Marinka menggoyangkan tubuhnya mengikuti dentuman musik yang diputar oleh DJ di atas panggung DJ. Suasana yang ramai dan minim cahaya, mendukung orang-orang yang ada disana untuk semakin tenggelam dalam kegiatan mereka untuk mencari kesenangan mereka masing-masing.
"MARINKA NAIK YUK, COWOK LO UDAH NUNGGU TUH," teriak Dira, salah satu teman Marinka yang ikut turun ke lantai bawah bersama Marinka.
Marinka mengangguk, lalu berjalan dengan sedikit kesulitan untuk menuju lantai atas bersama dengan Dira, Marinka akhirnya berhasil juga untuk sampai ke tempat teman-temannya berkumpul. Sesampai di meja bookingan mereka, Marinka segera mengambil posisi duduk di sebelah pacarnya, Ryan.
"Hai sayang," sapa Ryan.
Marinka tidak menjawab, dia lebih memilih untuk menyesap minuman yang baru dipesannya. Bukan tanpa alasan Marinka mengabaikan Ryan, alasan Marinka mengabaikan Ryan karena Marinka dengan sangat jelas melihat Ryan tengah memangku seorang wanita tadi. Marinka bukan cewek bodoh yang tidak tau kalau Ryan pasti melakukan hal lain, selain berpangkuan dengan wanita berbaju minim tadi. Ryan baru menyuruh wanita itu turun dari pangkuannya, saat Marinka sudah mengambil posisi siap duduk disebelahnya. Jadi menurut Marinka, kelakuannya pada Ryan masih jauh lebih baik dari pada kelakukan pria itu.
Setelah menyesap minumannya, Marinka lalu memeriksa HP miliknya. Marinka mencek, apakah ada pesan atau panggilan dari mama, papanya atau dari kakaknya. Melihat tingkah Marinka yang tidak cemburu atau marah, memang terasa asing bagi sebagian orang, tapi tidak untuk Marinka sendiri. Marinka cukup mengenal Ryan, laki-laki yang menjadi pacarnya sekarang. Bermain perempuan adalah hobby Ryan, itulah kenapa dia tidak perlu peduli atau sakit hati melihat kelakuan Ryan barusan.
Selama berhubungan dengan Ryan, Marinka tidak pernah menggunakan hati atapun perasaannya. Siapa yang mau menggunakan perasaan dan hatinya berhubungan dengan seseorang, jika orang itu menyelingkuhi mu di hari pertama kalian berpacaran? Bukannya Marinka tidak punya hati untuk sakit hati. Hanya saja, Marinka sudah terbiasa didekati orang hanya untuk status dan uangnya. Jadi, buat apa dia sakit hati? Toh dia sudah tau kalau sebagaian dari teman-temannya hanya mau memanfaatkan dia.
Meski Marinka sudah tau itu semua, Marinka tetap mau menerima mereka menjadi teman atau menjadi pacarnya. Untuk hubungannya yang seperti ini, Marinka hanya membuat satu syarat yang tersirat untuk orang-orang itu. Syarat itu adalah, mereka jangan sekali-kali mengucapkan secara langsung atau gamblang didepannya atau orang lain, kalau mereka hanya memanfaatkan Marinka. Jika mereka melakukan itu, Marinka akan langsung memutuskan hubungan mereka saat itu juga. Marinka tidak suka jika orang yang mendengarkannya akan menganggap Marika bodoh karena mau dimanfaatkan.
Bicara soal pertemanan, diantara banyaknya orang yang mau memanfaatkan Marinka dengan berkedok menjadi teman atau pacarnya, Marinka tetap bisa menemukan orang yang tulus berteman dengannya. Terbukti, Marinka bisa menemukan Aruna, Valen dan Nindia. Bertemu 3 orang itu adalah hal yang sangat besar bagi Marinka. Meski untuk saat ini dia dan ketiga temannya terpisah oleh jarak, hingga membuatnya tidak bisa selalu bersama dengan mereka, Marinka tetap menjadikan 3 perempuan itu menjadi sahabat baiknya. Tempatnya bercerita dan berkeluh kesah, selain dari orang tua atau kakaknya.
