnya. Dia sudah menjadi panutan om sejak dulu." Tangan Hakim bergerak membelai rambut gadis itu lalu mengecupnya pelan. "Dan jika keputusannya malah membuat hubungan om dengan anaknya merenggang tentu papamu akan sangat sedih di surga sana." Hening menyelimuti keduanya sebelum Hakim kembali bersuara, "Udah dong nangisnya. Kan udah dipeluk." "A-aku kangen banget sama papa om," rintih gadis itu tersendat-sendat. "Besok om antar berziarah ke papamu." Diliriknya jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Hakim memijat keningnya yang terasa semakin berat. "Mau tidur bareng om?" tawarnya pada gadis itu. Reaksi gadis itu sungguh di luar dugaan. Dirasakan tubuhnya langsung menegang. "Hanya tidur aja. Nggak ngapa-ngapain." .... Tidak ada kenyamanan yang bisa menandingi terlelap dipelukan paman yang paling disayanginya. Ia pernah merasakan seperti ini sebelumnya, saat sebelum ia dinyatakan akil balig yang mengharuskan adanya batasan antara laki-laki dan perempuan. Pelan, Hesa menjauhkan tubuhnya. Dipandanginya wajah terlelap pamannya yang begitu tenang dan damai. Hesa menelisik setiap inci dari wajah itu. Pamannya memang pria yang tampan. Hidungnya sudah pasti mancung. Rahangnya kokoh ditumbuhi bulu-bulu tipis. Dan bibirnya, Hesa tak pernah sekalipun melihat pamannya merokok. Mungkin itu yang membuat bibirnya sedikit kemerahan. Oh, apa yang sebenarnya ada di pikiran Hesa? Kenapa tiba-tiba ia meneliti sedetail itu? "Kamu udah lama bangun?" Hesa berjingkat. Yakin bila mata itu masih terpejam, tapi kenapa pamannya bisa tahu ia sudah lebih dulu terjaga. "Emm, 5 menit," jawabnya gugup. Barulah mata itu terbuka pelan dan menatapnya. "Jam berapa Hes?" Hesa menggeser tubuhnya, mengambil jam weker di nakas. "Belum subuh om. Om tidur aja lagi, nanti kalo subuh baru bangun." "Kamu mau kemana?" "Balik ke kamarku." Hesa lalu mematikan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur dengan penerangan remang-remang. "Udah om tidur aja lagi!" "Kenapa buru-buru amat? Kamu nggak bisa tidur di sini?" Pamannya ikut beranjak mendekati Hesa. "Bi-bisa kok." Hesa sama sekali tidak siap saat pria itu menarik tangannya, membuat keduanya tumbang di ranjang. "Yaudah kalo gitu di sini aja. Nanti salat subuh bersama."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN