"Aih, kamu memang berbakat Hes. Kakak yakin kamu bakal jadi desainer yang hebat."
Hesa cukup menanggapi dengan senyuman. Jari-jemarinya kini masih sibuk menari-nari di atas kertas gambar. Di sampingnya, ada tante si kembar yang menyimak hasil karyanya dengan takjub. Wanita ini meminta Hesa merancang gaun untuk acara gathering bersama kawan seprofesinya, dan dengan senang hati Hesa mau melakukannya.
"Ini bisa jadi bisnis Hes. Nanti kakak promosiin ke temen-temen kakak siapa tahu mereka berminat dengan rancanganmu. Kamu pake i********: nggak?"
Hesa mengangguk. "Ada kok kak. Aku bikin i********: khusus buat desain aku ini. Beberapa dari kenalanku ada yang udah pesen juga."
"Ohya!? Kakak bener-bener speechless. Serius loh ini. Kakak nggak bohong. Ini keren banget."
Hesa kembali menanggapi dengan senyum tipis. "Ini masih biasa aja kak. Autodidak. Mungkin ntar kalau aku udah kuliah dan mendalami ilmunya langsung bisa lebih baik lagi."
"Iya itu pasti. Kata Jinan kamu mau kuliah di Surabaya. Kenapa nggak di sini aja Hes? Kan deket. Dan kampusnya tentu lebih berkembang."
"Pengen suasana baru kak. Biar lebih mandiri aja kuliah di luar kota."
"Mas Hakim tahu?"
Hesa hanya mengangguk.
"Dia setuju gitu?"
"Emm, belum ngomongin lagi sih. Kalo waktu itu nggak setuju. Tapi gampang lah. Om Hakim mudah dirayu kok."
"Gitu ya." Wanita itu tampak manggut-manggut, sebelum mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Hesa dan berbisik, "Kamu tahu nggak sekarang Om kamu itu pacarnya siapa?"
Pertanyaan itu langsung menarik atensi Hesa. "Kok kak Sefia tanya gitu? Mana aku tahu."
Sefia menarik diri dan mengendikkan bahu tak acuh. "Ya siapa tahu ditinggal mbak Prisa hampir satu tahun udah punya gandengan baru. Mas Hakim kan ganteng. Pasti banyak cewek yang ngelirik."
Hesa menggeleng kaku. "Aku nggak tahu kak. Lagian om Hakim itu cinta banget sama tante Prisa. Aku yakin nggak mudah buatnya berpaling."
"Sibuk Sef?"
Hesa mengangkat kepalanya saat yang baru saja dibahas tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Nggak sih. Ada apa Mas?" tanya Sefia.
"Sini ikut aku bentar."
Pria itu lalu berjalan lebih dulu menuju ruang kerjanya. Sefia mengekor di belakangnya. Otomatis tindakan itu menarik perhatian Hesa. Gadis itu menatapi berlalunya dua insan dewasa tersebut dengan penasaran yang meninggi. Apa yang mau dilakukan pamannya dengan kak Sefia di ruang kerja?
Hesa bangkit dari tempat duduknya. Lantas, entah setan dari mana yang menuntun kaki Hesa untuk mengikuti mereka. Rasa ingin tahunya yang semakin menjadi membuatnya melakukan suatu hal kurang sopan. Sejak kapan ia jadi tukang nguping begini?
"Aku bikin fitur baru, seperti repost otomatis gitu." Pamannya tampak menunjuk personal komputer di depannya. Salah satu tangannya memegang mouse. "Rencananya bakal aku launching-in minggu depan, trus aku ada niat buat jadiin sampel usahamu. Sekalian biar orang kantorku bisa ngicipin menunya. Siapa tahu kalo ntar mereka ke Surabaya lalu mampir."
"Wah ini kehormatan banget Mas buat aku." Tante si kembar menyambut dengan antusias. Matanya menyorot kagum. "Tapi ini gratis kan? Mana sanggup aku bayar jasa sampelnya."
"Gratis!" sahut pamannya cepat.
"Beruntungnya aku bisa kenal sama programmernya langsung. Kayak gini bikinnya berapa minggu, Mas?"
"Baru kemarin bikin."
"SERIUS?" Wanita itu menoleh kaget pada paman Hesa sebelum mengangguk maklum. "Emang ya kalo udah bakat segimana susahnya akan tetep gampang."
"Masih lebih susah ngeluarin bayi dari perut emaknya daripada ini."
Kemudian mereka tertawa bersama. Tawa yang membuat Hesa tersenyum kecut. Ada perasaan aneh yang menusuk dadanya saat menyaksikan kedekatan mereka. Terlebih saat ingatan Hesa terlempar pada asumsi Salma tempo hari, batinnya seolah kalang kabut. Hesa menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Kenapa terasa sesak sekali?
....
Kenapa om lo nggak mau dateng?
Tak lama Hesa langsung membalas pesan tersebut.
Nggak tau
Om lo malu dateng ke sekolah?
Ke sekolah anaknya gitu juga nggak pernah?
Ya pernah, kan dia bapaknya.
Maksud gue om gue nggak mau jadi wali gue.
Waktu itu pas Tante lo gak bisa ambil raport keknya om lo deh yang dateng.
Iya
Trus? Nggak sampai berjam-jam juga kali.
Masak nggak mau dateng
Nggak tau
Ya aneh aja.
Lo dari tadi bilang nggak tau.
Ya lo tanya dong apa alesan dese nggak mau jadi wali lo
Nggak ah
Elah. Trus siapa yang jadi wali lo ntar?
Yaudah sih gausah pake wali, repot amat.
Kan emang gue udah nggak punya orang tua.
Yah yah yah....
Sorry deh sorry, lo nggak lagi mewek kan?
Ya tetep aja idup gue miris banget kan.
Kasih solusi kek gimana supaya om gue mau dateng.
Yaitu tadi gue bilang, lo tanyain ngapa dese gak mau dateng.
Mungkin dia marah sama gue
Wait wait. Lo ngerasa om lo marah sama lo.
Emang lo buat salah apa?
Mungkin, BEGO!
Oh, mungkin.
Gimana cara gue bujuk Om gue buat mau, itu yang susah.
Ya lo yang lebih tau lah.
Lo udah hidup lama sama dia,
pastinya lo paham kenapa dia sampe nggak mau jadi wali lo
Hesa meletakkan ponselnya. Bertukar keluhan pada sahabatnya itu sama sekali tak membantu. Tapi benar kata sahabatnya, ia yang lebih tahu permasalahannya sendiri. Jadi ia pula yang harus menuntaskannya.
Beranjak dari tempat tidurnya, gadis itu lantas duduk di pinggiran ranjang. Hesa mendesah resah. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia mendatangi pamannya sekali lagi dan merayunya?
Hesa memang masih belia, umurnya baru 18 tahun. Namun ia bukanlah gadis lugu yang tak tahu apa-apa tentang kehidupan manusia dewasa. Lebih tepatnya hubungan antar lawan jenis. Ia sangat sadar tugasnya saat menyandang gelar istri. Dan justru itu yang membuat Hesa terus menghidar dari pamannya. Tentu saja karena ia belum siap!
Menuju walk in closet, gadis ini sempat meragu sesaat sebelum mengambil salah satu baju tidur berbahan tipis dan memakainya. Hesa berdiri di depan cermin dengan perasaan campur aduk. Akankah misinya kali ini berhasil? Mungkinkah pamannya menginginkan ini? Hesa menelan ludah cekat, namun tak urung membuatnya melangkah pelan ke arah pintu kamar.