Benneth Hastanta

1630 Kata
GORESAN MASA LALU Perebutan kekuasaan menimbulkan peperangan yang tidak pernah menginginkan perdamaian. —Benneth Hastanta— *** Di sebuah ruangan di rumah sakit, seorang pemuda menggenggam tangan wanita paruh baya yang matanya terpejam sejak dua jam yang lalu. Wajah pucat dan tubuh lemahnya itu baru saja terlelap, dijemput ke dunia mimpi untuk beristirahat. Meski dalam ruangan tersebut aroma obat tercium sangat kuat, serta jarum infus yang menancap di tangannya, sang ibu tampak tidak gelisah dalam lelapnya. Membuat Bens tersenyum dengan mata berkaca-kaca, lalu mengusap puncak kepala ibunya dengan kasih sayang. Benneth Hastanta. Pemuda yang berkali-kali menciumi tangan kurus ibunya dengan rasa cemas itu hampir mati tadi. Begitu dikabarkan oleh temannya bahwa ibunya pingsan di rumah, saat Bens sedang bekerja paruh waktu di bengkel. Rasanya saat itu nyawa Bens terbang ke angkasa, nyaris mati jika saja nyawa ibunya tak tertolong. "Bunda ... Bunda harus sembuh, Bens nggak mau Bunda sakit." "Bunda ibu yang baik buat Bens, kenapa harus selalu Bunda yang disakiti? Sejak dulu, selalu Bunda yang dipaksa pergi." "Kenapa selalu Bunda yang jadi korban? Kenapa Bens nggak bisa gantiin posisi Bunda sekarang? Bunda terlalu baik sama manusia sampah di luar sana, harusnya Bunda nggak berhubungan lagi sama dia." "Cukup di hari itu, di mana dia mengusir kita, tapi nggak menceraikan Bunda." Sembari menggenggam kuat tangan ibunya, Bens menoleh pada sosok laki-laki berjas hitam yang sedang berbicara dengan dokter yang menangani ibunya di pintu ruangan. Ada dendam yang tak pernah mau diredam, ada kemarahan yang tak pernah mau padam. Tidak peduli walaupun laki-laki b******n itu memberikan gunung berlapis emas kepada ibunya. Seketika ingatan mengenai masa lalu Bens yang pedih melintas di ingatan, membuat darahnya mendidih, rahangnya mengeras, dan kepalan yang sudah siap meluncur ia tahan mati-matian. Tatapan Bens yang mematikan itu sempat membuat laki-laki berjas hitam itu terkejut, namun memilih untuk mengabaikan. Sama-sama menahan diri untuk tidak bersiteru. Mata Bens memerah, mencoba menahan tangisnya sekuat tenaga. Dirinya merasa tercekik, walau pada kenyataannya laki-laki itu tak melakukan apapun pada Bens. Namun yang saat ini mencoba membunuh Bens adalah; masa lalu bersama ibu dan laki-laki berjas hitam yang sialnya ditakdirkan menjadi ayah kandungnya. "KALAU KAMU NGGAK MAU HASTA SAYA TETAPKAN MENJADI PEWARIS KELUARGA BIYANTARA, KAMU BISA ANGKAT KAKI DARI RUMAH INI, KIYARA!" "LAGI PULA SAYA SUDAH PUNYA PENGGANTINYA; HASTRA. DIA YANG AKAN MELANJUTKAN IMPIAN SAYA." Berawal dari perebutan kekuasaan, harta dan wanita, Heksa menjadi manusia menjijikkan yang menginginkan banyak hal di dunia ini. Tak pernah puas, meski yang ia dapatkan sudah lebih dari kata cukup. Tidak pernah kekurangan, malah diberikan kecukupan yang luar biasa. Kiyara, ibu kandung Bens tersedu-sedu. Demi apapun dia tidak mau putranya hidup dalam kekangan keluarga Biyantara. Menjadi manusia yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia mau. Menikah dengan Heksa memang keputusan yang salah. Perjodohan yang dilakukan oleh orangtua Kiyara dan Heksa membuat Kiyara harus berbagi suami dengan Crisya, wanita yang sedang berdiri di samping Heksa. Perempuan yang Heksa nikahi tepat setelah satu bulan pernikahannya dengan Kiyara. Wajah Heksa merah padam menahan kesal pada Kiyara yang menentang keputusaannnya. "Sejak awal, kita memang seharusnya nggak bersama, Ra. Perjodohan konyol itu bikin saya gila karena harus menikahi wanita yang tidak saya cintai!" bentak Heksa keras, membuat Kiyara dan dua anak laki-laki berusia 11 tahun yang berdiri di dekat tangga tesentak. Terkejut menyaksikan pertengkaran Heksa dan Kiyara. Kiyara