Daren sudah merasakan jika gadis itu terus melirik ke arahnya. Untungnya ia masih bisa fokus dengan apa yang Eden bicarakan di depan sana.
"Saya setuju, Pak. Langsung saja penandatangan kerja samanya," ucap Daren yang bersikap profesional.
Sekretaris dari Eden memberikan map yang berisi kerja sama kedua perusahaan ini.
"Untuk salinannya akan kami kirim ke email Anda," balas Eden. Daren mengangguk paham. Sekretarisnya membereskan beberapa berkas milik perusahaan mereka.
Baik Eden, Daren dan kedua sekretaris mereka saling berjabat tangan. "Terima kasih untuk waktunya. Dan maaf karena saya memundurkan meeting kita di jam hampir pulang seperti ini," ucap Daren.
Kalau saja mantan istrinya tak berbuat masalah, pasti Daren sudah menandatangani kerja samanya tadi siang. Dan sepertinya meeting ini tidaklah tepat dilakukan karena ia tahu ada satu sosok yang sejak kedatangannya di ruangan Eden terus saja menatap dirinya dengan diam-diam. Daren tentu tidak bodoh jika sejak lama Iris, putri dari Eden memperhatikannya.
"Sama-sama. Waktu saya cukup banyak untuk Anda karena saya sangat suka bekerja sama dengan perusahaan Anda. Dan ya, ini sudah jam pulang kantor. Kita bisa sama-sama turun ke parkiran," ajak Eden.
Daren mengangguk setuju. "Ayo, Iris, kita pulang," ajak Eden kepada sang putri. Iris buru-buru mengambil tas miliknya.
"Daren, kapan-kapan datanglah ke rumah. Sudah lama sekali kamu tidak berkunjung, bukan?"
Kali ini nada Eden sudah tak seformal tadi. Eden dan Daren memanglah rekan kerja. Keduanya lagi gencar-gencar bekerja sama selama beberapa tahun ini. Namun, Daren baru sering berkunjung ke rumah Eden hanya setahun belakangan mungkin.
"Jika ada waktu luang aku pasti ke rumah," jawab Daren.
"Aduh!"
"Hati-hati, Iris. Dan masukkan ponselmu jika sedang berjalan," tegur Eden karena gadis itu tanpa sengaja menabrak punggung Daren yang tentu saja keras.
Daren mengembuskan napas beratnya tanpa sepengetahuan Eden. Tentu gadis itu sengaja menabrakkan diri padanya. Itulah trik yang Iris lakukan untuk mencari perhatian Daren.
Keduanya hampir sampai di parkiran mobil. Namun, Eden berhenti melangkah, membuat Daren, sekretaris Daren dan Iris juga sama-sama berhenti.
"Sepertinya aku terlupa sesuatu. Laptop," ungkap Eden. "Iris, bisakah kamu mengambilkan laptop Papa di ruangan Papa?" pinta Eden.
Iris mendengkus, tentu dia tidak ingin pergi jauh-jauh dari Daren. "Iris capek, Pa baru pulang kuliah," tolaknya. "Papa minta sekretaris Papa aja untuk bawa ke sini," usulnya.
"Dia sedang Papa suruh menyalin berkas tadi. Ya sudah, biar Papa ambil sendiri. Kamu tunggu di mobil saja. Ini kuncinya," putus Eden sembari memberikan kunci mobil miliknya.
Iris menerima kunci itu dengan ogah-ogahan. Eden beralih kepada Daren. "Maaf, aku tinggal dulu tidak apa-apa, kan? Jika ada waktu aku dan Milly akan berkunjung ke rumahmu," ucapnya.
"Baiklah."
"Masuk ke dalam mobil dan jangan coba-coba untuk mengendarainya, Iris. Ingat, Papa tidak ingin kejadian lalu terulang lagi," peringat Eden. Gadis itu menampilkan sederet giginya. Beberapa waktu lalu Iris memang nekat mencoba mengendarai mobil di mana ia tak pernah memiliki pengalaman. Alhasil mobil yang terparkir di depan mobil Eden tertabrak. Mau tidak mau Eden harus menggantinya.
Eden pergi. Daren dan sekretarisnya pun menuju ke mobil miliknya. Iris juga mencari mobil Eden yang tidak sulit ditemukan dari tempat mereka berdiri tadi.
"Tuan, kita pulang sekarang?" tanya sekretaris Daren.
Dari dalam mobilnya, tepatnya di kursi penumpang belakang, Daren memperhatikan mobil Eden yang terparkir tepat di depan mereka. Bisa dia lihat Iris baru masuk di kursi penumpang yang ada di depan. Hati nurani Daren berkata ia tak boleh meninggalkan gadis itu sendirian.
"Lou, kamu bawa mobilku ke rumah," putus Daren sembari mengambil ponsel miliknya. "Aku akan pulang naik taksi," lanjutnya. Tentu sekretarisnya tak habis pikir dengan atasannya yang memilih naik taksi. Namun, apa yang bisa Louis lakukan selain melaksanakan perintah pria itu?
Daren keluar dari mobil, Louis menjalankan mobilnya. Pria ini mendekati mobil Eden. Mengetuk jendela di mana Iris duduk. Gadis itu terkejut karena tiba-tiba melihat sosok Daren. Dia pun menurunkan kaca mobil.
"Aku akan menemanimu hingga papamu kembali," jelasnya.
Senyum di wajah Iris pun bersinar terang. Daren menempati kursi penumpang di belakang. Berada satu mobil dengan Daren membuat hati Iris berbunga-bunga. Daren mencoba menyibukkan diri dengan ponselnya, membalas segala pesan dari sang mantan istri di mana yang terus mengganggu hidupnya.
"Berhentilah menatapku, Iris. Ingatlah aku adalah teman papamu," peringat Daren tanpa repot-repot menoleh. Entah sudah berapa kali ia memperingati gadis itu.
"Memang kenapa dengan Papa? Iris punya kedua mata yang memang digunakan untuk melihat," jawabnya membuat Daren nampak frustasi setiap kali gadis itu menjawab apa yang dia katakan.
Daren meletakkan ponselnya, atensinya hanya pada sosok yang duduk kursi depan. "Ini salah, Iris. Kamu adalah putri dari temanku. Tidak seharusnya kamu menatapku dengan pandangan seperti itu. Aku juga sudah minta maaf perihal perkataanku di pesta pertunangan kakakmu itu, kan? Kita sudahi ini."
Apakah Iris akan sakit hati dengan penolakan Daren? Tentu saja tidak.
Iris menoleh dengan tempat duduk yang kurang nyaman. "Papa, Mama, dan Kak Arvie tidak akan tahu jika kita tidak bilang ke mereka. Om tenang saja. Kalau memang Om Daren belum bisa menerimaku sekarang, aku akan menunggu. Ya, memang apa salahnya dengan usia? Meskipun Om Daren sudah berumur 35 tahun, tetapi masih tetap tampan, kok. Nggak tua-tua amat," ujarnya. Bahkan gadis ini tidak bisa memahami panggilan apa yang dia gunakan untuk Daren. Om. Itu sudah menjelaskan seberapa jauh umur mereka.
Daren memijit pangkal hidungnya. "Maaf, aku sama sekali tidak tertarik dengan anak kecil sepertimu yang bahkan tidak ada pertumbuhan sama sekali sejak terakhir kali kamu menabrakku di pesta." Terpaksa Daren mengelurkan kata-kata penuh sindirannya. Dia pria dewasa, bukan?
Iris memandang tubuhnya. "Nggak apa-apa, Om. Temanku sudah kasih tips ke aku biar terlihat semakin cantik dan seksi," jawabnya. Daren melotot mendengar tingkat kepercayaan diri gadis ini.
"Apa yang temanmu sarankan?" tanya Daren memincing curiga. Anak jaman sekarang kadang suka aneh kalau mau bertindak. Tentu dia tak ingin Iris terjerumus ke lubang yang salah.
Iris tertawa kecil. "Om kepo banget, sih. Om cukup diam dan lihat perubahaan yang ada pada diri Iris. Di saat Iris sudah berubah, Om pasti langsung jatuh cinta," jawab gadis ini.
Daren menyandarkan punggungnya di kursi. Sudahlah, tingkah kepedean putri dari Eden memang ajaib. Andai saja Eden dan Milly tahu bagaimana kelakukan putri mereka.
"Loh? Daren?"
Suara milik Eden menghentikan obrolan keduanya. Eden duduk di kursi kemudi. "Maaf, Ed. Aku tidak tega melihat putrimu menunggu sendirian. Lagi pula parkiran ini sepi, jadi sedikit tidak aman untuknya. Maka, aku memutuskan untuk menemaninya sebentar," terang Daren.
"Oh, terima kasih, Daren. Bagaimana dengan sekretarismu?"
"Dia sudah aku minta pulang lebih dulu."
"Loh? Terus kamu pulang naik apa?"
"Taksi."
"Tidak perlu. Aku akan antarkan kamu pulang. Iris. Tidak apa-apa kan kita antar Om Daren pulang lebih dulu?"
Iris mengangguk dengan cuek sembari memainkan ponselnya. Beginilah akting yang gadis ini tampilkan di depan keluarganya. Daren cukup sadar jika ternyata Iris tak sepolos yang ia pikir.
***
"Terima kasih untuk tumpangannya," ucap Daren ketika mobil temannya sudah berhenti tepat di halaman rumah besar miliknya. Di sana juga sudah terpakir mobil yang tadi dikendarai oleh Louis.
"Pa," panggil Iris dengan wajah memelas. Kedua pria dewasa itu menoleh, menatap gadis ini. Daren memicing curiga, apa lagi yang akan dilakukan oleh putri dari temannya ini?
"Ada apa, Iris? Kenapa wajahmu seperti menahan sesuatu?" tanya Eden.
"Aku ... aku butuh kamar mandi sekarang," lirihnya dengan malu-malu.
Eden mengembuskan napas lelahnya. "Daren, aku minta maaf sebelumnya karena merepotkanmu. Bisakah kami pinjam toiletmu sebentar? Sepertinya Iris butuh ruang sekarang," pinta Eden.
Daren tentu tidak bisa menolak. Pria itu mengangguk. "Iris, kamu ikutlah Om Daren. Papa akan tunggu di mobil. Jangan lama-lama karena kita masih harus mampir ke toko kue," kata Eden.
Iris mengangguk dan langsung mengikuti Daren yang sudah keluar lebih dulu. Iris dengan langkah kecilnya mau tidak mau harus menyamakan langkah besar Daren.
Daren mengarahkan Iris ke kamar mandi tamu. Ya, seharusnya Iris sudah tahu tempatnya karena dia juga pernah berkunjung bersama Eden dan Milly.
"Om. Jangan tinggalin Iris, ya? Iris takut," pintanya dengan wajah memelas. Jika di tempat baru memang gadis ini merasa takut dan kurang nyaman. Daren disuruh menunggu di depan pintu kamar mandi? Pria itu mengembuskan napas beratnya, ada-ada saja kelakuan putri dari temannya ini.
"Jangan lama-lama."
Iris mengangguk dan langsung masuk ke dalam. Daren bisa saja pergi dan meninggalkan gadis ini. Tapi, dia tak ingin ceroboh di mana gadis itu pasti akan berbuat macam-macam jika ia tinggal.
Sekitat 5 menit Iris menggunakan kamar mandi. Lumayan lama bagi ukuran Daren sendiri. Namun, ekspresi lega tertera jelas di wajah gadis itu.
"Om, terima kasih," ucap Iris sungguh-sunguh.
"Sama-sama. Ayo, papamu pasti sudah nunggu lama," ajak Daren yang tentu ikut mengantar gadis ini ke mobil Eden.
Iris mempercepat langkahnya, mencoba menyamakan kakinya dengan Daren.
"Om, bukankah rumah ini terlalu besar untuk ditinggali sendirian?" tanya Iris membuka obrolan.
"Aku tidak sendirian. Ada Bibi dan suaminya," jawab Eden.
"Ya, maksudnya pemilik selain Om Daren. Seharusnya Om Daren cari istri atau pacar," usul Iris.
"Aku tidak suka berdekatan dengan wanita," jawab Daren tanpa menoleh. Dia menyayangkan kenapa pintu utama rumahnya nampak jauh dari kamar mandi tadi.
"Mana mungkin. Pasti gebetan Om Daren banyak," kata Iris yang memberhentikan langkah pria itu. Tentu Iris refleks ikut berhenti juga.
Daren menatap gadis itu, yang ditatap juga menatapnya balik. "Terakhir kali aku dekat dan menyukai wanita hanya pada mantan istriku. Setelahnya, aku tidak percaya dengan yang namanya wanita," ungkapnya sungguh-sungguh.
Pengalaman tentang pernikahan tentu membuat Daren seakan menjauhi sosok wanita. Setelah pengkhianatan dari sang istri, Daren sulit menjalin hubungan dengan wanita lain.
Iris tersenyum lebar. "Kalau begitu, biarkan Iris jadi perempuan pertama yang dekati Om Daren."
"Iris. Berhentilah menggodaku. Sudah cukup. Aku tidak tertarik denganmu sama sekali," tolak Daren.
Cup
Pria itu terdiam kaku ketika satu kecupan singkat mendarat di pipi kanannya. Siapa lagi sang pelaku jika bukan Iris?
"Semakin Om Daren nolak, semakin keras Iris akan mendekati Om. Iris pastikan suatu saat nanti Om Daren akan balas perasaan Iris," ucap gadis 18 tahun ini yang mana langsung berlari kecil keluar rumah menyusul Eden.
Daren hanya berdiri kaku di tempatnya. Mencoba memahami apa yang sudah terjadi.
__________
Wait, kalau kamu pernah baca (not) perfect husband kira-kira si Iris nurunin sifat siapa yak? Perasaan baik Eden atau Milly gak ada yang agresif macam dia