Ketika Marinka sibuk di alam pikirnya, Marinka tidak menyadari kepanikan teman-temannya karena razia dadakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Pacarnya bahkan sudah melarikan diri sedari tadi, entah kemana. Pria itu tidak mempedulikan Marinka sama sekali, bukitnya Ryan tidak mau repot-repot untuk membawa dia pergi bersembunyi. Jangankan membawa Marinka bersembunyi, Ryan bahkan lupa untuk memperingati Marinka tentang keberadaan polisi di diskotik itu.
Melihat kepanikan teman-temannya, Marinka malah memilih untuk tetap tenang. Menurut Marinka, mereka tidak perlu panik karena mereka hanya minum bukan menggunakan obat terlarang atau melakukan hal terlarang lainnya. Tapi ketenangan Marinka berubah menjadi kepanikan, saat seorang polisi mengangkat sebuah plastik kecil berisi beberapa pil yang terletak tidak jauh dari posisinya. Meski tidak pernah bersentuhan langsung dengan pil yang sedang diangkat polisi itu, Marinka bisa menebak pill apa yang ada di dalam plastik itu. At least she ever see that kind of pills.
Marinka semakin panik ketika melihat sang polisi terlihat akan memanggil rekan-rekannya. Marinka berpikir, jika polisi itu memanggil rekannya untuk mengamankan atau menangkap Marinka, maka habislah dia. Selain dia akan mendapatkan kemarahan dari keluarganya, Marinka yakin dia akan dijadikan topik pemberitaan di media apapun esok hari.
Marinka yang tidak mau ditangkap dengan cara konyol, membuat otak Marinka segera mengeluarkan ide. Ide yang menurut Marinka ampuh dan cemerlang saat ini, Marinka tidak sadar kalau ide itu akan membawanya kepada kesialan lain pada keesokan harinya. Tanpa ancang-ancang dan peringatan, Marinka melompat ke arah si polisi yang terlihat hendak memanggil rekan-rekannya. Pergerakan Marinka itu, membuat dia dan si polisi jatuh dan terbaring di sofa pub, dengan posisi Marinka yang berada di atas tubuh si polisi.
Marinka yang awalnya berniat menutup mulut si polisi dengan tangannya, akhirnya menutup mulut sang polisi dengan bibirnya karena tangannya yang tertindih oleh tubuh polisi dan tubuhnya. Marinka berharap, dengan dia menutup mulut si polisi, polisi itu tidak bisa mengeluarkan suaranya. Dengan begitu, polisi lainnya tidak perlu tau soal keberadaan pill yang baru saja ditemukan didekatnya. Tapi fokus Marinka malah teralihkan, 'Wow bibirnya lembut dan ini terasa manis,' pikir Marinka ketika bibirnya berhasil mendarat sempurna di bibir polisi itu. Marinka lupa niat awalnya yang hanya mau menutup mulut polisi itu sementara.
Padahal, awalnya Marinka berencana, hanya menutup mulut si Polisi sementara. Lalu, setelah Marinka merasa suasana sudah sedikit terkendali, Marinka baru menjelaskan kalau obat itu bukanlah miliknya. Kalaupun si polisi tidak percaya, dia mau diperiksa dan pemeriksaan itu akan Marinka minta dilakukan secara personal dan private. Marinka tidak mau nama baik dia dan keluarganya rusak hanya karena obat-obatan itu. Sialnya, Marinka malah lupa dengan tujuan dan tempat dia sekarang. Marinka malah memberikan ciuman yang terlihat intens di bibir si polisi.
Kelengahan Marinka ini tidak disia-siakan oleh orang yang memang iri kepadanya. Dengan cepat orang-orang itu mengambil foto dan video Marinka. Mereka lalu menyebarkannya di media sosial, jadilah foto dan video itu menjadi pembicaraan panas di kemudian harinya.
*
Keesokan harinya…
‘MARINKA ANINDYA DINATRA, BERCIUMAN PANAS DENGAN SEORANG POLISI DI SEBUAH KLUB MALAM'
‘PUTRI PENGUSAHA SUKSES DINATRA, MARINKA. MELAKUKAN CIUMAN INTENS DENGAN TUNANGANNYA DI DISKOTIK MALAM TADI’
‘TERBONGKAR: CALON MENANTU PENGUSAHA DINATRA ADALAH SEORANG POLISI’
Sedari pagi, topik tentang Marinka yang berciuman dengan seorang polisi menjadi berita paling hangat di media. Hal itu membuat papa Marinka meneror Marinka sejak dia membuka mata dari tidurnya. Marinka selalu diteror kata ciuman, polisi dan tunangan oleh papanya sendiri, Aranda.
Semua itu hampir membuat Marinka gila. Bagaimana Marinka tidak merasa gila, jika baru dini hari tadi dia melakukan pemeriksaan di kantor polisi, lalu paginya dia harus menjalani pemeriksaan lagi dari papanya. Pemeriksaan ini dilakukan papanya karena pemberitaan panas yang sedang beredar luas di media tentang kelakuan bodohnya saat di diskotik malam tadi.
Sebenarnya pemberitaan ini akan lebih heboh lagi kalau papa Marinka tidak segera mengambil tindakan. Sayangnya, tindakan papa Marinka itu malah memberikan kesialan lain bagi Marinka. Marinka yang malamnya masih berstatus single, lalu pagi harinya dia berubah menjadi bertunangan karena statement asal papanya.
Marinka masih ingat, apa kata-kata papanya pada wartawan saat mereka ditanyai soal video ciuman yang tengah beredar luas di media itu. "Pria yang bersama putri saya itu adalah tunangannya," begitulah penjelasan papa Marinka saat itu.
Dan karena penjelasan itu, disinilah Marinka sekarang, menjalani persidangan dari papanya. Padahal kalau dipikir-pikir, papa Marinka adalah penyebeb dia semakin jatuh dalam masalah sekarang. Statement papanya, membuat Marinka berada dalam posisi wajib menikahi si polisi yang asal diciumnya tadi malam itu.
*
“Kamu taukan kamu itu siapa Nca?” tanya Aranda memasang wajah serius pada Marinka.
Marinka yang sedang menhadapi omelan papanya, memilih untuk diam sambil menundukkan kepalanya. Bukannya Marinka tidak tau akan pertanyaan papanya, hanya saja Marinka tidak mau menyela ataupun menjawab papanya karena dia tau, sedikit saja dia bicara atau menjawab sekarang, dia akan berada dalam masalah besar lagi.
Siapa yang tidak tau Marinka Anindya Dinatra? Baiklah, mungkin tidak semua kalangan masyarakat kenal Marinka, tapi Marinka yakin dengan menyebut marga keluarganya, atau menyebut nama salah satu dari orang tuanya atau bahkan kakaknya, orang akan tau siapa Marinka itu. Jelas orang-orang akan mengenal mu jika papa mu adalah Aranda Antonio Dinatra, salah satu pengusaha ekspor-impor barang tambang terbesar di Indonesia. Mama mu adalah Annai Theana Kusuma, pemilik toko perhiasan yang khusus memperjual belikan perhiasan yang memiliki harga di atas bayangan orang biasa. Lalu kakak mu adalah Mattew Aero Dinatra, wakil direktur dari perusahaan Dinatra yang terkenal tampan dan baik.
Kadang, Marinka sangat beruntung hidup dikelilingi oleh orang-orang terkenal dan berpengaruh. Beruntung karena biasanya dia bisa dapat akses yang lebih mudah hanya dengan menyebut salah satu nama dari ketiga nama orang disekelilingnya itu. Tapi, kadang-kadang dia merasa sial juga dengan kondisi itu, sial karena setiap kelakuannya akan selalu diperhatikan publik. Hanya dengan kesalahan kecil saja, Marinka harus bersiap menjadi bahan celaan publik. Seperti sekarang ini.
“Marinka, kamu dengar papa kan?”
Suara yang sedikit keras dari papa Marinka mengejutkan Marinka, hingga membuat Marinka kembali dari lamunannya.
“Eum oh iya pa?” tanya Marinka yang benar-benar tidak fokus dengan ceramah dan omelan panjang lebar papanya.
Papanya menghela napasnya kesal, membuat Marinka mau tidak mau sedikit terekekeh. Namun kekehan Marinka itu terhenti, saat di matanya tidak sengaja menangkap bayangan seseorang yang duduk disebelahnya sejak tadi. Orang itu adalah korban dari ide bodoh Marinka dan korban dari penjelasan asal papa Marinka. Orang itu adalah si Polisi yang hampir menangkap Marinka tadi malam.
Marinka tidak tau siapa yang paling sial antara dia atau si polisi yang ikut di sidang papanya pagi ini. Kalau Marinka, jelas dia pantas mendapatkan hukuman. Marinka melakukan kesalahan, jadi dia tidak heran kalau nanti dia akan mendapatkan hukuman dari papanya. Tapi untuk polisi yang duduk disebelahnya ini, Marinka merasa dia tidak pantas diberikan hukuman, polisi itu hanyalah korban dia dan papanya, Aranda.
Saat Marinka sibuk memperhatikan si polisi yang sedari tadi diam dan duduk tenang, papanya berhasil menarik perhatian Marinka. Papanya menjatuhkan keputusan final yang tidak pernah Marinka bayangkan sebelumnya.
"Jadi kalian harus menikah dalam waktu 3 bulan kedepan!"
Mata Marinka membesar, dia sungguh terkejut dengan hukuman atau keputusan papanya. Marinka menganggap keputusan itu terlalu konyol dan bodoh.
“Ohhh… Oh tidak pa. Jangan lakukan itu kepada aku.” Tolak Marinka langsung.
Namun papanya hanya terlihat diam cuek mengabaikan penolakan Marinka. Merasa membujuk papanya akan sia-sia, Marinka menoleh kepada si polisi, berharap pria itu akan menentangnya juga. Tapi sial bagi Marinka karena polisi itu malah memilih dia dan tetap anteng dengan sikapnya.
‘Ada apa dengan pria ini, bagaimana mungkin dia tetap tenang dan dia ketika disuruh menikah begini hanya karena sebuah ciuman bodoh itu. Seharusnya dia segera menolak atau menentangnya. Apakah dia berpikir kalau papa tidak serius dengan omongannya. Dia belum tau saja kalau papa sudah menjatuhkan keputusannya dan bersikap ngotot begini, itu artinya papa serius dan akan melakukan apapun agar keputusannya itu terwujud.’ Teriak Marinka kesal dalam hatinya, saking cueknya laki-laki yang duduk disampingnya itu.
Marinka bahkan sampai memohon kepada Tuhan, agar pria yang dikenalnya berprofesi sebagai polisi ini akan menyesali kecuekannya karena tidak menentang atau berontak atas keputusan Aranda saat ini. Marinka marah? ya sangat marah. Kesal? sudah pasti. Tidak hanya pada papa Marinka, tetapi juga pada si polisi yang hanya diam dan cuek menyetujuinya perkataan papa Marinka. Saking cueknya, semua permintaan papa Marinka disetujuinya dalam bentuk anggukan dan deheman. Seolah-olah hal itu tidaklah hal besar dan berpengaruh dalam hidupnya.
*
Marinka pikir, semua masalah sudah selesai sejak papanya menjatuhkan hukuman buatnya tadi pagi. Hukuman yang mewajibkannya menikah dengan orang yang bahkan tidak dikenalnya sedikitpun. Sayangnya, pemikiran Marinka malah berbanding terbalik dengan Randa, kenyataannya papa Marinka berpikir hukuman itu belum cukup buat Marinka. Papa Marinka dengan teganya menjadikan Marinka sebagai pekerja magang di kantor polisi tempat calon suaminya bekerja.
Jelas Marinka semakin kesal karenanya. Belum lagi kekesalan Marinka mereda soal wajib menikah itu. Lalu sekarang papanya malah menyuruhnya untuk bekerja, bekerja bersama orang yang sangat tidak ingin dia lihat sama sekali dalam waktu dekat ini. Mana mau Marinka bertemu orang penyebab kesialannya, wajarkan?
"Papa kok tega sih?" ucap Marinka kembali kesal dan marah.
"Daripada kamu menganggur tidak punya kerjaan?”
“Lebih baik kamu gunain ijazah kamu itu, buat bantu calon suami kamu." Kata papa Marinka yang sempat berjeda.
“Ok, Inca kerja. Tapi Inca nggak mau kerja bareng dia!” Marinka berucap dengan tangan yang terlipat di depan dadanya dan wajah yang dipasang semasam mungkin.
“Terus Inca mau kerja apa?” tanya Randa berusaha tenang menghadapi putri manjanya itu.
Marinka terdiam sejenak, lalu mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk miliknya. Marinka berpikir apa pekerjaan yang cocok dengannya dan juga sesuai dengan ijazah yang dimilikinya.
“Bagaimana kalau sebagai staff legal di perusahaan papa?” Marinka mengatakannya dengan penuh harap. Sialnya Marinka malah mendapat tatapan skeptis dari papanya.
“Inca ingatkan kalau perusahaan papa itu salah satu perusahaan ekspor-import. Inca tau kan artinya itu?” Aranda kembali bertanya, hanya demi memastikan Inca tau apa yang dia maksudkan.
“Itu artinya, papa butuh lulusan hukum perdata atau hukum internasional. bukan seorang lulusan hukum pidana seperti Inca.” Jawab Marinka dengan wajah semakin bertekuk, semakin bertekuk lagi ketika dia melihat senyuman di wajah tampan papanya hanya karena jawabannya.
“That’s right. Not only that, you need experience to join our company.” Perkataan papanya semakin membuat bibir Marinka mengkerucut kesal.
“Nah karena kamu lulusan hukum pidana, papa rasa bekerja di kantor polisi adalah hal yang wajar.” Jelas papa Marinka, penjelasan papanya itu malah membuat Marinka bersiap kembali membantah.
“But dad, aku pikir bukan hal yang mudah untuk membuat aku bekerja disana.” Marinka menyeringai kepada Randa yang dibalas seringaian lain dari Randa.
“Oh sayang, kamu lupa papa siapa? Lagi pula Marinka hanya sebagai pekerja magang. Papa rasa, tidak sulit bagi papa untuk menjadikan mu seperti pekerja magang disana. Sekedar pemberitahuan, papa bersahabat dengan pimpinan tempat calon suami kamu bekerja. Papa rasa, tidak terlalu rumit kalau hanya untuk membuat mu bisa keja magang disana, toh pertanggung jawabannya hanya jatuh pada Kepala polisi disana kok,” kata Aranda bangga yang kali ini disambut cibiran oleh Marinka.
“Ciiihhh,” decih Marinka.
“Itu nepotisme pa.” Marinka mengingatkan papanya.
“Bedanya kamu yang meminta kerja ke papa? Kan sama-sama nepotisme.” Aranda berkata dengan tenangnya, membuat Marinka keki sendiri.
Sempat terjadi keheningan diantara Marinka dan papanya untuk sesaat, hingga Marinka kembali bersuara.
"Papa kenapa sih tiba-tiba maksa banget Inca buat nikah, oke kalau emang disuruh nikah sama orang yang Marinka mau. Tapi ini sama orang yang bahkan Inca nggak kenal sama sekali loh pa," Marinka berjata dengan putus asa.
"Terus kamu mau nikah sama siapa? Sama Ryan? Dia bahkan tidak pernah menganggap kamu serius.” Aranda betanya dengan wajah yang sudah kembali keras. Aranda bukannya tidak tau bagaimana pergaulan Marinka, dia hanya membiarkan Marinka bebas selama kebebasan Marinka itu masih dibatas toleransinya.
“Pokoknya, papa sudah mengambil keputusan itu. Dan kamu harus melakukannya!” Aran menetapkan perkatannya, lalu beranjak meninggalkan ruang kerjanya. Dia memutuskan untuk meninggalkan Marinka, sebelum putrinya itu merengek lagi.
“Ma, suruh Marinka untuk bersiap-siap.” Pesan Aranda pada Nai, mama Marinka sebelum dia berangkat bekerja yang dibalas anggukan dan senyuman oleh istrinya.
Setelah memastikan Randa berangkat, barulah Nai menemui Marinka untuk menyuruh putrinya itu bekerja.
"Sekarang kamu siap-siap, pergi ke kantor polisi tempat calon suami kamu kerja. Papa kemaren udah bicara dengan kepala polisi disana, beliau sudah setuju kamu kerja disana!" kata Mama Marinka membuat rengutan di wajah Marinka semakin parah.
"Kalau Inca nggak mau?" Marinka melawan balik, itu adalah jalan satu-satunya untuk menunjukkan penolakannya saat ini.
"Semua fasilitas kamu paling dicopot sama papa, kamu mau? Tadi juga papa nyuruh mama buat ngelapor kalau kamu pergi atau nggak." kata Nai dengan santai yang ternyata membuat Marinka meradang.
Dengan semua ancaman itu, Marinka mau tidak mau mengikuti perintah dari papanya. Sebelum Randa memberikan hukuman yang lebih berat lagi.