menggeleng sendu, sejenak menatap Crisya yang sudah dikaruniai dua anak dari Heksa. Sebenarnya keputusan Kiyara untuk tidak mengizinkan putranya menjadi pewaris keluarga Biyantara adalah karena tekanan dari Crisya. Wanita itu membenci Kiyara, selain itu, Kiyara sudah muak dengan semua peraturan dan kehidupan dalam keluarga Biyantara. Kiyara ingin bebas, begitu juga dengan anaknya. Dan Kiyara rela kehilangan segalanya untuk sebuah kebebasan. "Kamu nggak akan bisa menang melawan kebenaran, Heksa. Kamu sudah dibutakan dengan kekuasaan, sampai kamu mengusir aku dari rumah ini!" Rasanya Kiyara ingin sekali mencekik Heksa, remuk di dadanya sudah tidak terasa sakit, seolah kebal dengan siksaan batin yang Heksa berikan untuknya. "Kalau begitu, kamu ceraikan aku, Heksa! Aku nggak butuh suami seperti kamu yang tidak menghargai perempuan. Kamu tau, kamu benar-benar menjijikkan. Kamu begitu cocok berdampingan dengan Crisya. Kalian sama-sama serakah dan gila harta!" "Anak aku bukan boneka yang dapat kamu atur sesuka hati kamu, Heksa. Aku nggak akan pernah membiarkan anakku terlibat dengan dunia kamu. Sedikitpun, tidak akan pernah, meskipun kamu ayah kandungnya." "AYAH!" Teriakan dari salah satu anak laki-laki Heksa membuat ayunan tangan Heksa menggantung di udara. Tidak sampai mendarat di wajah Kiyara yang jelas sekali menantang kemurkaan Heksa. Crisya kesal ketika Heksa tidak jadi menampar Kiyara, wanita itu terang-terangan berdecak—memperlihatkan kekesalannya. Anak laki-laki itu berlari memeluk Kiyara, tidak membiarkan ibunya disakiti oleh ayahnya sendiri. "Ayah, jangan lakukan itu sama Bunda!" teriaknya pada sang ayah dalam pelukan Kiyara. "Ayah nggak kasihan sama Bunda? Kata Ayah, perempuan itu makhluk lemah, kita sebagai laki-laki harus melindungi mereka. Begitu baru dinamakan laki-laki sejati. Ayah nggak lupa, ‘kan, atas apa yang udah Ayah ajarkan sama aku dan Hastra?" Anak kecil itu menatap anak laki-laki yang dua bulan lebih muda darinya—Hastra—adiknya yang berbeda ibu. Anak pertama Crisya, dan merupakan kakak dari Hera—anak kedua Crisya dan Heksa. "Hasta, masuk ke kamar kamu!" "HASTA! AYAH BILANG, MASUK KE KAMAR! KAMU NGGAK BOLEH IKUT CAMPUR URUSAN ORANG DEWASA! NANTI, KALAU KAMU SUDAH BESAR, BARU KAMU AKAN MENGERTI APA YANG TERJADI SAMA AYAH DAN BUNDA." Kiyara menarik tubuh Hasta—anak lelakinya—menjauh dari Heksa yang sewaktu-waktu bisa saja melampiaskan kemarahannya pada Hasta. Kiyara sudah tidak peduli dengan kekecewaan Keluarga Biyantara, juga dengan keluarganya sendiri. Yang Kiyara inginkan hanya hal sederhana. Dirinya dan Hasta hidup berdua, jauh dari keluarga yang serakah. "Kamu nggak perlu membentak Hasta seperti kamu membentak aku, Heksa! Aku sama Hasta akan meninggalkan rumah ini!" Hasta sudah bergerak mengikuti ke mana kaki ibunya melangkah, namun sebelah tangan Hasta berhasil dicekal oleh Heksa dan membuat langkah anak dan ibu itu terhenti tiba-tiba. Wanita dengan mata sembab itu berbalik saat Hasta kesulitan melangkah. Ditatapnya pergelangan tangan Hasta yang dicekal oleh Heksa, Kiyara menggeram. "Lepasin tangan Hasta!" teriak Kiyara pada Heksa. "Kamu cuma akan menjadikan Hasta boneka perusahaan. Kamu nggak benar-benar menganggap Hasta sebagai anak, Heksa!" Di depan Kiyara, Heksa tersenyum meremehkan. Sementara Crisya, sejak tadi menikmati pertengkaran Heksa dan istri pertamanya. Bersidekap di depan d**a, ikut meremehkan Kiyara. Mengamati kesedihan Kiyara. Kemudian berbangga hati telah menaklukkan Heksa dan keluarga Biyantara. "Tinggalkan Hasta sama saya." Satu detik. Dua detik. Hanya ada angin yang berembus kencang. Suasana mendadak hening, Crisya mulai cemas ketika Heksa bersikeras meminta Heksa untuk tetap tinggal. "Mas, kamu sudah gila minta Hasta untuk tinggal sementara dia mau ikut sama bundanya?" Wanita licik itu bersuara di detik ketiga. Menatap Heksa tidak terima. "Kamu akan menyakiti kita semua kalau kamu sampai melakukan hal itu." "Bang Hasta nggak boleh pergi! Dia harus tetap jadi pewaris perusahaan!" "Hastra! Jangan ikut campur urusan Mama sama Papa!" Walau banyak sekali ketakutan dalam diri Hastra untuk menyela pembicaraan orangtuanya, Hastra tetap memberanikan diri. Dia tidak mau dijadikan boneka oleh ayah dan juga ibunya yang serakah, untuk itulah, Hastra meminta kakak laki-lakinya untuk tidak pergi. Muak melihat keserakahan Crisya walau tahu anak lelakinya tidak menginginkan hal itu, Kiyara dengan cepat melepaskan cekalan Heksa dari Hasta, kemudian berlari menerjang hujan deras di luar. Tanpa membawa apa-apa, Kiyara turun dari rumah bersama Hasta yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar. Anak kelas 5 SD yang berusia 11 tahun, lelaki kecil yang tidak mengerti tentang masalah ayah dan ibunya. Hasta mendengar ayahnya itu memanggil namanya, meminta untuk berhenti. Namun saat Hasta menoleh, Heksa mengejarnya di belakang. Yang mampu Hasta lakukan hanya menatap wajah ayahnya yang memanggil namanya dan ibunya berkali-kali. Kiyara tidak berhenti, dia benar-benar ingin pergi dari Heksa. Tidak mau lagi menjadi wanita bodoh yang selalu menurut akan peraturan sialan Heksa. "Hasta, tadi Ayah sudah bicarakan kondisi Bunda sama dokter, Bunda kamu—" "Lo bukan Ayah gue!" "Jauh-jauh lo dari gue sama Bunda!" Ketika sentuhan Heksa mendarat di bahu Bens, detik itu juga kemarahan Bens meledak dan mengejutkan ibunya yang sedang terlelap. Dengan pergerakan cepat, Bens mencengkeram kerah kemeja ayahnya, tidak peduli dengan tindakan apa yang akan Heksa lakukan untuk menyulitkan dirinya dan Kiyara. "AYAH GUE UDAH MATI SEJAK HARI ITU! HARI DI MANA DIA MENGUSIR BUNDA DALAM KEADAAN HAMIL, TAPI KEGUGURAN KARENA HARUS MENYELAMATKAN GUE! MEMPERJUANGKAN HIDUP GUE KARENA AKAN DIJADIKAN TUMBAL SAMA AYAHNYA SENDIRI!" "LO UDAH MEMBUNUH AYAH SEKALIGUS CALON ADIK GUE!" "LO PEMBUNUH!" "HASTA, LEPASKAN!" Karena ditarik paksa oleh Bens ke dalam kemarahannya, mau tidak mau, Heksa terpancing emosi. Laki-laki yang sudah berstatus sebagai ayah itu melepaskan secara paksa cengkeraman Bens di kerah kemejanya. "Jaga sikap kamu sama saya!" Ayah dan anak itu sama-sama kesulitan bernapas, sementara Kiyara yang masih berbaring menahan tangis melihat suami dan anaknya saling membentak. Kiyara tak dapat melakukan apa-apa selain menggigit bibir bawahnya dan meneteskan air mata. Kiyara menahan diri semampunya untuk tidak berbicara. Dalam keadaan marah yang tertahan, tubuh Bens bergetar sangat kuat. Matanya menusuk Heksa dengan tatapan tajamnya, sementara Heksa tetap tak mau peduli. Sekarang laki-laki itu merapikan pakaiannya yang dibuat kusut oleh Bens. Setelah selesai, Heksa menatap Bens dan Kiyara bergantian. "Walau bagaimanapun juga, kamu tetap anak saya, Hasta. Nama Hastanta, berasal dari nama tengah saya. Kamu darah daging saya, aliran darah Biyantara mengalir dalam tubuh kamu!" ucap Heksa tegas kemudian berbalik dengan angkuh. Meninggalkan Kiyara dan Bens dalam kemarahan. "AISH! BUKAN MANUSIA LO HEKSA HASTANTA BIYANTARA!" "BIADAB LO! GUE BENCI NAMA BELAKANG GUE, HEKSA! LO BAKALAN BERHADAPAN LANGSUNG SAMA GUE KALAU SAMPAI BUNDA KENAPA-NAPA!" Lagi-lagi Bens memaki Heksa dan menendang lemari kecil di sebelah ranjang Kiyara sebagai pelampiasan kemarahan. Membuat sang ibu terlonjak kaget kemudian tangisnya terpecah menyaksikan kemarahan Bens. Tak berapa lama, dokter dan perawat datang tergesa-gesa lalu menyeret Bens keluar dari ruangan. Dokter dan perawatnya itu berpikir bahwa Bens akan memperburuk keadaan pasiennya. Sehingga keduanya memaksa Bens untuk pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN